Jumat 29 May 2020 01:08 WIB

Kebijakan Vokasi Harus Pertimbangkan Situasi Pandemi

Kebijakan vokasi cukup sulit untuk diterapkan di situasi pandemi

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Esthi Maharani
Pendidikan Vokasi (ilustrasi)
Foto: www.pnj.ac.id
Pendidikan Vokasi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua II Forum Perguruan Tinggi Vokasi Indonesia (FPTVI), Widarto menilai pemerintah harus memikirkan kebijakan terkait pendidikan vokasi di tengah pandemi. Walaupun semangat penguatan pendidikan vokasi baik, namun saat ini ia menilai cukup sulit untuk diterapkan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Diretorat Jenderal Pendidikan Vokasi memulai gerakan 'pernikahan massal' atau penyelarasan antara pendidikan vokasi dengan dunia usaha dunia industri (DUDI). Tujuan gerakan ini adalah agar program studi menghasilkan lulusan yang sesuai kebutuhan.

Semangat kolaborasi ini dinilai Widarto sangat baik. Skema yang dipakai adalah hibah bersaing. Tentunya ia berharap kebijakan Ditjen Pendidikan Vokasi yang baru bisa menguatkan pendidikan vokasi dan terjadi 'pernikahan massal' yang diharapkan antara perguruan tinggi dan DUDI.

"Mulai dari kurikulum, dosen tamu, program magang, serapan lulusan, beasiswa diklat dosen, sertifikasi lulusan, bantuan peralatan, dan joint research. Semuanya harus disusun bersama antara PT (perguruan tinggi) dan DUDI mintra," kata Widarto, dihubungi Republika, Kamis (28/5).

Namun, kebijakan itu menurutnya akan terganggu penerapannya dengan kondisi Covid-19 saat ini. Sebab, semua kegiatan di tengah pandemi ini sangat dibatasi baik dari perguruan tinggi ataupun dari DUDI.

"Contohnya, prodi diminta menggandeng industri. Sementara, saat ini beberapa industri sedang off. Dan kami juga dibatasi mobilitasnya. Hal ini merupakan hambatan yang berat, saya pikir," kata Widarto menambahkan.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Apindo, Agung Pambudi mengatakan pernikahan atau link and match antara dunia pendidikan dan dunia usaha. Sebab, lulusan dunia pendidikan perlu memiliki kemampuan sesuai kebutuhan dunia kerja.

"Target 100 prodi tentu yang tahu kementerian, akan bisa berjalan jika sejak awal perumusan skill yang perlu diajarkan atau dilatih di prodi sesuai kebutuhan dunia kerja," kata Agung.

Ia pun menyarankan dalam prodi untuk menerapkan sistem multi entry multi exit (MEME). Sistem ini menurutnya dapat membantu peserta didik mendapatkan kemampuan sesuai jenis pekerjaan yang tersedia. 

Dunia usaha harus memiliki peran yang besar dalam perumusan kurikulum. "Karena dunia usaha sebagai pemberi kerja yang tahu persis skill yang dibutuhkan," kata Agung menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement