Anggota DPR, Perlu Kombinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal

Kombinasi kebijakan diperlukan untuk merespons perlambatan pertumbuhan ekonomi

Jumat , 22 May 2020, 18:38 WIB
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi
Foto: pixabay
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Ramson Siagian mengaku sebenarnya sebelum pandemi Covid-19, telah berjalan kombinasi antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal untuk merespons perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan domestik. Itu terjadi atas desakan-desakan anggota Komisi X DPR RI pada saat rapat-rapat dengan Menteri Keuangan, (Menkeu) Gubernur Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada bulan November dan Desember 2019.

"Bank Indonesia melakukan jalur transmisi penurunan acuan suku bunga secara bertahap dan cukup siknifikan yang pelaksanaan di perbankan didukung oleh OJK. Dari sisi kebijakan fiskal usulan agar Menteri Keuangan bertahap menurunkan tarif pajak penghasilan dan kemudahan perpajakan," ujar politikus Partai Gerindra tersebut dalam keterangan tertulisnya, Jumat (22/5).

Baca Juga

Lanjut Ramson kombinasi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal tersebut sangat diperlukan untuk merespons potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan domestik pada akhir 2019. Ini antara lain untuk  mendorong peningkatan konsumsi masyarakat ataupun domestic consumption di waktu berikutnya  dan di satu sisi mendorong penguatan dari sisi supply.

"Tujuannya, agar produk produk dalam negeri bisa harganya lebih kompetitif dengan menurunnya cost of money. Sehingga ini bisa meningkatkan kemampuan bersaing di pasar domestik dan pasar global (ekspor)," terang Ramson.

Menurut Ramson, karena terlalu mengandalkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan atau Bantuan Sosial (Bansos) untuk menjaga pertumbuhan konsumsi domestik akan berdampak peningkatan belanja negara yang terlalu besar dan berpotensi melebarkan defisit fiskal. Sehingga untuk akhir 2019 kombinasi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal tersebut sebagai upaya yang tepat dan akan efektif untuk menahan potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi di tahun berikutnya  agar tetap bisa menjaga pertumbuhan ekonomi sekitar diatas 5 persen.

"Kembali merespons dampak ekonomi Covid-19, sejak awal Maret 2020 anatomi perekonomian nasional bergeser cepat, dengan bertambahnya belanja negara antara lain peningkatan stimulus dampak Covid-19 dan di satu sisi potensi berkurangnya penerimaan negara secara signifikan," tegasnya.

Maka dengan demikian, sambung Ramson, otomatis defisit fiskal semakin melebar. Menteri Keuangan menyampaikan bahwa defisit fiskal, defisit APBN 2020 akan mencapai Rp 852, 9 triliun atau sekitar lima persen dari PDB. Kata Ramson, ini jelas akan memerlukan pembiayaan yang besar dan otomatis akan menambah jumlah utang yang besar pula. Menteri Keuangan  menyampaikan outlook pembiayaan utang pada 2020 yang antara lain untuk peningkatan belanja stimulus dampak Covid-19 serta  warisan utang tahun-tahun sebelumnya.

 

"Pembiayaan defisit Rp 852,9 triliun, pembiayaan Investasi dan lainnya (net) Rp 153,5 triliun, pembiayaan Utang Neto (1) + (2) Rp 1.006,4 trliun. Utang jatuh tempo Rp 433,4 triliun, pembiayaan Utang Bruto (3) + (4) Rp 1.439,8 triliun, sumber pembiayaan utang Rp 1.439,8 triliun. Penerbitan Pinjaman Rp 150,5 triliun dan penerbitan SBN Rp 1.289,3 triliun. Kemudian dikurangi realisasi sampai dengan 31 Maret 2020 Rp 221,4 triliun, program pemulihan ekonomi nasional Rp 150,0 triliun, penurunan GWM Pebankan Rp 105,0 triliun. Total SBN Financing Rp 812,9  triliun +spn /S Jatuh Tempo 2020 Rp 43,9 triliun, penerbitan SBN Q2 sampai dengan Q4 Rp 856,8 triliun," papar Ramson.

 

Selanjutnya, Ramson menerangkan, dari sisi kebijakan moneter dampak ekonomi Covid-19 juga  memerlukan penyesuaian yang cepat. Pada sekitar akhir Maret dan awal April 2020 mungkin antara lain dengan merebaknya isu-isu cetak uang respons  market cukup memperlemah  posisi rupiah dan  sempat mendekati Rp 17 ribu per dolar AS.

Namun, kata Ramson, dengan berhasilnya pemerintah memperoleh utang dengan menerbitkan obligasi Global Bond sebesar 4,3 miliar dolar AS. Pada saat bersamaan Bank Indonesia mengupayakan Quantitative Easing dalam bentuk operasi moneter atau bukan mencetak uang untuk meningkatkan likuiditas  dengan melakukan Pembelian SBN pemerintah dari pasar sekunder Rp 166, 2 triliun, Term Repo Perbankan Rp 137, 1 triliun. Penurunan GWM Rp 53 triliun dan Rp 102 triliun, serta tidak mewajibkan tambahan Giro bagi yang tidak memenuhi PLM Rp 15,8 triliun.

"Total sebesar Rp 503,8 triliun, serta posisi cadangan devisa yang  membaik, dan upaya kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia berhasil memperoleh Repo line dari The Federal Reserve sebesar 60 miliar. Bersamaan dengan kombinasi tindakan tindakan tersebut posisi rupiah kembali ke posisi sekitar Rp 15 ribu per dolar AS," tutup Ramson.