Sabtu 23 May 2020 16:19 WIB
Komunis

100 Tahun PKI: Jejak Sarekat Islam Tanpa Islam

Jejak Sarekat Islam Tanpa Islam

H Misbach, propagandais PKI tiba di tanah pembungan di Digul, Papua.
Foto: gahetna.nl
H Misbach, propagandais PKI tiba di tanah pembungan di Digul, Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Beggy Rizkiyansyah -- Pegiat Sejarah dan aktivis Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Diantara berbagai ketidaksepahaman kubu kiri di Sarekat Islam, satu hal yang cukup krusial adalah soal agama. Kubu kiri ingin menarik Sarekat Islam ke arah netral agama. Mereka beralasan bahwa agama tidak menyediakan basis yang luas bagi aksi politk. Hal ini diperparah nantinya oleh usul Alimin Prawirodirdjo, yang menginginkan nama Sarekat Islam diganti menjadi Sarekat Hindia. Persoalan agama sebagai landasan berjuang Sarekat Islam memang menjadi isu yang melandasi pertentangan antara kubu kiri dan Islam di SI. Isu ini nantinya akan semakin santer diperdebatkan, khususnya pasca terjadinya Revolusi 1917 di Rusia.

Revolusi 1917 mendapatkan sambutan hangat orang-orang kiri di Hindia Belanda khsusunya Sneevliet. Ia menulis sebuah artikel berjudul ”Zegepraal“ yang berarti kemenangan. Artikel ini memberikan dukungan agar rakyat Indonesia berjuang melawan imperialisme dan keterbelakangan feodal.

Diserukannya, ”Disini ada satoe bangsa jang bersabar hati, sengsara, memikoel kesengsara’an, jalah satoe bangsa dari beberapa million djiwa telah beberapa abad…dan sesoedahnja Dipo Negoro, tiadalah ada bangoen lagi saorang banjak aken mereboet hak beoat mengatoer nasibnja sendiri. Hei, rajat bangsa Djawa, revolutie Rusland mengandoeng pengadjaran djoega bagi kamoe!”

Tulisan ini membawa Sneevliet ke dalam masalah. Pemerintah kolonial bereaksi dengan menyeretnya ke pengadilan dan kemudian mengusirnya dari Hindia Belanda. Di Hindia Belanda orang-orang lintas pergerakan seperti Mas Marco hingga H. Fachrodin bereaksi menentang pengusiran Sneevliet.1-4-sneevliet

  • Keterangan foto: Sneevliet di Semarang tahun 1917. Sumber foto: International Institute of Social History. www.iisg.nl

     

Memang, revolusi di Rusia bukan hanya disambut kaum kiri di Hindia Belanda, tetapi juga tokoh nasionalis semacam Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, yang pertama kali menerbitkan tulisan Sneevliet pada 19 Maret 1917 di De Indier, media massa yang dipimpinnya. Selain Dr Tjipto, Mas Marco juga menulis artikel yang menyambut revolusi tersebut. Ki Hajar Dewantara juga menyambutnya dengan menerjemahkan lagu Internationale. Semangat anti kapitalisme memang menjadi bahasa pada zaman itu. Tetapi Revolusi 1917, secara khusus semakin memperlihatkan kubu kiri yang bergerak diatas prinsip marxisme. Hal ini menjadi persoalan ketika kubu kiri juga turut meluaskan pengaruhnya di Sarekat Islam. Kecurigaan tokoh-tokoh Islam dalam SI seperti Abdoel Moeis dan Haji Agus Salim pada sepak terjang kubu kiri di SI sudah sejak lama. Menurut mereka dibalik Semaoen, ada sosok Sneevliet yang mengendalikannya.

”Lihatlah pekerdjaan Sneevliet, lebih dahoeloe ia petjah persekoetoean jang sebidji-bidjinja!

Sarekat Islam digojang Sneevliet! Padahal masih banjak pekerdjaan jang lain, jang akan lebih berhasil dari ini kelakoean, jang ia soedah bikin.“

Haji Agus Salim pun bereaksi atas pandangan marxis kubu kiri di SI. Dalam artikelnya di surat kabar Neratja pada 1 Oktober 1917, Haji Agus Salim menyebut kelompok SI Semarang sebagai kaum yang,
”…hendak membagi bangsa kita atas ’kaoem pekerdja‘ dengan ’kaoem bermodal.‘ Kaoem itoe jang membatalkan hak-milik, jang memakai nama ‘socialist‘ jang dibangoenkan dan dikembangkan dalam negeri ini oleh toean-toean Sneevliet, Baars d.l.l.“

Haji Agus Salim juga mengkritik mereka dengan mengatakan, ”…kaoem ’socialist‘ itoe memboeta toeli sadja hendak memindahkan sengketa dan perselisihan di roemah tangganja (Eropa) ke tanah air kita.”

Abdoel Moeis juga senada dengan Haji Agus Salim dan dengan terang menunjuk Sneevliet berada di balik Semaoen. Dalam tulisannya yang diterbitkan Sinar Djawa pada 2 Oktober 1917, Moeis menyebut,

”…SI Semarang masih koeat melengkat pada Sneevliet, karena dijwanja SI Semarang ialah Semaoen, sedang toelang tonggong Semaoen ialah Sneevliet.

Boekankah kita tahoe penghidoepan Semaoen ialah dari perkoempoelan VTSP, sedang Djiwanja VTSP ialah Sneevliet poela.“

Gambar 1.5 Abdoel Moeis. Sumber foto: Keith Foulcier (2005)

  • Keterangan foto: Abdoel Moeis. Sumber foto: Keith Foulcier (2005)

     

Semaoen menolak tuduhan Moeis ini. Dalam brosur Anti Indie Werbaar, Semaoen menyanggahnya seraya menyebutkan,”Sneevliet BOEKAN toelang poenggoeng saja, sebab semoea manoesia poenja fikiran sendiri-sendiri. Begitoepoen saja. Perkara SI tida ada perhoeboengan atoe pengaroeh dari Sneevliet.”[7]

Semaoen bisa saja menyanggah, tetapi tuduhan Abdoel Moeis kelak terbukti oleh pernyataan Sneevliet sendiri. Sneevliet menyebutkan,“The Sarekat Islam has provided us with the people for the unions which are developing in Java. The Sarekat Islam has also given us railway workers, the rest of the government employees and also workers in private enterprise. It is the task of the revolutionaries to develop the Sarekat Islam into a communist organisation; an organisation which will be a member of the Third International”[8]

Bagi Sneevliet, infiltrasi gerakan kiri ke dalam Sarekat Islam memberikan akses pada massa (kelompok) pekerja khsusunya buruh pekerja rel kereta. Adalah tugas bagi kelompok komunis untuk mengubah Sarekat Islam menjadi organisasi komunis, dan menjadikan Moskow dan Petrograd sebagai ‘Mekkah’ baru bagi Timur.[9] Senada dengan Sneevliet, aktivis ISDV,-organisasi kiri yang menjadi bagian dari Sarekat Islam- aktivis ISDV, Adolf Baars, menginginkan keterlibatan kelompok kiri di SI hanyalah sebuah ‘batu loncatan.’ Menurutnya ketika perkembangan SI mencapai titik akhir, SI akan kehilangan karakter relijius dan nasionalisnya dan hanya menganggap satu karakter kelas, saat itulah orang ISDV (sebagai organisasi kiri) yang ada di dalam SI hanya akan membiarkan perbedaan di tubuh SI (yang sudah lenyap ) menjadi persatuan aksi massa sosialis.[10]

Gambar 1.6 Salah satu pamflet ISDV. Sumber foto: International Institute of Social History. www.iisg.nl

  • Keterangan foto: Salah satu pamflet ISDV. Sumber foto: International Institute of Social History. www.iisg.nl

     

Pengaruh kubu kiri dipimpin Semaoen kuat. Di Kongres Nasional Sarekat Islam ke-2 pada 20-27 Oktober 1917, kehadiran Semaoen menimbulkan dua mosi. Yang pertama penolakan indie werbaar dan yang kedua mosi pemecatan Semaoen.Akhirnya dicapai kompromi. Kedua mosi tersebut dicabut. CSI tetap mendukung indie Werbaar sebagai daya tawar untuk perjuangan menuju kedaulatan politik dan kesejahteraan. Kapitalisme juga menjadi pembahasan penting. Semaoen menolak adanya kapitalisme pribumi. Namun sikap SI diputuskan untuk menolak kapitalisme jahat sekaligus tidak menolak kapitalisme pribumi. Kongres CSI kedua tersebut menghasilkan keputusan yang membahas antara agama, kekuasaan dan kapitalisme dan menyimpulkan:

“Dengan tiada ferdoelikan segala igama jang lain, dan mengoesahakan kesabaran hati sebagai jang terboeka oleh Al-Qoeran dalam soerat Qoelya, maka Centraal Sarekat Islam pertjaja igama Islam itoe memboeka rasa fikiran demokratis.

Sambil mendjoendjoeng tinggi pada koeasa negeri. Maka Centraal Sarekat Islam menoentoet bertambah-tambah koeasa negeri, pengaroehnja segala golongan ra’jat Hindia di atas djalannja Pemerintahan agar soepaja kelak mendapat koeasa pemerintah sendiri (zelfbestuur). Boeat mentjapai hal itoe maka Centraal SI akan menggunakan segala kekoeatannja menoeroet djalan jang patoet. Centraal Sarekat Islam tidak menjoekai soeatoe bangsa berkoeasa di atas bangsa jang lain dan menoentoet soeatoe pihak keoasa negri akan memberikan perlindoenagna jang besar oentoek orang-orang jang lembek dan miskin baik beoat keperloean mentjari kepandaian, moepoen boeat keperloean mentjari makan. Centraal Sarekat Islam memerangi kekoeasannja kapitalsime jang djahat pada kejakinannja bahagian terbesar daripada pendoedoek boemipoetra amat boeroek adanja.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement