Rabu 27 May 2020 19:29 WIB

Gangster Geopolitik dalam Aneksasi Tepi Barat Palestina

Rencana Israel mencaplok tanah Tepi Barat Palestina menyakitkan komunitas global.

Rep: aljazeera/ Red: Elba Damhuri
Pasukan Militer Israel mencegah seorang buruh Palestina memasuki wilayah Israel setelah secara ilegal melintasi pagar keamanan Israel di dekat kota Hebron Tepi Barat, Selasa (5/5). Pekerja Palestina mencoba memasuki area perbatasan Israel untuk bekerja setelah larangan masuk diberlakukan di tengah kekhawatiran atas penyebaran pandemi COVID-19.
Foto: EPA-EFE/ABED AL HASHLAMOUN
Pasukan Militer Israel mencegah seorang buruh Palestina memasuki wilayah Israel setelah secara ilegal melintasi pagar keamanan Israel di dekat kota Hebron Tepi Barat, Selasa (5/5). Pekerja Palestina mencoba memasuki area perbatasan Israel untuk bekerja setelah larangan masuk diberlakukan di tengah kekhawatiran atas penyebaran pandemi COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Richard Falk*

Kehidupan di planet kita saat ini terpecah akibat pandemi COVID-19 atau dislokasi sosial dan kehancuran ekonomi. Tidak herank, kondisi seperti ini akhirnya mempertontonkan sisi kemanusian dari yang terbaik hingga terburuk.

Namun, yang tampaknya lebih buruk dari keadaan ini adalah adanya kegigihan gangster geopolitik dalam berbagai manifestasinya.

Mengintensifkan sanksi oleh Amerika Serikat (AS) di tengah krisis kesehatan pada negara-negara yang sudah sangat menderita seperti Iran dan Venezuela adalah satu contoh nyata. 

 

Wajah geopolitik ini tersorot dari penolakan atas permohonan kemanusiaan untuk penangguhan sanksi, setidaknya selama durasi pandemi ini. 

Alih-alih penangguhan dan empati, kami menemukan fakta Washington malah tuli-nada dan hampir dengan gembira menaikkan kebijakan "tekanan maksimumnya", yang secara salah telah menaikkan rasa sakit.

Kisah gelap lainnya adalah permainan Israel yang mengerikan di berupa pelanggaran hukum untuk mencaplok tanah di Tepi Barat yang diduduki. Ini sesuai janji Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Kritik-kritik bahwa aneksasi wilayah Palestina yang diduduki secara langsung oleh Israel adalah melanggar norma-norma dasar hukum internasional tampaknya tidak lagi dianggap serius. 

Mungkin karena ini Israel siap mencaploknya, mengesampingkan aturan yang secara luas disetujui. Jelas, negara berdaulat tidak diizinkan untuk mencaplok wilayah asing yang diperoleh dengan paksa.

Contoh aneksasi ini juga melibatkan penolakan ekstrem terhadap hukum humaniter internasional seperti yang termaktub dalam Konvensi Jenewa Keempat. 

Ini merupakan langkah sepihak oleh Israel untuk mengubah status tanah di Tepi Barat dari yang diduduki sejak 1967 menjadi otoritas wilayah kedaulatannya. 

Dan lebih lanjut, aneksasi seperti itu secara langsung menantang otoritas PBB, yang dengan konsensus terus menerus yang luar biasa menganggap kehadiran Israel di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza.

Debat Keamanan Israel?

Untuk banyak kalangan, alasan ini jelas tidak mengherankan bahkan untuk sosk-sosok senior Israel termasuk mantan kepala Mossad dan Shin Bet serta pensiunan perwira militer yang ikut membunyikan alarm yang sama. 

Tentu saja, tidak satu pun dari debat internal Israel ini yang menentang aneksasi karena melanggar hukum internasional, menolak otoritas PBB atau Uni Eropa, dan mengabaikan hak-hak Palestina yang tidak dapat dicabut.

Sikap keberatan terhadap aneksasi dari masyarakat dan pemerintah Israel disampaikan atas berbagai kekhawatiran tentang dampak negatif bagi keamanan Israel. 

Secara khusus, para kritikus dari kalangan keamanan nasional Israel ini khawatir langkah ini mengganggu tetangga-tetangga Arab dan semakin mengasingkan opini publik internasional, khususnya di Eropa. Sampai batas tertentu para kritikus khawatir akan melemahkan solidaritas Yahudi Amerika dan Eropa untuk Israel.

Sisi pro-aneksasi juga menyebutkan pertimbangan keamanan, terutama yang berkaitan dengan Lembah Yordan dan permukiman. Tetapi lebih dari itu. Berbeda dengan para kritikus, pendukung aneksasi yang lebih bersemangat adalah penuntut tanah.

Mereka mengajukan 'hak alkitabiah' Yahudi ke Yudea dan Samaria (dikenal secara internasional sebagai Tepi Barat). Hak ini diperkuat dengan merujuk tradisi budaya Yahudi dan koneksi hubungan selama berabad-abad antara kehadiran kecil orang Yahudi dan tanah ini yang dianggap suci.

Seperti halnya kritikus Israel tentang pencaplokan, para pendukung merasa tidak perlu menjelaskan, atau bahkan memperhatikan, pengabaian atas keluhan dan hak-hak Palestina. 

Kaum Annexasionis tidak berani mengemukakan argumen bahwa klaim-klaim Yahudi lebih layak mendapat pengakuan daripada klaim nasional Palestina yang bersaing, tidak diragukan lagi karena kasus mereka begitu lemah dalam hal gagasan hukum modern dan etika hak.

Seperti yang terjadi di sepanjang narasi Zionis, keluhan, aspirasi, dan bahkan keberadaan rakyat Palestina, bukanlah bagian dari imajiner Zionis kecuali sebagai hambatan politik dan hambatan demografis.

Ketika seseorang mempertimbangkan evolusi penyimpangan Zionisme sejak awal, aspirasi jangka panjang untuk meminggirkan warga Palestina dalam satu negara Yahudi yang dominan yang mencakup seluruh "tanah perjanjian" Israel ini tidak pernah diabaikan. 

Dalam hal ini, rencana pemisahan PBB --walaupun diterima sebagai solusi pada saat itu-- lebih dipahami sebagai batu loncatan untuk mengambil tanah yang dijanjikan itu. 

Dalam perjalanan 100 tahun terakhir, dari perspektif Zionis utopia menjadi kenyataan, sementara bagi Palestina realitas menjadi distopia.

Gangster Geopolitik 

Aneksasi oleh Israel dan AS ini sama mengecewakannya dengan penghapusan orang-orang Palestina, yang akan diusir sebagai populasi yang gelisah untuk tetap terfragmentasi. Ini dilakukan agar perlawanan dan keberatan mereka dapat diredam secara efisien.

Netanyahu berhasil mendapatkan persetujuan untuk rencana pencaplokannya dalam kesepakatan pemerintah persatuan dengan saingannya yang berubah menjadi mitra koalisi, Benny Gantz. 

 

sumber : Aljazeera
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement