Senin 18 May 2020 19:14 WIB

Pemkot Surabaya Merasa Difitnah Telantarkan Pasien Covid-19

"Kita bantah itu pernyataan bahwa Pemkot abaikan 35 pasien Covid-19," kata Fikser.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Andri Saubani
Petugas keamanan berjaga di luar Ruang Isolasi Khusus (RIK) yang merawat pasien WNA asal China di RSUD dr Soetomo, Surabaya, Jawa Timur. (ilustrasi)
Foto: Antara/Moch Asim
Petugas keamanan berjaga di luar Ruang Isolasi Khusus (RIK) yang merawat pasien WNA asal China di RSUD dr Soetomo, Surabaya, Jawa Timur. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya merasa difitnah menelantarkan pasien Covid-19 di IDG RSUD dr. Soetomo. Wakil Koordinator Hubungan Masyarakat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya, M Fikser membantah tudingan yang ditujukan kepada Tim Gerak Cepat (TGC) Command Center (CC) 112 atas tuduhan tersebut.

Fikser menjelaskan, kejadian ini berawal pada Sabtu (16/5) pagi. Saat itu, IGD RSUD dr. Soetomo sempat tidak dapat menerima pasien. Hal ini karena ada 35 pasien Covid-19 yang belum mendapatkan kamar. Pengumuman ini pun ditulis dalam sebuah kertas karton yang ditempelkan di pintu masuk IGD yang kemudian tersebar di media sosial.

Baca Juga

Fikser mengatakan, dari data yang tercatat di CC 112, per tanggal 16–17 Mei 2020, ada 180 laporan yang diterima. Dari jumlah tersebut, 13 di antaranya merupakan laporan kecelakaan.

“Kita bantah itu terkait pernyataan bahwa Pemkot abaikan 35 pasien Covid-19. Dari 180 laporan yang diterima, 13 di antaranya adalah kecelakaan. Dari 13 orang itu, hanya 5 orang yang diantar ke RSUD dr Soetomo,” kata Fikser di Balai Kota Surabaya, Senin (18/5).

Fikser menjelaskan, kelima orang yang diantar ke IGD RSUD dr. Soetomo merupakan korban kecelakaan yang lokasinya berada di radius sekitar rumah sakit tersebut. Sehingga mereka dibawa ke rumah sakit itu untuk mendapat perawatan lebih lanjut.

“Ini hasil data dari aplikasi (sistem) berdasarkan data yang diterima oleh tim TGC," kata dia.

Bahkan, untuk meluruskan tuduhan itu, Fikser menunjukkan beberapa lembar kertas berupa tanda terima dan SOP sebagai bukti bahwa tidak ada penelantaran atau meninggalkan pasien begitu saja. “Dari lima orang itu, tiga warga Surabaya dan dua warga non Surabaya,” kata dia.

Kepala Dinas Komunikasi dan Infromatika Kota Surabaya itu menyatakan, pasien atau korban tidak bisa serta merta disebut Covid-19 jika belum melalui proses rapid test maupun swab. Untuk itu, tidak bisa disimpulkan bahwa pasien yang dibawa ke IGD RSUD dr Soetomo itu terpapar Covid-19. Apalagi, tudingan yang dilontarkan itu juga menyebutkan bahwa 35 orang itu merupakan pasien rujukan.

“Ini bukan rujukan. Ini kejadian (kecelakaan) di jalan raya lalu dibawa ke IGD untuk mendapatkan pertolongan. Kalau bilang ada rujukan di sana buktikan dari mana. Apalagi bicara kalau itu (pasien) Covid-19, padahal untuk menyatakan hal itu harus melalui rapid test dan swab terlebih dahulu,” ujar Fikser.

Wakil Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Eddy Christijanto menjelaskan, mekanisme CC 112 ini adalah panggilan darurat 24 jam. Ketika ada pengaduan atau permohonan bantuan kedaruratan dari siapapun melalui telepon CC 112 akan diterima melalui 21 line.

”Ketika pasien mengalami sesak, pingsan dan napasnya sulit, maka tim TGC akan turun dengan APD lengkap. Kalau kecelakaan, biasanya tim TGC mengenakan masker saja. Kami juga berusaha untuk menghubungi keluarganya,” kata Eddy.

Sebelumnya, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Pawaransa meminta pemerintah daerah bisa saling menjaga dan memperhatikan dengan ketat sistem rujukan pasien Covid-19 ke rumah sakit. Khofifah juga ingin setiap tim gugus tugas di masing-masing daerah bisa menjaga tata krama dan etika di dunia kesehatan saat merujuk pasien Covid-19.

"Di tengah masa sulit seperti ini, tolong tetap saling menjaga tata krama, regulasi, dan mekanisme rujukan pasien. Kalau misalnya membawa pasien, kemudian tidak dikoordinasikan lebih dulu dengan rumah sakit rujukan yang dimaksud, lalu pasien ditinggal begitu saja, tentu yang menjadi korban adalah pasien dan orang lain di tempat tersebut," kata Khofifah, Senin (18/5).

Kekesalan Khofifah berawal dari adanya insiden pasien Covid-19 yang dirujuk beramai-ramai dan tanpa adanya koordinasi ke RSUD dr Soetomo, pada Sabtu (16/5) malam. Ada 35 pasien dari Surabaya yang dirujuk ke RSUD dr. Soetomo, tanpa melakukan koordinasi dengan rumah sakit terlebih dahulu.

Artinya, pengiriman pasien dilakukan tanpa melakukan ketersediaan bed, dan kemudian pasien yang diantar, ditinggal begitu saja. Padahal pasien yang dirujuk tersebut adalah pasien terinfeksi Covid-19, yang jika tidak ditangani sesuai standar, akan membahayakan pasien maupun tenaga kesehatan.

"Setiap rumah sakit rujukan, atau lembaga manapun lah, itu ada komandannya. Masing-masing lembaga juga ada tertib administrasinya, jadi kalau pasien dibawa ke UGD lalu ditinggal, sedangkan bed belum dikoordinasikan ada atau tidak, tentu bisa menimbulkan persepsi negatif dari pasien seolah mereka tidak ditangani secara layak," ujar Khofifah.

Dirut RSUD dr. Soetomo Joni Wahyuhadi mengatakan, pihaknya mempersilakan setiap rumah sakit maupun Tim 112 Surabaya yang akan merujuk pasien ke rumah sakit yang dipimpinnya. Namun, kata dia, untuk berkoordinasi lebih dulu melalui layanan call center, dan screening center maupun koordinasi antardirektur rumah sakit.

Menurutnya, hal tersebut sangat penting dalam menjaga kualitas layanan pada pasien. Sebab, kata dia  saat terjadi pasien rujukan yang berbondong-bondong datang dibawa ke RSUD dr. Soetomo, itu menyulitkan petugas kesehatan yang bertugas. Apalagi pasien yang dibawa ke rumah sakit tersebut kemudian ditinggal.

"Ada yang datang sendiri dan sebagian dibawa oleh tim dari KMS 112 (command center 112 Pemerintah Kota Surabaya). Membawa pasien itu tidak ada komunikasi dulu dengan call center di Soetomo, sehingga pasiennya dibawa begitu saja, terus kemudian ditaruh di IGD terus ditinggal," kata Joni.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement