Kamis 28 May 2020 09:13 WIB

Surabaya Bisa Seperti Wuhan, tapi Masih Ada Isu Tolak PSBB

Sejumlah warga Surabaya menilai PSBB tak berhasil mengurangi penyebaran corona.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Teguh Firmansyah
Petugas melakukan penyekatan di pos pemeriksaan Bundaran Waru, Surabaya, Jawa Timur, Senin (25/5/2020). Pada hari terakhir pelaksanaan PSBB tahap kedua Surabaya yang bertepatan dengan hari kedua Idul Fitri 1441 H, petugas gabungan meminta sejumlah pengendara yang akan masuk Kota Surabaya untuk berputar balik disebabkan tidak mengenakan masker, melebihi jumlah 50 persen kapasitas penumpang kendaraan bermotor dan tidak mempunyai urusan penting atau mendesak.
Foto: Antara/Didik Suhartono
Petugas melakukan penyekatan di pos pemeriksaan Bundaran Waru, Surabaya, Jawa Timur, Senin (25/5/2020). Pada hari terakhir pelaksanaan PSBB tahap kedua Surabaya yang bertepatan dengan hari kedua Idul Fitri 1441 H, petugas gabungan meminta sejumlah pengendara yang akan masuk Kota Surabaya untuk berputar balik disebabkan tidak mengenakan masker, melebihi jumlah 50 persen kapasitas penumpang kendaraan bermotor dan tidak mempunyai urusan penting atau mendesak.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sebanyak 65 persen pasien Covid-19 di wilayah Jawa Timur berasal dari Surabaya Raya yang meliputi Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Gresik. Menurut Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur, Joni Wahyuhadi kenyataan tersebut tidak bisa dianggap sepele. Surabaya, kata ia, bisa menjadi seperti Wuhan di China.

"Ini tidak main-main, kalau kita tidak hati-hati maka Surabaya bisa jadi Wuhan," kata Joni di Surabaya, Rabu (27/5).

Baca Juga

Pada hari yang sama, sejumlah warga Surabaya menggelar demonstrasi. Mereka mendatangi DPRD Kota Surabaya dan meminta pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) Tahap III dihentikan karena dinilai banyak merugikan warga.

"Dasar perpanjangan ketiga PSBB karena penyebaran virus corona (Covid-19) tinggi kurang tepat. Sementara dampak dari PSBB I dan II banyak masyarakat jatuh miskin karena tidak bekerja tidak dijadikan acuan," kata inisiator Warga Surabaya menolak PSBB M Sholeh saat di DPRD Surabaya.

Puluhan warga yang hadir di DPRD Surabaya tersebut meliputi perwakilan ojek daring, pedagang warung kopi, becak montor, buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), warga Surabaya terdampak PSBB dan lainnya.

Sholeh yang berprofesi sebagai advokat ini mengatakan, mereka bukan tidak setuju dengan adanya PSBB, melainkan berdasarkan evaluasi pelaksanaan PSBB I dan II dinilai tidak berhasil. Pasalnya,  selain penyebaran kasus positif corona masih tinggi, banyak warga secara ekonomi dirugikan.  "Faktanya PSBB juga tidak diimbangi adanya bantuan sosial secara merata dan advokasi. Kita minta PSBB dihentikan," katanya.

Sebagai solusi, lanjut dia, pihaknya berharap Pemerintah Provinsi Jatim dan Pemkot Surabaya melaksanakan gagasan Presiden Joko Widodo terkait new normal atau tatanan kehidupan baru dalam menghadapi Covid-19.

Sementara itu Ketua Gugus Tugas Joni Wahyuhadi berpandangan, penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan dimaksudkan untuk menekan tingkat penularan. Saat ini rate of transmission (tingkat penularan) Covid-19, terutama di Surabaya masih 1,6.

"Rate of transmission Covid-19 di Surabaya masih 1,6. Artinya ketika ada 10 orang (positif Covid-19) dalam satu Minggu jadi 16 orang," ujar Joni.

Sedangkan untuk menurunkan Case Fatality Rate (CFR) atau tingkat kematian, Joni menjelaskan pihaknya melakukan clinical research mulai penggunaan Avigan, Terapi Plasma Convalescent, ataupun Aspirin. Menteri Kesehatan pun telah memerintahkan kepadanya untuk menggunakan obat tertentu seperti pemakaian aspirin. "Semuanya kita coba dengan kaidah kesehatan tertentu," kata Joni.

Presiden Joko Widodo pun telah memberi perhatian khusus terkait melonjaknya kasus Corona di Jawa Timur. Presiden ingin agar melakukan pelacakan dan pemeriksaan terhadap ODP dan PDP. Jokowi juga meminta agar persiapan rumah sakit rujukan dan darurat ditingkatkan.  Jokowi mengaku belum akan menerapkan new normal di daerah dengan tingkat penyebaran tinggi.

Kelebihan kapasitas

Joni Wahyuhadi yang juga direktur utama RSUD dr Soetomo, mengungkapkan, rumah sakit yang dipimpinnya mengalami kelebihan kapasitas pasien Covid-19. Joni mengungkapkan, tempat tidur yang tersedia di RSUD dr. Soetomo unuk merawat pasien Covid-19 ada 155 buah. Namun, kata dia, saat ini pasien Covid-19 yang dirawat di RS setempat lebih dari 170 orang.

"RSUD dr. Soetomo tempat tidurnya memang 1.445. Tetapi tidak semua tempat tidur itu boleh utk merawat pasien Covid-19. Karena harus ada syaratanya. Salah satunya negatif preasure, harus ada APD yang cukup yang sesuai standar, tenaganya harus dilatih," ujar Joni di Surabaya, Rabu (27/5).

Joni mencontohkan, pada Selasa (26/5), UGD RSUD dr Soetomo kedatangan 31 pasien Covid-19. Kemudian, ada 15 pasien Covid-19 yang masih dirawat di UGD RSUD dr Soetomo karena menunggu penataan ruangan. Artinya ada 46 pasien Covid-19 yang harus menjalani perawatan di UGD RSUD dr. Soetomo.

Kemudian, kata Joni, RSUD dr. Soetomo sebelumnya telah merawat 133 pasien Covid-19. Artinya, jika ditambah pasien yang ada di UGD, jumlahnya mencapai 179 orang. Sementara ruangan yang tersedia hanya 155 tempat tidur. Hal ini membuat pihak rumah sakit memutar otah menyulap ruangan-ruangan lainnya agar bisa digunakan untuk merawat pasien Covid-19.

"Tadi tempat tidur yang available untuk Covid-19 itu ada 155 tempat tidur. Pasien yang kita rawat 133, yang masuk sekitar 46 kan sudah 170 lebih. Akibatnya pagi ini kawan-kawan saya di sana harus dengan cepat me-make up ruangan-ruangan untuk menampung itu," ujar Joni.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement