Rabu 20 May 2020 03:38 WIB

Seperti Apa Sekolah di Kondisi Normal Baru?

Pengaturan sekolah di kondisi normal baru harus segera dirumuskan pemerintah.

Jurnalis Republika Indira Rezkisari
Foto: Republika
Jurnalis Republika Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Indira Rezkisari*

Pembelajaran jarak jauh (PJJ) telah menjadi kata-kata yang lekat dengan kehidupan rumah tangga di sebagian besar kota dan kabupaten di Indonesia. PJJ juga memiliki banyak wujud tergantung pada sekolah dan kondisi setempat.

Baca Juga

Sekolah anak saya misalnya di daerah Pondok Cabe, Tangsel, mungkin menerapkan PJJ seperti beberapa sekolah swasta lain di Jabodetabek yang memanfaatkan Google Classroom, juga aplikasi video conference seperti Zoom, Teamlink, hingga Google Meet. Yang saya tahu banyak juga sekolah yang memberikan tugas-tugasnya ke anak hanya lewat pesan di aplikasi WhatsApp dari guru ke orang tua untuk diselesaikan ke anak.

Sedang di pelosok Nusantara yang aksesnya minim, alias listrik tidak selalu menyala 24 jam, internet tentunya tidak ada, bahkan akses infrastruktur ke sekolah yang belum terjamin, banyak anak yang di masa PJJ tidak belajar sama sekali. Sebagian yang beruntung masih merasakan disambangi gurunya tiap beberapa hari sekali untuk belajar.

PJJ memang bukan hal yang mudah. Saya rasa tidak ada orang tua yang siap berhadapan dengan PJJ.

Konsep homeschooling faktanya tidak banyak dilakukan orang Indonesia. Homeschooling mendadak akibat pandemi corona tentu membuat orang tua dan anak, saya rasa juga sekolah dan guru tidak siap.

Tapi setelah terpaksa menjalani PJJ hampir tiga bulan boleh dibilang banyak orang tua dan anak yang mulai bisa beradaptasi dengan cara belajar jarak jauh. Saya setidaknya sudah mulai berdamai atau menemukan metode yang paling bisa diterapkan di rumah dalam urusan PJJ dan membagi wantu antara bekerja serta menemani anak belajar.

Saya setidaknya sedang menikmati momen liburan Lebaran ini. Karena artinya saya bebas dari urusan PJJ meski masih ada utang PR anak saya yang belum semua disetorkan ke sekolah.

Setelah Lebaran PJJ berlanjut. Pertanyaan saya sampai kapan PJJ ini akan terselenggara.

Saya tentunya ingin anak-anak saya kembali sekolah normal dan peran saya sebagai guru matematika, Bahasa Indonesia, IPS, IPA dan pelajaran formal lainnya kembali diemban oleh guru sekolah sepenuhnya. Masalahnya siapkah saya mengembalikan anak kembali ke sekolah?

Ketika skenario pemerintah soal membuka kembali sejumlah tempat usaha dan sekolah bocor ke publik, saya lalu degdegan. Saya belum bisa membayangkan mengembalikan anak ke sekolah di saat kurva penderita corona di Tanah Air hingga saat ini belum menunjukkan tren penurunan.

Apalagi pemerintah hanya sebatas mengatakan sudah memiliki skenario soal PJJ. Yakni jika pandemi sudah berakhir setelah Lebaran, maka tahun ajaran baru akan dilanjutkan di sekolah. Jika belum maka sekolah akan berlanjut dari rumah.

Saya terus terang tidak terlalu mempermasalahkan waktu kapan anak kembali ke sekolah. Saya lebih ingin tahu soal bagaimana sekolah akan menerapkan cara belajar di tengah kondisi normal yang baru.

Ketika PJJ tiba-tiba diterapkan terus terang banyak kegagapan. Sekolah tentu tidak siap, karena kebanyakan bahkan belum pernah memikirkan tentang PJJ. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saya lihat juga tidak siap karena panduan tentang PJJ harus seperti apa tidak pernah secara baku diadakan.

Saya kepikiran apalagi nanti ketika sekolah dibuka kembali. Membuka kembali sekolah tidak bisa semudah membuka gerbang dan ruang kelas setelah liburan kenaikan kelas pada biasanya.

Ada catatan ketika anak kembali ke sekolah anak harus beradaptasi lagi. Bayangkan mereka sudah beberapa bulan belajar dari rumah. Lalu mereka harus kembali bangun pagi buta lagi untuk menjalani aktivitas normal yang baru.

Belum lagi kesiapan sekolah menerima murid lagi. Setahu saya di Eropa yang murid-muridnya sudah kembali sekolah ada pembatasan yang diterapkan. Misalnya separuh kelas masuk pekan ini dan separuhnya lagi masuk pekan depan. Alasannya karena pembatasan jarak fisik hingga jumlah murid harus dibatasi di kelas

Di sejumlah sekolah swasta yang muridnya tidak sampai 25 anak dalam satu kelas, upaya ini sangat mungkin. Tapi di sekolah negeri yang satu kelasnya bisa mencapai hampir 40 anak, mungkin lebih sulit.

Belum lagi mengatur cara belajar bagi murid yang sedang kebagian sekolah di rumah. Guru artinya harus bekerja dua kali, untuk bisa memastikan seluruh murid mendapatkan pendidikan yang setara.

Memikirkannya saja saya sudah pusing. Tapi kondisi normal yang baru ini memang membutuhkan kreativitas, kemauan, dan upaya untuk beradaptasi.

Saya harap pemerintah, pakar pendidikan, dan lembaga terkait lain sudah mulai membuat rumusan belajar di kondisi normal baru. PJJ sudah membuka mata publik bahwa kesenjangan pendidikan di Tanah Air itu sangat nyata.

Kalau anak-anak di kota besar yang di rumahnya orang tuanya mampu memberikan anak gawai atau laptop hingga printer dan koneksi internet stabil, seharusnya PJJ bisa berjalan setidaknya lebih mudah. Sehingga jikalau PJJ diterapkan sampai Desember, saya yakin mereka akan lebih sanggup menjalankannya.

Sementara di daerah-daerah yang penetrasi internetnya terbatas, atau kemampuan ekonomi keluarganya terbatas PJJ mungkin akan sangat sulit diterapkan. Catat, tidak semua orang tua bisa menemani anaknya belajar. Banyak anak yang baru bisa belajar di malam hari setelah ayahnya atau ibunya kembali bekerja dari pasar atau sawah, ladang, atau pabrik. Satu-satunya ponsel dengan koneksi internet, itupun jika kuotanya sedang ada, menjadi tumpuan anak belajar.

Kalau ada yang bilang TVRI menyajikan pelajaran juga untuk anak, saya belum melihatnya sebagai solusi. Anak tidak bisa belajar satu arah. Mata pelajarannya juga kerap tidak sama dengan apa yang sedang diajarkan di sekolah.

Saya cuma bisa berharap pemerintah betul-betul memikirkan dan merumuskan konsep belajar di kondisi normal baru nanti. Memikirkan faktor kesehatan, faktor psikologis, dan kemampuan belajar anak dan sekolah yang berbeda-beda di setiap lokasi.

Semoga pandemi Covid-19 ini tidak semakin memperlebar jurang pendidikan di Tanah Air. Semoga anak-anak Indonesia bisa menjadi generasi unggul dunia lewat pendidikan.

*Penulis adalah redaktur di Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement