DPR akan Evaluasi DKPP dalam Pembahasan RUU Pemilu

KPU, Bawaslu, DKPP, punya kewenangan yang cukup besar yang kadang bisa overlapping.

Senin , 18 May 2020, 17:46 WIB
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tanjung
Foto: Republika/Mimi Kartika
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tanjung

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, salah satu yang akan dibahas dalam penyusunan draf Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) terkait evaluasi lembaga penyelenggara pemilu. Evaluasi terhadap kewenangan dan posisi antara Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

"Kalau menurut saya sebetulnya dengan keberadaan tiga institusi ada KPU, Bawaslu, DKPP, masing-masing punya kewenangan yang cukup besar yang kadang-kadang bisa overlapping (tumpang tindih, red) satu sama lain," ujar Doli dalam diskusi virtual, Senin (18/5).

Baca Juga

Menurut dia, kewenangan yang besar itu mengurangi tingkat kesolidan sesama penyelenggara pemilu. Pada akhirnya terjadi konflik di antara ketiga institusi yang kemudian pada berimbas mengurangi konsentrasi atau mengganguu tugas masing-masing dalam menyelenggarakan pemilu.

Doli mengaku termasuk orang yang skeptis terhadap keberadaan DKPP sejak awal. "Saya juga dari awal termasuk orang yang agak skeptis dengan lembaga DKPP ini, terutama tadi kewenangannya yang terlalu kuat," lanjut dia.

Selain itu, menurut dia, harus diperjelas posisi dan kewenangan DKPP yang bertugas memeriksa dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Termasuk batasan-batasan terhadap objek-objek etika dan definisi etika yang dimaksud harus diperjelas dan dipertegas.

Kemudian, lanjut Doli, personel DKPP seharusnya diisi dengan tokoh yang memiliki kredibilitas tinggi dan segudang pengalaman yang dinilai dari perspektif hukum, etika, maupun filsafat. Menurut dia, saat ini DKPP diisi dengan orang-orang yang pernah berkompetisi merebutkan kursi di KPU atau Bawaslu sehingga berpotensi adanya konflik kepentingan.

"Mudah-mudahan saya salah, tetapi saya kira itu secara psikologis akan ada pengaruh mungkin itu salah satu koreksi nanti ke depan kalau misalnya kita masih tetap sepakat untuk DKPP ini masih menjadi bagian dari institusi penyelenggara pemilu," kata Doli.

Ia menyinggung wacana pendirian badan peradilan pemilu pada saat pembahasan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Akan tetapi, badan peradilan pemilu ini ditolak sejumlah pihak termasuk Mahkamah Agung karena kombinasi dengan pihak-pihak institusi hukum yang lainnya tidak terjadi.

"Apakah ini nanti menjadi solusi kembali, yang akan kemudian mengubah konfigurasi pemetaan institusi-institusi penyelenggara, itu nanti akan kita lihat perkembangannya," tutur Doli.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Edward Omar Sharif Hiariej, setuju dengan pendapat Doli untuk mengevaluasi DKPP. Menurutnya, orang yang menduduki jabatan di DKPP bukan orang-orang yang memiliki konflik dengan anggota Bawaslu maupun KPU.

"Jangan yang duduk sebagai anggota DKPP itu mereka yang mohon maaf tadinya kompetitor ketika tidak terpilih sebagai KPU dan tidak terpilih sebagai Bawaslu. Jadi nanti kemudian seakan-akan DKPP itu isinya adalah kompetitor bagi Bawaslu dan KPU. Padahal mereka ini adalah trisula yang menyelenggarakan pemilu," tutur Eddy Hiariej.

Ia mengatakan, DKPP seharusnya diisi dengan orang-orang yang lebih bijak dan mumpuni serta memahami paling tidak persoalan hukum dan etika.