Rabu 27 May 2020 06:11 WIB

PBB Adakan Pertemuan Terkait Bantuan Negara Berkembang

Anggaran yang diperlukan negara berkembang untuk hadapi krisis diprediksi meningkat.

Sekjen PBB Antonio Guterres
Foto: AP Photo/Mary Altaffer
Sekjen PBB Antonio Guterres

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Para pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berencana bertemu dengan belasan pemimpin dunia untuk membahas dukungan keuangan bagi negara-negara berkembang yang terpukul keras oleh kejatuhan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Pertemuan direncanakan pada Kamis (28/5).

Pertemuan daring itu dilakukan di tengah melonjaknya infeksi Covid-19 di negara-negara berkembang. Diperkirakan, anggaran yang diperlukan negara berkembang untuk menghadapi krisis akan melebihi perkiraan awal 2,5 triliun dolar AS.

Baca Juga

Pertemuan tersebut diselenggarakan oleh Kanada, Jamaika, dan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres. Wakil Sekretaris Jenderal PBB Amina Mohammed menyebutkan banyak negara berkembang, termasuk negara-negara berpenghasilan menengah, kekurangan dana yang cukup untuk memerangi pandemi dan berinvestasi dalam pemulihan.

"Pekerjaan sedang berlangsung. Akan tetapi, itu tidak cukup mendesak," katanya kepada wartawan dalam taklimat secara daring.

Mohammed mengatakan tawaran oleh G20 dan kreditur Klub Paris untuk menunda pembayaran utang bilateral resmi untuk negara-negara termiskin hingga akhir 2020 adalah awal yang kritis. Akan tetapi, upaya lebih lanjut akan diperlukan.

Dari 77 negara yang memenuhi syarat, sejauh ini hanya 22 yang secara formal telah meminta penundaan. Sementara, negara lainnya menyatakan keprihatinan bahwa hal itu dapat membahayakan kemampuan jangka panjang mereka untuk meminjam uang.

Pertemuan pada hari Kamis, kata Mohammed, akan mencakup peserta dari Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Uni Afrika, Lembaga Keuangan Internasional dan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OCED). Tujuannya adalah untuk menyampaikan proposal nyata dalam 8 minggu.

Sebuah rancangan konsep makalah untuk pertemuan yang dilihat oleh Reuters menyerukan IMF untuk meningkatkan likuiditas global dengan mengeluarkan alokasi baru mata uang Hak Penarikan Khusus, sebuah langkah yang telah ditentang oleh Washington. Ini juga mendukung penghentian pembayaran utang untuk semua negara berkembang yang meminta penundaan—tidak hanya yang dicakup oleh penangguhan hutang G20—dan meminta solusi proaktif oleh kreditur sektor swasta untuk menghindari biaya yang lebih tinggi dari disorderly wave of defaults.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement