Jumat 29 May 2020 06:01 WIB

New Normal yang Penuh Risiko

Pemerintah mengambil risiko 'berdamai dengan Corona' agar ekonomi bisa bergerak.

Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika
Foto: Republika
Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Teguh Firmansyah*

Setelah lebaran ini, pemerintah kian gencar mengkampanyekan istilah 'New Normal' atau "Normal Baru'. Istilah ini merujuk pada penggunaan protokol sosial baru dalam menjalankan aktivitas kehidupan bermasyarakat.

Dari mulai cara bekerja, kunjungan ke mal, berinteraksi dengan warga sekitar, hingga bepergian ke tempat wisata. Masyarakat diminta untuk tetap jaga jarak, pakai masker, dan sering-sering mencuci tangan.

Semua perubahan ini berawal dari satu penyebaran virus Corona tipe teranyar, Covid-19. Sudah hampir tiga bulan sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus Corona di RI, kehidupan berjalan tidak seperti biasanya. Karyawan diminta kerja di rumah, lokasi wisata ditutup, banyak masjid yang tak melaksanakan shalat berjamaah, warga pun tak bisa leluasa pergi dari satu tempat ke tempat yang lain.

Corona membuat jutaaan buruh kena PHK atau dirumahkan. Tak sediki perusahaan memangkas gaji pegawai, tunjangan hari raya (THR) atau bahkan menunda pembayaran THR. Dengan tidak adanya aktivitas warga untuk berbelanja, pertumbuhan ekonomi Indonesia pun diprediksi akan anjlok. Ekonomi Tanah Air diprediksi hanya akan tumbuh dibawah 2,3 persen.

Pemerintah pun sepertinya sadar jika kondisi ini terus berlanjut, maka kehidupan ekonomi akan kian terperosok. Gelombang PHK bukan tidak mungkin akan memicu konflik sosial di tengah masyarakat, dan memberikan goyangan cukup buat pemerintah. Kondisi itu tentu sangat tidak diinginkan.

Namun di sisi lain, harus diakui virus Corona di Tanah Air belum juga mereda. Penyebarannya di sejumlah provinsi menunjukkan peningkatan yang cepat. Saat Jakarta sudah alami penurunan, di Jawa Timur justru sebaliknya. Pada satu momen peningkatannya mencapai empat kali lipat dibanding Jakarta. Angka Corona di Jatim sudah menyentuh 4.000 kasus, dan menjadi tertinggi kedua secara nasional.

Kita belum tahu apakah sudah sampai ke titik puncak atau belum. Mengingat persoalan penghimpunan data masih jadi hal yang pelik di sini. Proses pengujian spesimen yang terbatas dan membutuhkan waktu membuat data masuk tidak up to date. Jika seseorang melakukan pengujiannya hari ini, boleh jadi baru sepekan hasilnya bisa keluar.

Namun bila melihat data yang diumumkan Gugus Tugas, puncak tertinggi penambahan terjadi pada 21 Mei lalu dengan 973 kasus. Angka itu bisa jadi belum mencapai puncaknya mengingat banyak yang melanggar PSBB ketika Hari Raya Idul Fitri.

Di sejumlah negara Eropa seperti Spanyol dan Italia, pelonggaran terhadap lockdown mulai dilakukan. Pelonggaran dijalankan menyusul adanya tren penurunan kasus. Di Italia misalkan, angka penambahan kasus kini berada di level 300-an. Angka puncak penambahan telah terjadi pada 21 Maret lalu dengan jumlah peningkatan mencapai 6.557 kasus.

Di sinilah yang kemudian menjadi pertanyaan dan pilihan sulit, apakah sudah tepat saatnya Indonesia menjalankan kehidupan normal baru? Atau tetap menjalankan berbagai pembatasan yang berdampak pada kondisi ekonomi tanah air?

Sejatinya kesehatan harus didahulukan dibandingkan ekonomi. Jika satu negara sudah dinyatakan sehat dan berhasil mengendalikan Covid-19, maka kepercayaan investor akan meningkat. Para pebisnis tidak ragu menjalankan aktivitas ekonominya di Tanah Air.

Namun pada faktanya, kondisi itu sulit diterapkan. Corona telah menunjukkan bahwa kemampuan atau daya tahan ekonomi kita sangatlah minim. Kemampuan negara untuk menggerakan ekonomi lewat bansos sangat terbatas.

Pemberian bansos yang dilakukan sejak April hanya cukup buat masyarakat bertahan hidup. Tapi itu pun tidak bisa dilakukan terus menerus, karena kondisi keuangan negara tidaklah cukup buat memberikan bantuan buat perusahaan maupun masyarakat dalam waktu cukup lama.

Ibarat satu rumah tangga, mungkin saldo kas kita hanya sanggup bertahan selama tiga bulan tanpa kerja. Jika lebih dari tiga bulan, maka kita akan hidup dengan mengutang untuk menjalankan operasional keluarga.

Pilihan sulit inilah sepertinya yang diambil oleh pemerintah. Menjalankan kembali aktivitas ekonomi, meski Corona belum sepenuhnya mereda. Jargon-jargon 'Berdamai dengan Corona' atau 'New Normal' adalah istilah yang digencarkan kepada masyarakat bahwa kita harus siap untuk kembali melakukan aktivitas ekonomi.

Istilah itu akan terus dikampanyekan sehingga masyarakat pada akhirnya harus maklum bahwa kita  bisa hidup berdampingan dengan Corona dan harus menyadari bahwa virus ini tak akan bisa hilang. Bagi tenaga medis atau warga yang konsen terhadap kesehatan pada akhirnya hanya bisa pasrah dan berujung pada tagar #Indonesiaterserah.

Namun ada juga yang mengatakan pemerintah benar-benar menerapkan seleksi alam, survival of the fittest. Mereka yang daya tahan tubuhnya bagus akan selamat, namun sebaliknya mereka yang rentan rawan menjadi korban. 

Sebenarnya jika pemerintah melakukan langkah yang strategis dari awal, step-step jelas dalam mengatasi Corona, maka ketidakpercayaan itu bisa diminimalisir. Tapi pada faktanya, langkah pemerintah kerap berubah-ubah. Antarsatu instansi atau antarpusat dan daerah tidak kompak satu sama lain. Selain itu ada pejabat yang mengeluarkan pernyataan tak produktif sehingga membuat polemik di masyarakat.

Dan yang juga disayangkan penanganan kasus Corona mirip seperti pemadam kebakaran. Baru serius ditangani setelah kasusnya meledak. Sejatinya Indonesia bisa mengikuti Vietnam yang nyatanya lebih antisipatif bahkan dibanding AS sekalipun.

*) penulis adalah jurnalis Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement