Selasa 19 May 2020 10:45 WIB

AJI: Media Televisi Paling Banyak Kena Aduan dari Pekerja

Aduan terbanyak yang diterima AJI dari pekerja media terkait pembayaran THR

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Wartawan atau pekerja media tetap beraktivitas di tengah pandemi (ilustrasi). Aduan terbanyak yang diterima AJI dari pekerja media terkait pembayaran THR
Foto: Antara/Oky Lukmansyah
Wartawan atau pekerja media tetap beraktivitas di tengah pandemi (ilustrasi). Aduan terbanyak yang diterima AJI dari pekerja media terkait pembayaran THR

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Posko Pengaduan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan LBH Pers hingga 17 Mei 2020, menerima 89 pengaduan terkait persoalan ketenagakerjaan pada masa pandemi ini. Bila dilihat dari jenis aduan, 52 dari 89 pengaduan pekerja media terkait pelanggaran dalam pembayaran THR keagamaan.

Bila dilihat dari jenis perusahaan media yang dilaporkan, media televisi paling banyak mengalami persoalan ketenagakerjaan, yakni sejumlah 42 pengaduan. Padahal menurut survei Nielsen Indonesia, pandemi menyebabkan kepemirsaan televisi semakin bertambah, dan menyebabkan belanja iklan kembali meningkat sejak awal mei.

 

Hal ini menjadi ironi karena laporan terbanyak justru dari media televisi. Sementara platform media terbanyak kedua yang memiliki persoalan ketenagakerjaan adalah media siber sejumlah 30 pengaduan. Selanjutnya, media cetak sejumlah 10 pengaduan dan media radio sejumlah 5 pengaduan. Sementara pengaduan yang lain berasal dari perusahaan non-media.

"Pelanggaran itu antara lain pemotongan jumlah THR, penundaan atau pencicilan THR, hingga tidak dibayarkan sama sekali," kata Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani, dalam keterangannya, Senin (19/5).

Sebenarnya PP 78/2015 Tentang Pengupahan dan Permenaker 6/2016 Tentang THR Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh Di Perusahaan sudah menegaskan bahwa setiap pengusaha memiliki kewajiban untuk membayarkan THR keagamaan kepada para pekerja. Khususnya bagi yang telah mempunyai masa kerja satu bulan atau lebih. 

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pemberian THR merupakan sebuah bentuk kewajiban perusahaan kepada para pekerja sebagaimana telah ditentukan dalam UU. Namun, praktik yang terjadi malah tidak sesuai dengan ketentuan PP 78/2015 dan Permenaker 6/2016. 

Asnil melanjutkan, banyak perusahaan yang kerap menjadikan situasi pandemi sebagai alasan untuk memotong, menunda dan bahkan memutuskan untuk tidak membayarkan THR keagamaan kepada pekerja secara sepihak. Praktik pelanggaran ini menjadi salah satu temuan LBH Pers dan AJI Jakarta selama membuka posko pengaduan pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan pada masa pandemi sejak tanggal 3 April lalu. 

AJI Jakarta dan LBH Pers melihat, segala bentuk pemotongan atau penundaan pembayaran THR keagamaan dengan dalih situasi pandemi Covid-19 yang terjadi tidaklah tepat. Hal ini harus dianggap sebagai keterlambatan pembayaran atau tidak melakukan pembayaran THR.

Menurut Asnil, Pasal 7 ayat (2) PP 78/2015 jelas menyebutkan THR wajib dibayarkan paling lama 7 hari sebelum hari raya keagamaan. Sehingga pengusaha yang tidak membayar THR pada waktu yang ditentukan, sebagaimana tercantum pada Pasal 56, harus membayar denda 5 persen dari total THR. 

Bagi perusahaan yang tidak membayar THR pekerja dapat dikenakan sanksi administrasi, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 59 ayat (1) PP Pengupahan. Jenis sanksi administrasi antara lain berupa teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, dan bahkan hingga pembekuan kegiatan usaha.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement