Ahad 24 May 2020 09:33 WIB

Fitofarmaka, Pilihan Obat dengan Kembali ke Alam (Bagian 2)

Saat ini baru ada 18 fitofarmaka di Indonesia.

Para peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan proses ekstraksi saat uji laboratorium penemuan obat herbal untuk penyembuhan COVID-19 dan penghambatan pertumbuhan virus corona di Pusat Penelitian Kimia LIPI di Banten, Indonesia pada Jumat 8 Mei 2020.
Foto: Anadolu/Eko Siswono Toyudho
Para peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan proses ekstraksi saat uji laboratorium penemuan obat herbal untuk penyembuhan COVID-19 dan penghambatan pertumbuhan virus corona di Pusat Penelitian Kimia LIPI di Banten, Indonesia pada Jumat 8 Mei 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, Fitofarmaka menjadi pilihan bagi negara seperti Indonesia dengan kekayaan hayati yang berlimpah. Dengan waktu pengembangan lima hingga 10 tahun dengan dana Rp 8 miliar hingga Rp 10 miliar dari mulai riset awal hingga jadi satu obat, valuasi ekonominya tentu.

Sebagai pembanding, untuk mengembangkan satu obat konvensional atau kimia single compound secara normal setidaknya membutuhkan waktu 20 hingga 30 tahun. Investasinya pun sangat besar dapat mencapai Rp 50 miliar bahkan Rp 100 miliar.

Baca Juga

Perusahaan farmasi Indonesia mana yang mau melakukan riset obat single compound tersebut?

Mereka harus mencari DHA aktif dan harus mencari sintesisnya yang sesuai dengan pasar industrinya dan tidak perlu banyak langkah. Investasi pada tahap tersebut sangat besar, dan harus dilalui sebelum masuk tahapan selanjutnya mulai dari praklinik, clinical trial 1, clinical trial 2, clinical trial 3 yang keseluruhan hasil obatnya harus 100 persen aman bagi manusia.

Di Amerika Serikat maupun Eropa, obat yang dikembangkan sekarang ini harus memiliki kemampuan penyembuhan di atas obat-obat yang sudah ada di pasaran. Kalaupun yang sedang atau akan dikembangkan sama keampuhannya dengan yang sudah ada, Food and Drug Administration (FDA) mereka tidak akan menyetujuinya.

Begitu ketat untuk mengembangkan satu obat konvensional, karenanya melihat kekayaan leluhur menjadi alternatif.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement