Jumat 22 May 2020 02:44 WIB

Ada Isu Besar di Balik Lelang Keperawanan

Ada isu kehancuran ekonomi yang juga disampaikan dalam lelang keperawanan Sarah Kiehl

Ichsan Emrald Alamsyah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ichsan Emrald Alamsyah*

Namanya Sarah Kiehl alias Sarah Salsabila. Ia menjadi tajuk utama sebagian besar media daring hanya dalam semalam.

Sarah menjadi terkenal ketika melelang keperawanan dengan harga awal Rp 2 miliar. Alasan dan tujuannya tak terdengar, akan tetapi yang diingat warganet hanya soal lelang keperawanan.

Berita pun bergulir dan Sarah pun menghapus unggahannya di akun media sosial @sarahkiehl. Tak berapa lama, Sarah pun meminta maaf, dengan mengaku hanya bentuk sarkas dari sindiran kepada publik yang mengabaikan pandemi Covid-19. Sarah kini, tak hanya menerima cacian dan makin,  dikutip dari berbagai sumber. Ia kemungkinan terancam pidana berdasarkan Undang-Undang ITE.

Namun dibalik itu semua ada isu besar yang diangkat Sarah ke permukaan. Isu itu adalah ambruknya sebagian Usaha Mikro Kecil Menengah atau UMKM.

Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki bahkan telah mengatakan berdasarkan hasil survei yang dilakukan sejumlah lembaga dan Kementerian UMKM, kemungkinan 47 persen UMKM akan gulung tikar dampak dari berhentinya kegiatan masyarakat akibat Covid-19. Ia menyebut UMKM mengalami masalah dalam arus kas sehingga terpaksa rumahkan karyawan.

Dalam diskusi yang berbeda, Teten menyatakan kondisi ekonomi yang terdampak Covid-19 saat ini berbeda dengan saat krisis 1998 dulu. Sebab, kini bisnis UMKM pun terimbas. Ia menjelaskan pada 1998, UMKM betul-betul jadi penyelamat ekonomi dan sosial. Ketika banyak (industri) berjatuhan, ekspor UMKM justru naik 350 persen.

Ia menjelaskan, peningkatan ekspor UMKM pada 1998 tersebut didorong oleh tingginya kurs dolar AS. "Sehingga ekspor UMKM yang kebanyakan furnitur dan bahan baku lokal hasil laut dan pertanian itu meningkat dengan dolar AS tinggi," ungkapnya.

Sementara pada kondisi sekarang, lanjut dia, perekonomian global pun tengah lesu. Dengan begitu permintaan turun.

Ambruk Agustus

Sementara itu, berdasarkan hasil riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Ketenagakerjaan dan Universitas Indonesia sebagian besar kegiatan usaha diperkirakan hanya mampu bertahan kurang dari tiga bulan saat pandemi COVID-19.

Ringkasnya, berdasarkan riset tersebut 41 persen pengusaha hanya dapat bertahan hingga Agustus.

Bahkan tidak hanya perusahaan kecil alias UMKM tapi ada juga perusahaan besar yang punya tujuan ekspor mengalami pengurangan produksi dan mengurangi jumlah tenaga kerja. Pandemi COVID-19 menyebabkan terhentinya kegiatan usaha dan rendahnya kemampuan bertahan pengusaha.

LIPI juga melaporkan riset itu menyebutkan 24 persen pengusaha mampu bertahan selama 3 hingga 6 bulan, 11 persen mampu bertahan selama 6 sampai 12 bulan ke depan, dan 24 persen mampu bertahan lebih dari 12 bulan. Hasil survei mencatat 39,4 persen usaha terhenti, dan 57,1 persen usaha mengalami penurunan produksi. "Hanya 3,5 persen usaha yang tidak terdampak,” tutur Nawawi.

Hasil survei juga menunjukkan COVID-19 juga berdampak pada usaha mandiri di mana 40 persen usaha mandiri terhenti kegiatan usahanya, dan 52 persen mengalami penurunan kegiatan produksi

COVID-19 juga berdampak 35 persen usaha mandiri tanpa pendapatan dan 28 persen pendapatan menurun hingga 50 persen. Tim peneliti memprediksi pekerja usaha mandiri hanya mampu bertahan maksimal dua bulan.

Survei menunjukkan 45 persen pekerja usaha mandiri memperoleh pendapatan dua juta ke bawah. Kemudian, 41 persen hanya mengandalkan pendapatan dari pekerjaan yang ada.

Seperti yang dijelaskan Menkop Teten Masduki, bila berkaca dari kondisi saat ini, UMKM yang selama ini jadi penopang ekonomi nasional telah mengalami goncangan. Hal ini tentu berdampak pada kondisi rumah tangga sebagian besar masyarakat Indonesia.

Alasannya, karena berdasar data Bank Indonesia, UMKM mempunyai tingkat penyerapan tenaga kerja sekitar 97 persen dari seluruh tenaga kerja nasional dan mempunyai kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sekitar 57 persen. Sehingga mau tak mau bila bicara penyelamatan ekonomi, Pemerintah pertama-tama harus menyelamatkan UMKM.

Pada saat yang sama patut diakui di atas kertas, Pemerintah sigap antisipasi guncangan ekonomi kepada UMKM. Presiden Joko Widodo, dikutip dari Republika.co.id,  telah menyiapkan empat langkah demi memitigasi dampak Covid-19 terhadap UMKM.

Pertama, yaitu percepatan bagi upaya relaksasi restrukturisasi kredit UMKM yang mengalami kesulitan. Kedua, dalam masa pandemi ini, Presiden meminta agar disiapkan skema baru pembiayaan. Terutama berkaitan dengan investasi dan modal kerja yang pengajuannya lebih mudah dengan jangkauan terutama bagi berbagai daerah terdampak.

Ketiga, memasukkan para pelaku usaha mikro atau masyarakat yang membutuhkan dalam skema bantuan sosial. Terutama yang berkaitan dengan paket sembako. Lalu keempat, UMKM diberikan peluang terus berproduksi di sektor pertanian dan industri rumah tangga. Termasuk warung tradisional sektor makanan, dengan protokol kesehatan ketat.

Itu yang tertulis di atas kertas, sementara yang terjadi di lapangan belum tentu seindah rencana tersebut. Alasannya tentu saja karena sering kali terjadi tumpang tindih aturan, lambatnya birokrasi hingga lembaga keuangan yang setengah hati mengejawantahkan keinginan Presiden.

Singkatnya, penulis menilai butuh uluran semua pihak untuk segera menyelamatkan UMKM dari kemungkinan gulung tikar. Karena bila tidak, siap-siap saja Pemerintah dipusingkan dengan peningkatan jumlah pengangguran.

*)Penulis adalah Redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement