Sabtu 23 May 2020 08:25 WIB

Lebaran, Covid-19, dan Covidiot

Covidiot sangat membahayakan masyarakat.

Trimanah, Dosen Unisula Semarang
Foto: Istimewa
Trimanah, Dosen Unisula Semarang

REPUBLIKA.CO.ID, --- Oleh Trimanah MSi, Dosen Ilmu Komunikasi UNISSULA Semarang/Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi USAHID Jakarta

Dua bulan lebih kita menjalani hidup yang tidak normal akibat pandemic covid-19. Enam puluh harian lebih kita berdiam di rumah, bekerja di rumah, dan beribadah di rumah, sesuai anjuran pemerintah sebagai upaya antisipasi diri dan memutus rantai penyebaran virus. 

Anjuran untuk melakukan physical distancing ini dikeluarkan pemerintah setelah melewati “drama” yang cukup panjang. Ada konstelasi yang cukup kencang dan terjadi tarik ulur yang panjang antara pemerintah daerah, khususnya DKI Jakarta dengan pemerintah pusat. 

Hinga pada akhirnya kemudian dikeluarkan keputusan pemberlakukan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020 yang ditandatangani oleh presiden pada tanggal 31 Maret 2020, dua puluh Sembilan hari pasca diumumkannya kasus pertama pada 2 Maret 2020. 

Kota Tegal dan DKI Jakarta adalah dua wilayah yang terlebih dahulu memberlakukan PSBB, disusul beberapa kota lainnya di Indonesia.

Hingga hari ini, pemberlakukan PSBB sudah dilakukan tiga tahap. Tetapi aturan tinggallah aturan, sebab tidak dibarengi dengan penegakan aturan yang tegas tanpa pandang bulu. Penegakan aturan akan memaksa orang untuk disiplin. Sebaliknya penegakan aturan yang setengah-setengah akan membuat aturan tidak dihargai. 

Selama ini upaya penegakan aturan umumnya masih bersifat himbauan dan anjuran, tetapi minim penindakan. Himbauan dan anjuran tak membuat orang patuh pada aturan. Lemahnya penegakaan aturan tersebut akhirnya berbuntut panjang. 

Mari kita lihat data penyebaran covid-19 di Indonesia setelah pemberlakukan PSBB pada akhir Maret yang lalu. Di bulan Mei ini saja, Indonesia sudah tiga kali pecahkan rekor tertinggi kasus covid-19. Pada Sabtu, 9 Mei 2020, laman covid19.go.id melaporkan ada 533 kasus baru. 

Sepuluh hari kemudian, tepatnya tanggal 19 Mei 2020, ditemukan 693 kasus baru. Dan dua hari berikutnya yaitu tanggal  21 Mei kemarin, ada penambahan hampir 1000 kasus baru dalam sehari. Ini data yang luar biasa. Data ini hanyalah fenomena puncak gunung es. Data yang sebenarnya pasti lebih besar dari itu. 

Kenapa hal ini bisa terjadi? Salah satunya tentu karena aturan PSBB dan protocol physical distancing tidak dijalankan dengan maksimal, baik oleh pemerintah dan aparat penegak hukum dan juga oleh masyarakat yang semau sendiri. 

Rekor terakhir kemarin pada Kamis 21 Mei  di mana dilaporkan ada 973 kasus baru dalam sehari. Diprediksi rekor ini masih akan pecah lagi dalam beberapa hari kedepan. Hal ini dikarenakan  tidak jelasnya sikap pemerintah dalam menangani pandemic ini. Indikasi ketidakjelasan sikap pemerintah bisa dilihat dari pernyataan pemerintah yang tidak konsisten, ”mudik dilarang, pulang kampung boleh”, “relaksasi PSBB dan berdamai dengan covid”, “yang dilarang mudiknya, bukan transportasinya”, “massyarakat usia di bawah 45 tahun sudah boleh masuk kerja”, “moda transportasi umum dan bandara mulai beroperasi”, dan beberapa pernyataan-pernyataan blunder lainnya yang terkesan kontraproduktif dengan upaya memutus rantai penyebaran virus.

Keseluruhan pesan dan narasi dari pemerintah ini hanya menambah kebingungan masyarakat dan keengganan menjalankan aturan. 

Mudik, Lebaran dan PSBB

Lebaran Idul Fitri tinggal esok hari. Tradisi mudik menjadi rutinitas tahunan yang turun temurun dilakukan masyarakat Indonesia. Meski pandemic tengah berlangsung dan aturan PSBB masih berlaku, masyarakat kita tetap mencari jalan untuk bisa pulang ke kampung halaman. 

Diksi yang dikeluarkan pemerintah,“Mudik dilarang, pulang kampung boleh” dan lemahnya penegakan aturan menjadi alasan orang berbondong-bondong menuju kampung halaman untuk berlebaran disana. Mereka merasa tidak sedang mudik, tapi sedang pulang kampung. Apalagi tidak ada pemblokiran atau penutupan jalan.

Jalan tol-pun masih buka seperti hari biasa. Walhasil, meski ada pemeriksaan untuk pemudik, tetapi pintu-pintu tol krusial seperti Cikampek tetap saja mengalami kepadatan, dan jalan tolpun ramai oleh pemudik. Begitupun dengan bandara, tetap ramai. 

Pergerakan masyarakat dari daerah metropolitan dan sekitarnya sebagai daerah pusat pandemic ke daerah-daerah lain  tentunya akan membawa konsekswensi baru. Siapa yang bisa menjamin bahwa semua pemudik itu negative covid-19? Siapa yang tahu bahwa diantara para pemudik itu ada orang tanpa gejala (OTD)? 

Di kampung halamannya, para pemudik ini akan membaur dengan kerabat, saudara dan tetangga. Himbauan untuk mengisolasi  diri setibanya di kampung halaman  belum tentu dijalankan. 

Selain mudik, lebaran juga selalu diisi dengan tradisi makan-makan istimewa. Memasak lontong, ketupat, opor, rendang, semur, dan masakan-masakan istiewa lainnya menjadi rutinitas tahunan yang antusias dilakukan oleh warga. Untuk memenuhi kebutuhan dan bahan untuk memasak, pasar akan menjadi pusat keramaian yang sulit dihindarkan menjelang lebaran. 

Dalam pengamatan penulis, di mana hari ini berkunjung ke salah satu pasar tradisional di kabupaten Pekalongan, menunjukkan kenyataan yang sangat ironis di tengah masa pandemic yang semakin mengkhawatirkan. Pasar tradisional ramai luar biasa. Untuk berjalanpun susah karena saking rapatnya jarak diantara orang yang beraktivitas disana, baik penjual maupun pembeli. 

Keadaan yang seperti itu, mengurungkan niat penulis untuk melanjutkan aktivitas berbelanja kebutuhan harian, dan hanya berbelanja di pinggiran pasar yang masih longgar. 

Begitupun dengan tradisi lebaran lainnya yang sulit untuk ditinggalkan, yaitu silaturrahmi dari satu rumah ke rumah, saling mengunjungi kerabat dan sahabat. 

Tradisi ini akan tetap berjalan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Shalat ied juga tampaknya akan teratp berlangsung di banyak masjid di kampung-kampung.

Keadaan-keadaan yang seperti inilah yang memunculkan prediksi bahwa dalam beberapa hari kedepan akan ada pemecahan rekor baru kasus covid-19. Pemberlakuan PSBB yang setengah hati dan “santuy”nya sikap pemerintah dan warga akan memberikan kontribusi signifikan pada peningkatan grafik kasus covid-19 di kemudian hari.    

Siapa yang paling berkontribusi dalam keadaan yang seperti ini? Pemerintah dan masyarakat yang abai pada aturan yang dibuat, dan abai pada upaya-upaya pencegahan dengan tetap membolehkan  aktivitas di tempat-tempat keramaian dan tak mengindahkan protocol physical distancing. Dua-duanya befrkontribusi pada keadaan seperti sekarang ini. 

Kalau dalam bahasa komunikasinya, mereka adalah orang-orang yang apatis, yaitu orang-orang yang acuh pada signal-signal komunikasi yang ada di sekitarnya. 

Dalam komunikasi, ada tingkat dalam memahami signal pesan, yaitu (1) kognitif; tingkatan dimana seseorang hanya sekedar “tahu” isi pesan, (2) afektif; tingkatan dimana seseorang bisa merasakan informasi secara emosiaonal, dan (3) konatif; tingkatan di mana seseorang mau melakukan sesuatu berdasarkan pesan atau informasi yang didapatnya melalui orang, media dan lingkungan dimana dia berada. Dalam konteks komunikasi di era pandemic ini, tampaknya baik pemerintah maupun masyarakat baru sampai pada tingkatan pemahaman yang pertama dan kedua. 

Secara kognitif, pemerintah maupun masyarakat sama-sama tahu bahwa covid-19 adalah virus yang berbahaya, yang cepat menular dari manusia ke manusia. Oleh sebab itu, interaksi antar manusia harus dihindari. Mereka juga tahu untuk menjaga kebersihan dengan memakai masker dan mencuci tangan. Mereka juga tahu kenapa pergerakan orang harus dibatasi. Mereka tahu itu. Tapi hanya sekedar tahu.

Secara afektif, pemerintah dan masyarakat juga sudah merasakan bagaimana dampak virus ini bagi orang-orang yang terpapar, banyaknya jumlah yang meninggal, banyaknya tenaga medis yang tak berdaya bekerja ekstra keras dari hari biasa, dan dampak emosional lainya dari penyebaran covid-19 ini. 

Namun demikian, baik pemerintah maupun masyarakat umumnya masih belum sampai pada tingkatan pemahaman konatif. Sebab pada umumnya, baik pemerintah maupun masyarakat belum mau menjalankan protocol physical distancing dengan maksimal, belum mau menerapkan dan mematuhi aturan PSBB dengan  bersungguh-sungguh.

Bahkan keduanya cenderung mengabaikan pemahaman kognitif dan afekti yang sudah mereka miliki dengan melakukan tindakan-tindakan yang kontraproduktif dengan apa yang mereka ketahui dan pahami. 

Belakangan ini muncul satu kosa kata baru yang disematkan pada orang-orang yang abai pada permasalahan penyebaran covid-19 meskipun mereka tahu dan paham situasinya, yaitu COVIDIOT. Kata ini merupakan gabungan antara dua kata, covid-19 dan idiot. Menurut Urban Dictionary, kata covidiot memiliki arti seseorang yang mengabaikan peringatan terkait kesehatan atau keselamatan publik. Arti lain dari covidiot adalah orang bodoh yang dengan keras kepala mengabaikan aturan social distancing sehingga membantu penyebaran covid-19. 

Kata ini muncul atas kegeraman netizen pada perilaku sebagian masyarakat yang membahayakan orang-orang sekitar, termasuk membahayakan orang-orang yang sudah disiplin menjalankan physical distancing.  

Covidiot tidak pandang bulu, tidak pandang suku, tidak pandang status social, tidak pandang penguasa, tindak pandang rakyat. Covidiot adalah covidiot. Ia seperti virus yang bisa menjangkiti siapa saja. 

 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement