Selasa 26 May 2020 18:07 WIB

Kemenag Upayakan Penyatuan Kalender Hijriyah

Ide penyatuan kalender Hijriyah dinilai sangat bagus, tetapi tidak mudah.

Rep: Fuji E Permana/ Red: wahidah
Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Agama (Kemenag) melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Ditjen Bimas) Islam menyampaikan, penyatuan kalender Hijriyah sangat bagus, tetapi tidak mudah. Meski demikian, Kemenag akan berusaha agar ada penyatuan kalender Hijriyah sehingga tidak ada lagi perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan 10 Dzulhijah (Idul Adha).

"Ide penyatuan kalender Hijriyah sangat bagus, tapi tidak mudah. Tentu tidak mudah karena ada perbedaan metodologi dari beberapa pihak," kata Dirjen Bimas Islam Kemenag Kamaruddin Amin kepada Republika.co.id, Selasa (26/5).

Kamaruddin menyampaikan, Kemenag akan mengusahakan agar ada penyatuan kalender Hijriyah. Untuk itu, Kemenag akan menindaklanjutinya dengan berdiskusi bersama seluruh pihak terkait seperti ormas-ormas Islam. Tujuannya untuk mencari solusi agar tidak ada perbedaan penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan 10 Dzulhijah.

Untuk beberapa tahun mendatang, dia melanjutkan, diperkirakan tidak ada perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal. "Tahun depan sampai empat tahun ke depan insya Allah kira-kira kurang lebih sama (kalender Hijriyah-nya)," ujar dia.

Kamaruddin mengatakan, jika ada keseragaman dalam penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri, keresahan di masyarakat tidak akan timbul. Ia menerangkan, Idul Fitri terkait banyak hal seperti mobilitas sosial yang sangat masif di tengah masyarakat. Selain itu, ada budaya mudik dan lain sebagainya. Karena itulah, ketika ada perbedaan penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri, konsekuensinya sangat besar.

"Sehingga, kita akan berusaha bagaimana menyatukan itu (kalender Hijriyah), tapi tentu tidak mudah. Tapi, akan kita usahakan," ujar dia.

Terkait hal ini, sebelumnya Ketua Dewan Suro Al-Irsyad Al-Islamiyyah, KH Abdullah Jaidi, mengatakan, beberapa tahun terakhir di Indonesia tidak terjadi perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah. Namun, menurut dia, hal itu lebih disebabkan keramahan posisi hilal, bukan karena sudah ada kesepakatan bersama dalam menentukan kriteria awal bulan Hijriyah.

Begitu pula dalam penentuan awal Ramadhan tahun depan (1442 H), diperkirakan tidak ada perbedaan, baik dengan metode ruqyatul hilal, hisab imkanur rukyah, maupun hisab hakiki wujudul hilal. Hal itu, Kiai Abdullah menambahkan, karena ketinggian hilal masih memenuhi kriteria MABIMS yang merupakan kesepakatan penentuan takwim Hijriyah dan bulan Hijriyah.

Namun, untuk tahun 2022, berdasarkan pengamatan tim hisab Al-Irsyad Al-Islamiyyah Markaz Jakarta pada waktu ijtimak (conjunction) akhir bulan Sya’ban yang jatuh pada hari Jumat, tanggal 1 April 2022  pukul 13:24 WIB diketahui tinggi bulan  +02°:38':42"  sudut elongasi:  +03°:58':58".

 

"Dari perhitungan di atas berpotensi adanya perbedaan," ujar dia melalui keterangan tertulis kepada Republika.co.id.

Terkait hal itu, ia berharap ada kebersamaan permanen dalam menentukan 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijah. "Kita masih punya waktu satu tahun untuk mengupayakan penyamaan kriteria," ujar Kiai Abdullah. n

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement