Selasa 26 May 2020 18:20 WIB

Perlu Kesepakatan dalam Penentuan Awal Bulan Hijriah

Kemenag, MUI, dan ormas-ormas Islam perlu duduk bersama.

Red: wahidah
Ketua Dewan Suro Al-Irsyad Al-Islamiyyah KH Abdullah Jaidi
Foto: ROL/Fian Firatmaja
Ketua Dewan Suro Al-Irsyad Al-Islamiyyah KH Abdullah Jaidi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Suro Al-Irsyad Al-Islamiyyah, KH Abdullah Jaidi mengimbau masyarakat Muslim di Indonesia untuk memanfaatkan momen Idul Fitri 1441 H guna merajut kesatuan dan persatuan umat.  

Menurut dia, ada hikmah di balik terjadinya wabah virus korona jenis baru (Covid-19). Wabah ini telah mengubah mengubah semua dimensi kehidupan kita. Mulai dari yang privat hingga yang publik, termasuk mengubah tata cara kehidupan ibadah kita. Ibadah tarawih dan shalat Id misalnya, dipaksa dilakukan dengan cara yang berbeda, yaitu diselenggarakan di rumah masing-masing.

‘'Namun hal ini tidak mengurangi kekhusyukan kita dalam menghambakan diri kepada Allah SWT,’’ kata dia.

Selanjutnya, Ketua Majelis Ulama Indonedia (MUI) Bidang Pendidikan dan Kaderisasi ini menyoroti soal penentuan awal bulan Hijriah di Indonesia. Ia menerangkan, beberapa tahun terakhir di Indonesia memang tidak terjadi perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan, 1 Syawal dan Dzulhijah. Namun, menurut dia, hal itu lebih disebabkan keramahan posisi hilal, bukan karena sudah ada kesepakatan bersama dalam menentukan kriteria awal bulan Hijriah.

 

Begitu pula dalam penentuan awal Ramadhan tahun depan (1442 H), diperkirakan tidak ada perbedaan, baik dengan metode rukyatul hilal, hisab imkanur rukyah maupun hisab hakiki wujudul hilal. Hal itu, lanjut Kiai Abdullah, karena ketinggian hilal masih memenuhi kriteria MABIMS yang merupakan kesepakatan penentuan takwim Hijriah dan bulan Hijriah.

Tetapi untuk tahun 2022, berdasarkan  pengamatan tim hisab Al-Irsyad Al-Islamiyyah Markaz Jakarta pada waktu ijtimak (conjunction) akhir bulan Sya’ban yang jatuh pada hari Jumat, tanggal 1 April 2022  pukul 13:24 WIB diketahui tinggi bulan  +02°:38':42"  sudut elongasi:  +03°:58':58".

‘'Dari perhitungan di atas berpotensi adanya perbedaan,’’ ujar dia melalui keterangan tertulis kepada Republika.co.id.

Berdasarkan hisab hakiki wujudul hilal yang digunakan Muhammadiyah, kata Kiai Abdullah, dengan ketinggian tersebut maka hilal dianggap telah wujud di atas ufuk bila bulan lebih lambat terbenamnya dari matahari.

‘’Bisa saja berdasarkan wujudul hilal, tanggal 2 April 2022 sudah masuk 1 Ramadhan, sementara imkanur rukyah belum,’’ kata dia.  

Terkait hal itu, ia berharap ada kebersamaan permanen dalam menentukan 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijah.‘’Kita masih punya waktu satu tahun untuk mengupayakan penyamaan kriteria,’’ ujar Kiai Abdullah.

Karena itu, Dewan Syuro Al-Irsyad Al-Islamiyyah mengimbau Kementerian Agama (Kemenag), MUI, dan ormas-ormas Islam duduk bersama memusyawarahkan upaya penyatuan perbedaan pandangan terkait kriteria penentuan awal bulan Hijriah.

Ia menyadari, bukan hal mudah mencari titik temu pendapat fikih antara pengguna sistem hisab dan rukyah, untuk bisa memformulasikan suatu  kriteria bersama. Dalam hal ini, tentu tidak diharapkan adanya suatu tekanan dan pemaksaan.

‘'Kalau memang kriteria bersama belum tercapai, ini kita nilai sebagai suatu dinamika yang dapat memberi edukasi kepada umat, untuk dapat menerima dan menghargai perbedaan,’’ katanya.

Hal yang menjadi prioritas dalam menghadapi perbedaan penentuan 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijah, menurut Kiai Abdullah, bukan semata tertuju pada adanya perbedaan antara Muhammadiyah dan NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia. Ia menilai, dalam metode penentuan awal bulan Hijriah, Muhammadiyah dan NU memiliki landasan syar’i yang kuat.

Ia menekankan, yang harus menjadi perhatian utama Kemenag untuk  segera diselesaikan adalah kelompok-kelompok kecil yang dalam menentukan awal Ramadhan dan Syawal dilakukan dengan cara misalnya, melihat fenomena pasang surut air laut, perhitungan Jawa yang dikenal dengan istilah hisab aboge yang merupakan interelasi agama Islam dengan budaya Jawa.

‘'Ini yang menyebabkan perbedaan Ramadhan dan Syawal di Indonesia berselisih hingga empat atau lima hari, yang tidak pernah terjadi di dunia Islam lainnya.’’

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement