Rabu 20 May 2020 10:16 WIB

Perjalanan Karier KSAL: Anak Petani dan Misteri Angka Tiga

Orang tua Laksamana Yudo Margono dulu sempat tak percaya anaknya diterima Akabri.

KSAL ke-27 Laksamana Yudo Margono.
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
KSAL ke-27 Laksamana Yudo Margono.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wartawan Republika, Erik Purnama Putra pada medio Mei 2019, pernah mewawancarai Laksamana Muda (Laksda) Yudo Margono yang ketika itu menjabat sebagai panglima Koarmada I. Dia pun menuturkan kisahnya yang tidak sengaja menjadi TNI AL. Pada Rabu (20/5), Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Yudo sebagai kepala staf Angkatan Laut (KSAL) ke-27. Berikut kisahnya Yudo yang kala itu masih bintang dua, yang dipublikasikan di Harian Republika edisi Rabu, 15 Mei 2019.

Yudo Margono sebenarnya tidak punya cita-cita menjadi tentara. Selepas lulus SMA, ia hanya ikut-ikutan temannya untuk mendaftar Akademi ABRI (sekarang TNI). Dia juga tahu ada lowongan menjadi tentara dari teman-temannya.

“Teman-teman saya daftar, saya ikut daftar. Saya dari Madiun daftar di Surabaya. Ada 12 teman saya, tidak ada yang masuk, dan yang masuk saya sendiri. Akhirnya diterima di Akabri,” kata Yudo, Kamis (9/5).

Dia mengaku, sebenarnya tidak tahu sama sekali dengan dunia tentara. Karena itu, ketika sudah mengikuti tes dan diterima, ia sudah sangat gembira. Bahkan, orang tuanya sebenarnya tidak percaya dan sangat kaget mengetahui Yudo bisa diterima di Akabri AL (AAL).

Kemudian, ketika sudah mengikuti psikotes, hasilnya ia cocok ditempatkan di TNI AL. Yudo pun menerima segala keputusan itu dengan senang hati.

“Saya manut saja mau masuk laut, darat, udara. Saya kan gak tahu wong anaknya petani. Ya sudah masuk, karena sesuai psikotesnya masuk laut,” ujar alumni Akademi Angkatan Laut (AAL) 1988 ini.

Dia mengaku, entah bagaimana dulunya punya keberanian mendaftar menjadi tentara. Padahal, orang tuanya juga tidak pernah mengarahkannya untuk menjadi tentara. “Kalau mengingat masa lalu, ya orang desa itu ikut-ikutan daftar. Dulu saya kan kerempeng. Kok kerempeng bisa masuk Akabri katanya? Orang tua tidak percaya,” ujar Yudo.

Meski begitu, ia merasa beruntung, didikan orang tuanya yang serba disiplin dalam kehidupan sehari-hari ternyata membuatnya bisa menjalani masa pendidikan dengan baik. Pasalnya, ia selalu dibangunkan setiap pagi dan rutin membantu orang tua.

“Sehingga dasar-dasar saya dididik menjadi anaknya petani ini bisa mudah mengikuti di ABRI. Kan pendidikannya juga hampir sama, kegiatan keprajuritan di sawah,” kata mantan panglima Kolinlamil ini.

Setiap jenjang jabatan pernah dilalui Yudo mulai bawah sampai saat ini. Dia pernah menjadi komandan kapal perang ukuran kecil, sedang, dan besar. Yudo menuturkan, ada pengalaman menarik selama 31 tahun berkarier di TNI AL.

Hal itu tidak terlepas dari angka tiga yang seolah melekat dengannya. Dia mengaku, selalu menjabat tiga kali di setiap pos penugasan. Yudo menjelaskan, pernah tiga kali menjadi komandan KRI, tiga kali komandan pangkalan, tiga kali komandan satuan, dan tiga kali menjadi panglima.

“Yang menarik itu tidak sengaja jabatan saya itu ada tiga semuanya. Saya itung-itung juga kok serba tiga semua ya?” kata Panglima Armada ke-33 ini.

Dia pun memiliki aspirasi kepada pemerintah agar mengembangkan kekuatan Komando Armada I sesuai dengan MEF (minimum essential force). Pasalnya, tugas TNI AL itu menjaga kerawanan dan mengantisipasi dampak yang terjadi ke depan di lautan. Sehingga, pemerintah perlu memprioritaskan pengadaan kapa perang berukuran besar agar TNI AL menjadi kekuatan yang disegani sesuai dengan program poros maritim dunia.

“Tentunya Indonesia membutuhkan kekuatan laut yang lebih besar, khususnya kapal-kapal yang bisa beroperasi di ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif), karena ini pintu terdepan wilayah Indonesia, sehingga perlu penambahan armada,” ujar mantan komandan KRI Ahmad Yani 351 ini.

Yang lebih fokus, menurut Yudo, perlu penambahan pesawat patroli udara maritim. Dengan wilayah laut RI yang sangat luas, sambung dia, berapa pun kapal yang dibutuhkan sebenarnya tidak akan cukup mengkover seluruh perairan. Sehingga supaya pengawasan keamanan laut dapat efektif dan efisien maka solusinya memperkuat patroli udara maritim.

Saat ini, kata dia, Pusat Penerbang AL (Puspenerbal) hanya memiliki sekitar 50 pesawat patroli maritim. Jumlah itu masih dibagi untuk wilayah kerja Armada I, II, dan III. Sehingga kekuatan yang ada sangat minim kalau dibanding dengan luasan perairan yang harus diawasi dan dijaga KRI.

Dengan pengadaan pesawat secara besar-besaran, kata dia, ke depannya ketika ada sasaran sudah dikunci maka KRI terdekat bisa datang menindak kapal negara asing yang melakukan apelanggaran di laut Indonesia.

“Jadi ini KRI supaya istilahnya tidak menggergaji laut itu jalan-jalan terus, karena ini menghabiskan bahan bakar. Kebutuhan bahan bakar AL ini paling besar di negara ini, karena wajar AL menggerakan kapal,” kata Yudo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement