Senin 18 May 2020 16:24 WIB

Pertemuan Virtual WHO Dibayangi Pertikaian AS - China

WHO akan memulai pertemuan virtual pertamanya pada Senin (18/5)

Rep: Fergi Nadira/ Red: Christiyaningsih
Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping di Great Hall of the People di Beijing, Cina, Kamis (9/11). Pertemuan virtual WHO dibayangi pertikaian AS - China. Ilustrasi.
Foto: AP Photo/Andrew Harnik
Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping di Great Hall of the People di Beijing, Cina, Kamis (9/11). Pertemuan virtual WHO dibayangi pertikaian AS - China. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akan memulai pertemuan virtual pertamanya pada Senin (18/5). Pertemuan ini digelar di tengah kekhawatiran bahwa ketegangan Amerika Serikat (AS) dan China dapat menggagalkan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi krisis Covid-19.

Dilansir Channel News Asia, kegiatan rapat di Majelis Kesehatan Dunia (WHA) telah dipangkas dari yang biasanya tiga pekan menjadi hanya dua hari, Senin dan Selasa. WHA ini diprediksi akan memfokuskan hampir hanya pada Covid-19. Sebab hingga kini, Covid-19 yang dipicu oleh virus corona tipe baru ini telah menewaskan lebih dari 315 ribu jiwa secara global dan menginfeksi hampir 4,7 juta dalam hanya waktu beberapa bulan saja.

Baca Juga

 

Sejumlah kepala negara, kepala pemerintahan, menteri kesehatan, dan pejabat lainnya diperkirakan akan menghadiri pertemuan tersebut. WHA akan dimulai sekitar tengah hari pada Senin waktu setempat. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan pada Jumat bahwa acara tersebut akan menjadi salah satu yang paling penting (WHA) sejak WHO didirikan pada 1948.

 

Namun demikian, peluang untuk mencapai kesepakatan tentang langkah-langkah global untuk mengatasi krisis dapat terancam. Ini karena terus memburuknya hubungan antara dua ekonomi terbesar dunia atas pandemi, AS dan China.

Presiden AS Donald Trump pekan lalu mengancam akan memutuskan hubungan dengan China karena perannya dalam penyebaran Covid-19. Trump juga telah berulang kali membuat tuduhan yang tidak terbukti bahwa virus tersebut berasal dari laboratorium China.

Trump juga telah membekukan dana untuk WHO atas tuduhan meremehkan tingkat kebahayaan wabah. Trump juga menilai WHO terlalu menaruh hormat ke Beijing.

 

Meskipun ketegangan terus menyeruak, negara-negara lain berharap untuk mengadopsi resolusi melalui konsensus resolusi yang mendesak tanggapan bersama terhadap pandemi. Resolusi itu diajukan oleh Uni Eropa yang menyerukan ‘evaluasi yang tidak memihak, independen, dan komprehensif’ dari respons internasional terhadap krisis Covid-19.

 

"Konsultasi seputar teks berakhir pekan lalu setelah negosiasi sulit," ujar Kepala Divisi Urusan Internasional Kantor Kesehatan Masyarakat Swiss, Nora Kronig.

"Setelah beberapa hari, kesepakatan tentatif dicapai untuk menyetujui resolusi. Kesepakatan ini juga menyerukan akses yang lebih adil untuk tes, peralatan medis, perawatan potensial, dan kemungkinan vaksin di masa depan," ujarnya menambahkan.

Resolusi yang juga disponsori oleh Australia, Selandia Baru, dan Indonesia itu juga menyerukan WHO untuk bekerja sama dengan lembaga-lembaga internasional dan negara-negara lain. Kerja sama itu dilakukan untuk mengidentifikasi sumber hewan dari virus dan mencari tahu bagaimana virus itu pertama kali menyebar ke manusia.

Sementara para diplomat sepakat secara prinsip mengenai rancangan resolusi itu, para pengamat menyuarakan keprihatinan bahwa dalam suasana politisasi saat ini, beberapa negara mungkin masih memilih untuk melanggar konsensus. "Harapan saya adalah bahwa kita akan dapat bergabung dalam konsensus," kata Duta Besar AS untuk PBB di Jenewa Andrew Bremberg, Jumat pekan lalu. AS dan Eropa juga sempat berselisih mengenai akses vaksin jika sudah ditemukan.

Washington juga menuduh China berusaha mencuri penelitian imunisasi AS. Tidak hanya itu, Washington juga memimpin sejumlah negara dalam menuntut agar WHO mengakhiri pengecualian terhadap Taiwan. Mereka menginginkan Taiwan diberikan akses ke majelis sebagai pengamat.

Hampir 15 negara termasuk Belize, Guatemala, Kepulauan Marshall, dan Honduras, telah menulis surat kepada Tedros meminta agar pertanyaan tentang partisipasi Taiwan ditambahkan ke dalam agenda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement