Sabtu 23 May 2020 15:47 WIB
Komunis

Hari Ini 100 Tahun PKI: Jejak Komunis Dalam Sarekat Islam

Jejak komunis dalam perpecahan Sarekat Islam

Ulang tahun PKI pada tahun 1964 di Senayan.
Foto: google.com
Ulang tahun PKI pada tahun 1964 di Senayan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Sejarah dan Aktivis Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Hindia Belanda (Indonesia) diawal abad ke 20 adalah sebuah negeri yang telah melalui zaman yang berbeda. Selepas sistem ekonomi kolonial yang mengeksploitasi alam habis-habisan melalui tanam paksa (culturstelsel), tanah air kembali diperas bersama manusianya dengan munculnya perkebunan-perkebunan milik swasta asing. Situasi sosial dan ekonomi di Hindia Belanda ditandai dengan berbagai perubahan. Kantor pelayanan publik bermunculan, perusahan-perusahan swasta hadir di Hindia Belanda, industri seperti gula dan tembakau menjadi tulang punggung baru ekonomi di Hindia Belanda. Namun semua itu hadir bukan demi rakyatnya, tetapi demi mengokohkan kolonialisme di Hindia Belanda.

Orang-orang pribumi saat itu juga mulai menikmati pendidikan di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial. Politik etis yang mendorong pendidikan untuk orang pribumi sejatinya hanyalah kaki-kaki untuk menopang kolonialisme di Hindia Belanda. Kelak orang-orang pribumi yang mengecap pendidikan diproyeksikan sebagai petugas-petugas dalam sistem ekonomi kolonial. Meskipun begitu, bagi orang-orang pribumi pendidikan dapat menjadi pendongkrak status sosial. Pendidikan di sekolah kolonial tetap dianggap sebagai sesuatu yang menjanjikan bagi masa depan.

Orang-orang pribumi terdidik secara barat ini kemudian mendapatkan pencerahan baru dengan memasuki era media massa. Media massa lokal menjamur menjadi sumber pencerahan. Ratna Doemillah, Medan Prijaji atau Sinar Djawa dikenal sebagai media massa lokal saat itu. Media massa bukan satu-satu penanda perubahan zaman. Penanda lain adalah dimulainya organisasi-organisasi bagi orang pribumi, terutama Sarekat Islam sebagai simbol kebangkitan orang-orang pribumi. Hadirnya Sarekat Islam memberikan rasa harga diri bagi orang pribumi. Meski awalnya didirikan sebagai perkumpulan untuk dagang, namun dalam perkembangannya Sarekat Islam menjadi organisasi massa yang menyuarakan kepentingan rakyat, bukan sekedar perkumpulan tetapi menjadi pergerakan nasional.

Sarekat Islam meroket dan merebut hari masyarakat pribumi ketika itu. Jumlah anggotanya meledak, Dari 35 ribu orang di Agustus 1914, pada tahun1915, Sarekat Islam telah memiliki 490.120 anggota. Bahkan pada tahun 1919, anggota Sarekat Islam telah mencapai 2 juta orang. Sarekat Islam memang mampu menyatukan penduduk pribumi. Agama Islam sebagai pengikat yang erat diantara masyarakat Hindia Belanda ketika itu. Kala itu, menyebut orang pribumi berarti adalah orang Islam. Sarekat Islam mampu menyatukan rakyat pribumi dari berbagai lapisan, mulai dari kalangan bangsawan, terdidik barat, petani, buruh hingga para ulama.

Atas azas Islam ini pula SI memilki daya ikat yang luar biasa. Bagi SI, agama Islam bukanlah sekedar ‘jualan’ untuk mengumpulkan massa, seperti yang dituduhkan sebagian kalangan. Dampak dari hadirnya Sarekat Islam amat terasa pada sisi keshalehan. Masjid-masjid menjadi lebih penuh, bukan hanya di hari Jumat, tetapi juga di hari-hari biasa. Ada kalanya masjid-masjid sampai penuh sesak tak mampu menampung jamaah. Banyak pekerja yang meminta libur pada hari Jumat. Di Menggala, Lampung, misalnya, warung tutup saat waktu Jumat.

Tak dapat dipungkiri, Sarekat Islam mendapatkan tempatnya di hati rakyat juga karena karisma HOS Tjokroaminoto sebagai pemimpin pergerakan. Ia membawa Sarekat Islam menjadi organisasi nasional yang memihak kepentingan rakyat. Sarekat Islam memang tak dikekang oleh pemerintah kolonial. Gubernur Jenderal Idenburg menanggap kemunculan Sarekat Islam sebagai dampak dari politik etis yang mereka lakukan. Cepat atau lambat akan ada pergerakan semacam Sarekat Islam. Alih-alih mengekangnya, pemerintah kolonial memilih bersikap koperatif terhadap Sarekat Islam.

Tjokroaminoto di lain sisi juga tidak bersikap frontal terhadap pemerintah kolonial. Indische Partij (IP) yang digerakkan oleh Douwes Dekker, dr. Tjipto Mangoenkoeseomo dan Ki Hajar Dewantara menjadi contoh dari sikap frontal terhadap pemerintah kolonial. Mengusung slogan “Hindia untuk Hindia”, IP dengan cepat dibungkam oleh pemerintah.

Di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto, Sarekat Islam berdiri di berbagai daerah, bahkan hingga luar pulau Jawa seperti Bali, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan hingga Maluku. Untuk memudahkan kordinasi dengan berbagai cabangnya (afdeling), dibentuk Centraal Sarekat Islam (CSI). CSI tidak memiliki kuasa atas cabang-cabangnya. Setiap afdeling SI memiliki otonomi tersendiri.[3] Salah satunya adalah Sarekat Islam cabang Surakarta dan Semarang, yang akan banyak berseberangan dengan CSI di bawah Tjokroaminoto.

SI Surakarta setelah menjadi tempat berdirinya Sarekat Islam, lama-kelamaan kehilangan pengaruhnya di bawah Haji Samanhoedi. Dilanda beberapa pengunduran diri pengurusnya yang berasal dari kalangan Kesunanan akibat tekanan pemerintah kolonial, SI Surakarta kemudian mendapat suntikan tenaga muda dari sosok Mas Marco Kartodikromo. Mas Marco yang sebelumnya bekerja di Medan Prijaji, menjadi editor Sarotomo, penerbitan media massa berkala dari Sarekat Islam Surakarta. Ia juga ditunjuk sebagai Komisioner SI. Mas Marco memiliki pendirian yang berbeda dengan Tjokroaminoto.[4]

Gambar 1.1 Pertemuan Sarekat Islam di Blitar tahun 1914. Sumber foto: KITLV Digital Media Library

  • Keterangan foto: Pertemuan Sarekat Islam di Blitar tahun 1914. Sumber foto: KITLV Digital Media Library

     

Mas Marco Kartodikromo lahir di Cepu tahun 1890. Seperti mentornya, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara), ia adalah tokoh yang frontal mengkritik kebijakan pemerintah kolonial. Tahun 1914 ia mendirikan Indische Journalisten Bond (Ikatan Jurnalis Hindia). Ia juga menerbitkan Doenia Bergerak. Lewat Doenia Bergerak, ia mengkiritk Dr. Rinkes, Penasehat Urusan Pribumi, yang juga berhubungan baik dengan Tjokroaminoto. Sikap frontal Marco mengkritik pemerintah kolonial membuatnya dijerat dengan delik pers (persdelichten). Tahun 1915 ia dihukum selama 7 bulan penjara.[5] Sikap berseberangan CSI dengan cabang Sarekat Islam bukan hanya terjadi pada SI Surakarta saja, tetapi juga dengan SI Semarang.

SI Semarang memiliki sikap yang berseberangan dengan CSI sejak Semaoen, memegang kendali Sarekat Islam Semarang. Semaoen, yang lahir tahun 1899, awalnya adalah seorang juru tulis di Staatsspoor. Ia kemudian bergabung dengan SI Surabaya tahun 1914 dan terpilih menjadi sekertarisnya. Tahun 1915, Semaoen bertemu dengan Sneevliet dan segera tertarik dengan aktivitasnya. Semaoen kemudian bergabung dengan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), sebuah perkumpulan yang awalnya adalah klub debat kaum sosial demokrat di Hindia Belanda. Selain ISDV, Semaoen juga bergabung dengan VSTP (Vereniging van Spoor Tramweg Personal), serikat buruh kereta di Hindia Belanda. Di VSTP, Semaoen segera berperan besar terutama dalam menggerakan pemogokan-pemogokan buruh.[6]

  • Gambar 1.2 Semaoen. Sumber foto: wikipedia

    Keterangan foto: Semaoen. Sumber foto: wikipedia

     

Sosok Semaoen memang tak bisa dilepaskan dari figur Sneevliet sebagai mentornya. HJFM Sneevliet awalnya adalah aktivis serikat buruh di Belanda. Ia kemudian datang ke Hindia Belanda, mendirikan ISDV dan bergabung dengan VSTP. Di tangan Sneevliet, VSTP yang awalnya didominasi orang Eropa dan indo segera didominasi orang-orang pribumi.

Semaoen di VSTP segera menjadi salah satu pemimpinnya. Ia mampu menggerakkan berbagai pemogokan buruh. Begitu pula dengan perannya di Sarekat Islam. Sejak pindah dari SI Surabaya ke SI Semarang, Semaoen mampu menjadi ketua SI Semarang. Ia mampu menggaet anggota SI Semarang dari 1700 orang di tahun 1916, setahun kemudian menjadi 20 ribu orang. Melalui surat kabar Si Tetap dan Sinar Djawa, Semaoen menyuarakan berbagai kritik kerasnya kepada pemerintah kolonial.

Keadaan tahun 1917-1918 menyengsarakan. Kebijakan pemerintah kolonial semakin menjadi-jadi. Di tengah situasi sulit yang mencekik rakyat, keberpihakan pemerintah kolonial malah condong kepada pengusaha perkebunan. Air untuk irigasi sawah rakyat hanya diperbolehkan pada malam hari. Siang hari air mengalir untuk perkebunan. Rakyat yang pada siang hari sudah bekerja, harus bekerja keras lagi pada malam harinya mengawasi irigasi. Semaoen dalam Sinar Hindia menulis,”Ra’jat Hiindia tidak poenya keperloean sama sekali fatsal adanja fabrik goela, ondermining thee, koffie, rubber dan sebagainja jang bagitoe banjak, sebab hasilnja kapitalis loear Hindia dan loear negeri Belanda, sebab adanja ini semoa meroesak kemadjoen peroesahaan tanah boemipoetra, peroesahaan jang mana perloe sekalo boeat keselamatan ra’jat Hindia jang sebagian besar bikin merdeka boemipoetra dalam pentjarian idoepnja dan bikin makanan di sini.“

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement