Ahad 24 May 2020 07:03 WIB

Idul Fitri dan Kebahagiaan Kita

Idul Fitri dan Kebahagiaan itu saling berkohesi.

Nashih Nasrullah
Nashih Nasrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah*

Kita berhadapan dengan situasi dan kondisi Idul Fitri yang berbeda tahun ini. Bukan hakikat dan esensinya. Idul Fitrinya, dalam pengertian sebagai akhir Ramadhan dan awal Syawal, masih sama. Tetap ada takbir, tetap ada sholat Idul Fitri, masih ada sajian kue lebaran, hidangan opor, lalu apa lagi? Silaturahim jalan saja. Semua masih bisa didatangkan untuk menghadirkan nuansa lebaran yang selama ini melekat dalam alam bawah sadar kita.

Hanya saja situasi dan kondisi darurat pandemi Covid-19 menjadikan Idul Fitri dijalani dengan cara yang spesial pula. Jika selama ini kita berbondong-bondong menuju masjid atau lapangan guna menunaikan sholat sunnah Id, kini cukup dilakukan di rumah saja sementara silaturahim bisa dengan cara virtual: video call misalnya. Selebihnya, ragam sajian masih bisa dihidangkan sebagai pelengkap lebaran. Tak mesti ada yang berubah.

Ibnu Hajar Al Asqalani, dalam kitabnya Fath Al Bari fi Syarh Shahih Al Bukhari, menjelaskan prinsip dan ruh yang mendasari perayaan Idul Fitri adalah berbagi kebahagiaan. Idul Fitri adalah farhah (suka cita). Ragam kebiasaan yang dijalani pada saat Idul Fitri seperti memberikan keleluasaan pada keluarga, saling sambung silaturahim, menghadirkan sajian, menyampaikan zakat fitrah, dan bermaaf-maafan sejatinya adalah manifestasi menghadirkan kebahagiaan di tengah-tengah kita. “Dan di dalamnya ada bentuk menampakkan kebahagiaan di hari raya sebagai bagian dari syiar agama,” tulis Ibnu Hajar.

Inilah mengapa Rasulullah SAW, sebagaimana riwayat Bukhari Muslim, tidak menegur dan atau melarang ketika mendapati dua budak perempuan tengah memainkan seruling mereka di kediamaan Aisyah RA. Kedua budak tersebut memainkan seruling sebagai ekspresi kebahagiaan mereka menyambut Idul Fitri. Padahal, Abu Bakar merasa tidak enak hati dengan aksi keduanya. Rasulullah justru membiarkan mereka tetap memainkan seruling dengan merdu. “Sesungguhnya setiap kaum punya hari raya, dan hari ini (Idul Fitri) adalah hari raya kita.” Bisa saja Rasulullah melarang kedua budak itu, tetapi hal itu tidak beliau lakukan karena prinsip ingin menghadirkan kebahagiaan di hari raya. Memberikan kebahagiaan kepada orang lain adalah akhlak terpuji, dan agama ini berdiri di atas fondasi akhlak tersebut.

Riwayat lain juga menggambarkan ekspresi suka cita di hari raya. Rasulullah SAW, sebagaimana penuturan Aisyah, tak segan-segan bermain untuk sementara waktu dengan dengan anak-anak yang beliau jumpai. Mereka bermain dengan Rasulullah dalam suasana Idul Fitri. Aisyah menggambarkan cukup gamblang: saking gembiranya anak-anak tersebut tanpa canggung menaiki pundak Rasulullah SAW.  

Rangkaian Idul Fitri jika kita baca dengan seksama sejatinya sarat dengan farhah dan idkhal as-surur, berbagi kebahagiaan. Zakat fitrah yang wajib kita bayar sebelum pelaksanaan sholat Idul Fitri, di antara hikmah sosialnya, adalah berbagi kebahagiaan dengan sesama. Jangan sampai tetangga, kerabat, atau orang dekat kita tidak bisa merasakan suka cita lebaran sebab tak ada makanan. Syariat zakat fitrah mencegah hal itu terjadi. Terlebih dalam situasi dan kondisi Covid-19 seperti sekarang.

Pun demikian dengan silaturahim. Esensi dari silaturahim adalah menyambung yang terputus, shillat al-inqitha’. Kecurigaan, kebencian, dan permusuhan dalam hubungan dengan manusia menjadikan pribadi-pribadi yang jauh dari sentuhan kasih sayang, variabel terpenting bagi terciptanya kebahagiaan. Silaturahim menyambung keterputusan itu. Terputusnya tali silaturahim memicu multiefek yang tak sederhana baik di dunia atau akhirat. Idul Fitri merupakan momentum  tepat tahunan yang bisa dijadikan media menyambung kembali tali putus itu. Subtansinya tak jauh dari bagaimana kita menghadirkan kebahagiaan Idul Fitri. Ditengok dari aspek rasa memang tak sama antara silaturahim secara fisik langsung dengan sekadar bersua melalui video call, namun sekali lagi, esensi menghadirkan kebahagiaan, Insya Allah terpenuhi.

Idul Fitri dan kebahagiaan saling berkohesi. Begitu pula lah syariat ini dibangun, yaitu mewujudkan kebahagiaan untuk umat manusia baik di kehidupan sekarang, atau di akhirat kelak. Membaca ulang dengan seksama ajaran Islam, akan kita dapati betapa  agama menekankan pentingnya agar kita bahagia. Sholat dijadikan sebagai pelipur lara qurrat ‘ain, puasa disyariatkan agar terwujud kebahagiaan hakiki dari capaian predikat takwa, zakat sudah lebih jelas lagi, dan sementara berhaji menempatkan kita pada tujuan kebahagiaan manusia paripurna: puncak kemabruran.

Tak cuma ibadah mahdhah, ritual-ritual sosial kita yang terkait dengan hablum minannas, juga hakikatnya adalah semangat dan prinsip menghadirkan kebahagiaan bersama-sama. Seolah Islam menyerukan kepada kita: mari beragama dengan riang gembira, mari berislam dengan suka cita, lantas jangan simpan kebahagiaan itu sendiri, saling berbagilah. Inilah menurut pembacaan penulis, mengapa Rasulullah SAW menegaskan dalam sejumlah riwayat bahwa di antara amal ibadah yang paling Allah SWT sukai adalah memberikan kebahagiaan kepada sesama Muslim. Kebahagiaan yang terdistribusikan dengan baik akan menciptakan efek domino berupa terwujudnya kebahagiaan lainnya yang tidak hanya terbatas untuk Muslim, tetapi juga saudara-saudara kita sebangsa, dan saudara kita dalam kemanusiaan. Khairun naas anfa’uhum linnas, level tertinggi kebahagiaan itu ketika dia tersampaikan pula bukan lagi untuk Muslim tetapi segenap umat manusia. Allahu Akbar..Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar walillahilhamd.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement