Selasa 26 May 2020 04:37 WIB
kelaparan

Sedih dan Lapar: Ada Apa dengan Lebaran 1960-an dan 2020?

Soal kelaparan di awal tahun 1960-an.

Bung Karno saat membuka Asian Games 1962
Foto: wikipedia
Bung Karno saat membuka Asian Games 1962

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Ketika semalam menelpon guru besar falsafah Islam sekaligus penyair sufi, Prof DR  Abdul Hadi WM untuk mengucapkan selamat lebaran dan mohon maaf lahir batin, ada pertanyaan yang membuatnya tercekat. Pertanyaan itu adalah: Prof benarkah rakyat Indonesia sekarang banyak yang lapar?

Mengapa pertanyaan ini diajukan? Jawabnya karena siang sebelumnya sempat menelpon ke kampung halaman. Para kerabat berkata jangan khawatir, di kampung aman karena zona hijau dan baru saja panen.’’Di sini panen padi dan sayur melimpah. Alhamdulillah. Bagaimana di tempatmu? Kami justru khawatir kamu kekurangan makan di Jakarta,’’ kata mereka.

Kekhawatiran itu makin menjadi. Ini karena kebetulan pula ada seorang sahabat, Teguh Setiawan, yang baru saja mengeluhkan bila adiknya yang berada di pedalaman Kalimantan dan mengelola kebun sawit kini susah makan. Menurutnya, mobil dan motor mereka memang punya tapi beras susah didapat. Bahkan sempat beberapa hari lalu makan seadanya, sehari sekali.

‘’Ini tragis. Seumur-umur adik saya tak pernah mengeluh susah makan. Kini dia sudah mengaku minta  bantuan buat beli beras. Mau jual mobil yang dipakai mengangkut sawit — bahkan motor yang biasa dipakai ke kebun --  tak bisa karena juga tak ada yang beli. Rakyat petani kebun sawit sama-sama tak punya uang,’’ katanya seraya mengisahkan adiknya yang sudah 20 tahun mengelola kebun sawit.

Bukan hanya itu, kisah Teguh, untuk menanam tanaman pangan di sana juga sangat susah. Karena sawit membuat tanaman lain susah hidup.’’Celakanya lagi, harga sawit yang dulu luar biasa mahal, kini murah sekali. Harganya anjlok. Bahkan untuk biaya petik dan angkut tak menutupi harga jual panen sawit. Akhirnya sawit dibiarkan membusuk dan rontok dari pohon. Tragis sekali,’’ katanya ketika menceritakan kisah nestapa dari sang adik itu.

                           

                                    ******

Nah, kisah kekhawatiran akan merebaknya bencana kelaparan itulah yang kemudian berkelebat di kepala  dan kemudian ditanyakan kepada Prof Hadi selaku orang tua yang sudah melintasi berbagai zaman pemerintahan.

Dan ketika dia hendak menjawab soal ini dari ujung telepon sesaat kemudian terdengar hela nafasnya yang berat. Mengapa? karena menurutnya soal ini mengisahkan zaman dirinya kala duduk di bangku SMA di Surabaya.

‘’Saga ingat waktu itu sekitar tahun 1962. Kala itu baru saja ada Asian Games dan Ganefo di Jakarta yang sangat meriah dan gemanya sampai ke Surabaya. Kami yang kala itu duduk di bangku SMA merasakannya. Apalagi saat itu ada indoktrinasi soal Nasakom dan berbagai ide politik kenegaraan Bung Karno saat itu,’’ kisahnya.

Namun, katanya, terus terang ketika kini ada pertanyaan apakah zaman itu sama situasinya seperti sekarang, jawabnya memang benar adanya. Serupa meski lain era. Apalagi sudah terpisah waktu hampir 60 tahun.

‘’Persis dengan sekarang, Hampir mirip. Tak berapa lama berselang dari acara pesta olahraga tandingan olimpiada Ganefo (The Games of the New Emerging Forces )dan Asian Games, bencana muncul di mana-mana. Gunung Agung meletuslah dahysat. Tak hanya satu kali, bahkan dua kali. Pura Besakih rusak berat. Sampai-sampai Gubernur Bali saat itu mengungikan warganya dengan jadi transmigran ke Lampung, ‘’ kenang Abdul Hadi.

  • Keterangan foto: Unjuk rasa mengeluhkan ketersediaan beras pada 1960-an.

Celakanya, tak cukup dengan bencana kekurangan pangan saat itu juga merebak. Kabar kelaparan di berbagai tempat di Jawa, misalnya Gunung Kidul, Grobogan, dan lainnya — terdengar kencang. Kisah rakyat susah makan atau pun mengganjal perut kosong dengan ‘gaplek’ (singkong yang dikeringkan) menjadi kabar yang umum. Para pegawai negeri di jatah makanan ‘bulgur’.

‘’Situasi ini makin menjadi-jadi ketika terjadi inflasi yang dahysat. Barang-barang naik harganya dengan tak terkendali dan berubah naik alias semakin mahal dalam setiap hari. Pokoknya susah sekali,’’ lanjutnya. Dalam kisah ini ada juga cerita yang mirip ketika ibunya gagal beli 'stagen' gegara inflasi yang menggila dan adanya kebijakan pemotongan uang atau kebijakan 'gunting Sjafruddin'.

Lalu bagaimana situasi politik saat itu? Abdul Hadi menjawab, situasi juga sangat tak menentu, Dan ini memuncak sampai beberapa tahun kemudian, yakni pada peritiwa berdarah G30S PKI di 1965.’’Jadi dalam masa rentang tiga tahun dari tahun 1962, kondisi politik sangat panas. Persaingan ideologi menjadi. Perpecahan di mana-mana.”

https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn%3AANd9GcQy7GF65aZoZG3mgOGjo2CM9qIe3tVkawMLqPIjARFxo_s1FCm3&usqp=CAU

Tak hanya itu saja, ungkap Abdul Hadi, organisasi masa, termasuk ormas Islam banyak yang pecah. “Seingat saya ormas semacam Pelajar Islam Indonesia (PII) pecah dua, yang satu pro gerakan komunis yang satunya antikomunis. Singkat kata udara terasa serba panas dan terasa sekali suasana  akan terjadinya pertumpahan darah yang tidak tahu kapan meledaknya.”

Yang paling unik, kisah Abdul Hadi, Bung Karno juga sibuk turun menenangkan suasana. Kritikan dari media massa luar negeri yang mengatakan rakyat Indonesia kepalaran ditolaknya metah-mentah. Kala itu dia sibuk ke luar masuk warung, restoran, dan tempat makan di ibu kota bersama para wartawan. Rupanya Bung Karno ingin menunjukan kepada dunia bahwa kabar rakyat yang kelaparan hanya isapan jempol kekuatan ‘Nekolim’ barat.

‘’Bahkan seingat saya, pada sekitar tahun 1964 ada lagu karya Bung Karno: ‘Bersukaria’. Lagu ini sangat terkenal karena dinyanyikan para penyanyi top seperti Bing Slamet, Titiek Puspa, Rita Zahara, dan Nien Lesmana. Saya sedikit ingat sepenggal liriknya: Siapa bilang bapak dari Blitar, Bapak itu dari Prambanan. Siapa bulang rakyat kita lapar, Indonesia banyak makanan,’’ ujar Abdul Hadi dengan nada ringan dan sedikit terkekeh.  Lagu lain yang kala itu terkenal adalah lagu soal Manipol Usdek dengan jargon gayang kepala batu.

Dan ketika hendak mengakhiri pembicaraan Prof Hadi kembali mengatakan situasi sekarang yang terjadi memang amat mirip dengan tahun-tahun pasca penyelenggaran Asian Games  tahun 1962. Dia mengaku kalau ingat situasi itu dia merasa sedih.

‘’Maka bersatulah wahai rakyat Indonesia. Hanya itu yang membuat kita tahan menghadapi tantangan kehidupan,’’ tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement