Ahad 17 May 2020 20:59 WIB

Buku: Hari-hari Berjibaku

Pandemi corona pun mengubah banyak hal juga tingkah laku dalam perbukuan.

Pedagang beraktivitas di kiosnya di Pasar Buku Palasari, Jalan Palasari, Kota Bandung, Senin (20/4). Para pedagang di kawasan tersebut mengaku pendapatan mereka turun drastis hingga 90 persen akibat sepinya pembeli dampak Covid-19
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Pedagang beraktivitas di kiosnya di Pasar Buku Palasari, Jalan Palasari, Kota Bandung, Senin (20/4). Para pedagang di kawasan tersebut mengaku pendapatan mereka turun drastis hingga 90 persen akibat sepinya pembeli dampak Covid-19

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yusuf Maulana*

Hanya Rp 20 juta ia menawarkan ratusan koleksi bukunya. Buku-buku dengan judul yang menggelorakan hati bagi yang paham dunia ilmu. Sebagian judul banyak yang dipunya, tapi katalog yang dipampangnya tidak surut hadirkan rasa hasrat buat memiliki. Di luar itu, ada rasa iba ketika seorang pemilik buku melepas koleksinya.

Melepas buku dengan nominal besar, dan jumlah judul berlimpah, pastilah ada apa-apa. Bukan ia tak lagi mencintai aksara. Bukan juga karena dendam bukunya tidak dapat didaras orang-orang tercinta. Selalu ada alasan yang sering di belakangnya pahit manakala ada kejadian seperti teman lapak tadi. 

Masa-masa membujang saya pun alami kejadian menjual buku koleksi karena demi sesuap nasi dan lauk pantas agar pikiran terus menyala. Maka, saya tak heran ketika ada juga tawaran untuk mengambil alih kepemilikan buku-buku koleksi seorang profesor psikologi islami kenamaan yang tak bisa lagi dirawat ahli warisnya. Pastilah pada kejadian ahli waris sang profesor ada alasan logis untuk berpisah dengan barang kenangan pada orang yang mereka sayangi. Tak selalu soal uang memang. 

Ingin tentunya memboyong semua koleksinya. Sekaligus membuatnya terbantu sebagai kawan lama. Tapi apa ada, saya bukan Muwaffa bin Muthran al-Dimsaqi yang memiliki semangat tinggi, juga kemampuan finansial, untuk mendapatkan buku. Saya juga bukan Sahib Ibnu Abbad yang memiliki kemampuan untuk membuat perpustakaan besar. Kecintaannya pada buku barangkali bisa saya tiru, yakni saat ia memilih menolak jadi menteri bagi penguasa Bukhara, yakni pada era Nuh Ibn Mansur. Ia kesulitan memindahkan buku-bukunya, hingga memerlukan 400 ekor unta untuk mengangkutnya!

Saya sejauh ini belum pula seperti Naila Khatun, janda kaya dari Turki yang mendirikan perpustakaan di samping masjid untuk mengenang sang suami. Kekayaannya mampu dijadikan alat untuk menyalakan suluh ilmu! Semoga para janda muhsinin hari ini mau peduli meniru jejak Naila Khatun. 

Buku, tampaknya, memiliki takdir yang unik. Ia sering dicinta oleh para insan yang dinaungi takdir tidak kaya raya. Hingga tak sedikit muncul orang seperti Ibnu Khasyab, seorang alim dalam nahwu dan memiliki pengetahuan luas soal tafsir hadits, logika, juga filsafat. Ibnu Khasyab punya cara agar nilai buku terjangkau buatnya: saat orang tengah lalai, ia merobek sebagian kertas kitab. Atau kala ia meminjam buku, dengan enteng ia berkata, “Ada kesangsian antara aku dan buku-buku itu sehingga aku tidak bisa mengembalikannya.” Demikian disitir dari Agus Rifai dalam bukunya "Perpustakaan Islam" (2013). Niat "baik" Ibnu Khasyab ini tak patut  dicontoh tentu saja.

Buku berbeda dengan benda seni, sebut saja lukisan. Lukisan seperti, dan sering kali, ditakdirkan jadi komoditas orang berduit. Harga yang keterlaluan dan tak masuk nalar, tak jadi soal bagi kolektor. Apalagi saat dijadikan alat investasi. Nasib tak sama dialami buku. Lihatlah betapa anak-anak kampung dan kampus harus betah di perpustakaan karena ia tak kuasa membeli di jaringan toko buku besar. Ada pula yang terpaksa menggandakan buku kampus karena tak kuasa membeli edisi asli. Bukan karena tak hargai hak cipta, ini hanya soal isi dompet tak amat bersahabat.

Nun di seberang sana, saya dapati mereka—teman-teman saya juga—berpendapatan luar biasa. Dua digit dalam jutaan lumrah masuk di rekening. Sebuah nilai yang harus saya kejar dengan ngos-ngosan dalam skala sekian bulan. Sayangnya, mereka tidak (belum?) ditakdirkan menjadi pemburu buku. Saya tahu, seperti diulas Kompas soal keberadaan kolektor muda benda seni, para orang kaya baru (OKB) dari kalangan profesional muda. Soal kadar kemampuan seni saya berani diadu. Toh dulu saya pernah sedikit-sedikit belajar soal kurator seni rupa. Tidak latah dengan nama besar Masriadi atau Nasirun dengan patokan harga di galeri begitu menggila di isi kepala saya—yang paria dalam ekonomi. Tapi saya dapati para OKB mau memaksa diri mencintai seni! Inilah yang tak saya dapati, atau belum berhasil menggugah, para teman saya, OKB juga untuk sekadar rutin dan telaten membeli buku. 

Apa susah membelanjakan Rp 3 juta rupiah di sela gajian Rp 20 juta demi membuat perpustakaan keluarga? Apa sukar membelikan Rp 1 juta saja di sela gajian Rp 100 juta (ya, hanya 1 persen pendapatan) buat membantu perpustakaan pribadi atau umum? Berinfak atau sedekah buku, membantu—misalnya—membeli buku para pemilik buku seperti lapak di awal tulisan ini. Soal bagaimana setelah membeli, biarlah itu urusan berikutnya. Akan ada pihak yang membantu kala niat baik hadir.

 
Dan pandemi corona pun mengubah banyak hal juga tingkah laku dalam perbukuan.
 
 

Jujur, iri saya pada beberapa teman yang kaya-raya adalah gara-gara mereka enggan membeli buku (belum ke tahap membaca). Hanya mengeluarkan tidak lebih 200 ribu sebulan buat ke jaringan toko buku besar saban bulan, sementara uang di rekening minimal masuk Rp 30 juta (tak berkaitan adanya pandemi corona sekalipun)—tanpa tanggungan utang pula. Nominal belanja yang amat jauh di bawah saya sementara saya kadang masih harus berpuasa sana-sini demi buku hadir di rak baca. 

Dan pandemi corona pun mengubah banyak hal juga tingkah laku dalam perbukuan. Hari-hari ketika kesulitan ekonomi terjadi di banyak sektor kehidupan. Hingga banyak pelaku perbukuan harus berjibaku keras agar bertahan dari krisis. Diskon berseliweran di kanal resmi para penerbit besar; belum lagi obral dan tawaran memudahkan lainnya. Tapi, masyarakat lagi tak fokus ke aksara. Mungkin juga sebagian yang terhibur dengan konser pengalihan kesedihan ala BPIP. 

17 Mei 2020, negara kita sejak 2002 menjadikan titi mangsa Hari Buku Nasional. Tahun ini, peringatan Hari Buku Nasional berasa getir. Sudahlah wabah corona masih belum reda, kebijakan pemerintah terkait perbukuan masih amat jauh dari adil memuaskan. Sampai Haidar Bagir, presiden direktur Mizan, yang juga pendukung pemerintah terpilih, merasa terpanggil ugahari buat mengingatkan Presiden Joko Widodo. 

Entah sampai kapan pandemi corona ini berakhir dari Indonesia tercinta. Dan sampai batas nadir bagaimana orang masih melirik ke rak baca toko-toko buku, entah daring ataukah laring. n

* Pensyarah Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku "Mufakat Firasat"

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement