Jumat 29 May 2020 19:05 WIB

Suara Muazin dari Menara

Saya tetap menyimpan lantunan azanmu yang merdu dan syahdu dalam kenangan saya

Suara Muazin dari Menara
Foto: Rendra Purnama/Republika
Suara Muazin dari Menara

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Makmur Makka

Kenapa harus berceritra tentang Pak Zazuli? Begitu namanya tertulis, tetapi sehari-hari ia disapa Jajuli, sesuai aksen Sunda di Ciamis, kampung halamannya. Pak Zazuli itulah muazin yang bersuara merdu di masjid kami, di sebuah kompleks perumahan pegawai negeri sipil.

Empat puluh tahun lalu, ketika kami mulai menghuni kompleks perumahan ini, Pak Zazuli sudah terlihat sehari-hari dalam kompleks. Ia tinggal di perkampungan di sekitar kompleks, membuka lapak yang menjual kebutuhan rumah tangga sehari-hari.

Pada Ramadhan pertama menempati kompleks perumahan itu, kami kesulitan melaksanakan shalat Tarawih karena jarak ke masjid satu-satunya di kelurahan itu cukup jauh. Apalagi, sarana jalan keluar kompleks belum tersedia. Pohon-pohon maninjau, mangga, kecapi, dan alang-alang yang lebat mengepung kompleks perumahan kami.

Saya dan para tetangga berinisiatif mengadakan shalat Tarawih dari rumah ke rumah. Terkadang, jamaah shalat Tarawih meluber ke jalanan. Suatu hal yang menarik perhatian dan simpati kami, ketika masuk waktu shalat Isya, tanpa diminta, Pak Zazuli berdiri dan mengumandangkan azan.

Suara Pak Zazuli ternyata bagus, tandingan azan muazin Masjidil Haram seperti yang selalu dilantunkan di televisi. Kalimat panjang dalam bait-bait azan di lantunkan hanya dalam satu tarikan napas. Sejak malam pertama Tarawih itu, kami selalu mengharapkan Pak Zazuli datang menjadi muazin.

Bulan Ramadhan berlalu. Saya dengan beberapa tetangga bermunajat mendirikan sebuah masjid di kompleks kami. Masjid yang kecil, sederhana pun, cukuplah. Tetapi, di mana tempatnya? Dari semula, pengem bang tidak menyediakan lahan untuk masjid. Tidak ada jalan lain, kami harus mencari lahan untuk dibeli secara patungan.

Pak Zazuli kemudian memberikan usul, ada sebuah lahan nyempal di ujung kompleks yang sampai sekarang belum dibangun pemiliknya. Luas lahan cukup lumayan, sekitar 100 meter persegi. Belakangan kami tahu jika lahan itu milik Pak Marhaban, asal dari Aceh.

Rumah Pak Marhaban tidak jauh dari kompleks perumahan kami. Pada suatu malam bersama tiga orang kawan dan Pak Zazuli, kami bersilaturahim ke rumah Pak Marhaban.

"Maaf Pak, apakah Bapak yang punya lahan di ujung kompleks?" Ini hanya pertanyaan basa-basi saya.

Pak Marhaban membenarkan dengan pandangan bertanya-tanya. Ketika saya bertanya lagi, apakah lahan itu berniat dijual, Pak Marhaban mendongakkan kepala, memandang kami satu per satu, kemudian langsung berkata dengan tegas. "Tidak! Lahan itu dulu saya beli untuk anak saya yang sekarang masih mahasiswa."

Giliran kami saling berpandangan, hening sejenak. Balik Pak Marha ban bertanya siapa di antara kami yang berminat pada tanah itu. Tidak ada di antara kami yang berminat membelinya. Sampai di situ, saya maklum jika Pak Marhaban mencurigai kami sebagai rombongan pialang atau broker. Untuk menghapus kemungkinan dugaan yang keliru itu, saya langsung menambahkan.

"Bukan Pak Marhaban, kami bermaksud membeli lahan Bapak untuk mendirikan masjid bagi warga kompleks dan penduduk sekitarnya."

Pak Marhaban terdiam, ia kembali memandang kami satu per satu. Hening sejenak, tidak ada di antara kami bersuara menyela keheningan itu. Pak Marhaban memulai lagi bersuara, setelah mengetuk-ngetukkan jari-jarinya di lengan kursi, seperti berpikir keras. Pandangannya di arahkan ke atas, kemudian kepada kami satu per satu.

"Oh, untuk rumah Tuhan, tunggu sebentar."

Ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke ruangan dalam, terdengar ia memanggil seseorang. Kami menunggu tanpa satu pun di antara kami yang berkata-kata. Saya menahan napas. Hampir sepuluh menit kemudian Pak Marhaban keluar diiringi seorang perempuan yang rupanya istrinya. Perempuan itu menarik kursi dari meja lain dan duduk di belakang Pak Marhaban.

Begini, karena bapak-bapak bermaksud membangun rumah Tuhan, maka lahan itu tidak pantas kami perjualbelikan, saya dengan istri ikhlas menyerahkan lahan tersebut, tidak untuk dibeli. Tetapi, jika bapak-bapak kelak memiliki sedikit rezeki, kapan saja, seberapa saja atas keikhlasan bapak-bapak, berikanlah kepada anak saya sebagai tebusan janji saya kepadanya.

Alhamdulillah, kami semua seperti tidak berpijak ke bumi. Kami bergembira bukan alang kepalang dan menyampaikan terima kasih kepada Pak Marhaban. Tetapi, segera Pak Marhaban menyela.

"Jangan berterima kasih kepada saya, Tuhan telah mengutus bapak-bapak membawa berkah kepada keluarga kami."

Ketika kami pamit, Pak Marhaban memeluk kami satu per satu. Kami pulang dengan langkah yang ringan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement