Senin 18 May 2020 20:27 WIB

Lembaga Internasional: Pengungsi Rohingya Akan Hadapi Bencana

Lembaga Internasional: Pengungsi Rohingya Akan Hadapi Bencana

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Lembaga Internasional: Pengungsi Rohingya Akan Hadapi Bencana
Lembaga Internasional: Pengungsi Rohingya Akan Hadapi Bencana

Sejak COVID-19 mulai mewabah di seluruh dunia, organisasi-organisasi bantuan kemanusiaan internasional telah memperingatkan bahwa jika wabah ini muncul di kamp-kamp pengungsi di dunia, maka akan memiliki dampak bencana yang luar biasa.

Untuk mencegah skenario itu, Bangladesh kemudian menutup sebagian besar kamp pengungsi Kutupalong di Cox’s Bazar, sejak awal April 2020 lalu. Kamp pengungsi ini mayoritas dihuni oleh warga Rohingya yang melarikan diri dari penganiayaan etnis dan agama di negara tetangganya, Myanmar.

Orang-orang masih diizinkan untuk keluar masuk kamp hanya jika benar-benar diperlukan. Polisi pun telah menyiapkan penghalang jalan dan menjalankan patroli untuk menegakkan aturan pembatasan pergerakan publik.

Dalam beberapa minggu terakhir, organisasi bantuan kemanusiaan internasional seperti Komite Penyelamatan Internasional (IRC) dan CARE Jerman telah mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi wabah di kamp pengungsi di Bangladesh. Tenaga medis dilatih dan pusat-pusat isolasi didirikan. IRC menyatakan bahwa selain ratusan tempat tidur yang telah beroperasi, akan ada tambahan sekitar 1.700 tempat tidur di kamp pengungsi. Selain itu, unit perawatan intensif berisi sepuluh ventilator juga telah tersedia.

Empat warga Rohingya positif COVID-19

Beberapa hari yang lalu, seorang pengungsi dilaporkan sakit. Dia kemudian pergi ke pusat kesehatan terdekat. Dokter menduga pengungsi itu terinfeksi COVID-19 karena gejala yang ia tunjukkan.

Tes COVID-19 pun dilakukan dan hasilnya dikirimkan ke laboratorium. Pada hari Kamis, pengungsi tersebut dikonfirmasi positif COVID-19.

“Orang Rohingya yang terinfeksi itu kini tengah dirawat secara terpisah di rumah sakit Doctors Without Border (MSF) di Cox’s Bazar,” kata Mohammad Mahfuzar Rahman, seorang pejabat yang bekerja untuk Refugee, Relief and Repatriation Commissioner (RRRC), dan yang bertanggung jawab atas kamp Ukhiya Kutupalong.

“Enam anggota keluarganya telah dikarantina secara terpisah. Sampel mereka akan dikumpulkan dan dikirim ke laboratorium perguruan tinggi medis setempat untuk diperiksa,” tambahnya.

Pada Minggu (17/05), pihak berwenang menyatakan bahwa empat warga Rohingya yang tinggal di kamp pengungsian dikonfirmasi positif COVID-19. “Kami telah mengunci seluruh blok, yang menampung 5.500 orang,” kata kepala otoritas kesehatan Cox’s Bazar Mahbubur Rahman kepada AFP merujuk pada sebuah area di Kutupalong, yang merupakan kamp pengungsi Rohingya terbesar di dunia.

Sejak kasus pertama dilaporkan terjadi, pemerintah Bangladesh dan beberapa organisasi bantuan kemanusiaan bekerja keras mengindentifikasi rantai penularan, kata IRC kepada DW. Namun, prosesnya masih berlangsung.

Kini, lebih dari 855.000 pengungsi dan pencari suaka dan lebih dari 440.000 penduduk yang tinggal di sekitar kamp yang penuh sesak itu harus menghadapi ancaman terinfeksi virus.

Di luar kamp pengungsian, kasus-kasus COVID-19 sejatinya telah bermunculan, namun pemerintah Bangladesh meyakinkan bahwa semuanya terkendali.

Sumber daya tambahan sangat dibutuhkan

Terlepas dari segala upaya yang telah dilakukan, sumber daya tambahan akan sangat diperlukan untuk mencegah bencana, kata Manish Agrawal, Direktur IRC untuk Bangladesh kepada DW. “Fasilitas kesehatan sudah penuh dan kewalahan, tidak ada peralatan yang memadai, staf kesehatan atau ruangan yang layak untuk menangani kasus”, ujarnya.

Sebelum COVID-19 ini mewabah, fasilitas sanitasi di kamp pengungsian sejatinya sudah tidak memadai. Banyak keluraga berbagi toilet dan harus mengantri panjang untuk bisa sampai ke titik akses air minum dan kamar mandi. Sangat tidak mungkin mempertahankan jarak fisik di kamp pengungsian yang penuh sesak. Dampaknya, penularan virus secara cepat pun tidak dapat dihindari.

“Di sini, ada 40.000 hingga 70.000 orang yang tinggal per kilometer persegi. Perhitungan ini setidaknya 1,6 kali kepadatan populasi di atas kapal pesiar Diamond Princess, kapal tempat penyakit ini menyebar empat kali lebih cepat dibanding di provinsi Wuhan, Cina saat puncak wabah,” kata Agrawal.

Pembatasan internet perparah situasi?

Meskipun berbagai kampanye kesehatan telah dilakukan, Agrawal melihat kurangnya kesadaran di antara penghuni kamp pengungsian. Para ahli mengatakan bahwa pembatasan internet yang diberlakukan oleh pemerintah untuk mengekang penyebaran informasi palsu turut berkontribusi pada masalah tersebut.

“Pembatasan internet dan ponsel di kamp telah menyebabkan kurangnya informasi yang akurat tentang virus dan cara melindungi diri dari penyakit yang disebabkannya. Pembatasan ini juga berdampak pada kemampuan lembaga untuk merespons dengan cepat jika ada kasus yang dilaporkan di kamp,” kata Agrawal.

“Warga Rohingya di Cox’s Bazar telah menderita trauma luar biasa. Karena itu kami mendesak masyarakat internasional untuk memberikan dukungan keuangan kepada organisasi-organisasi bantuan kemanusiaan yang bekerja di Bangladesh,” kata Deepmala Mahla, direktur regional Asia untuk CARE Jerman. (gtp/pkp) (AFP)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement