Ahad 17 May 2020 09:56 WIB
Pesantren

Perpustakaan Keluarga, Pesantren, Hingga Literasi Bangsa

Refleksi 40 Tahun Perpustakaan Nasional RI

Pelajar mengamati Globe di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa (18/2/2020).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Pelajar mengamati Globe di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa (18/2/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Amri Mahbub Alfathon, Filolog di Perpustakaan Nasional RI

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia berumur 40 tahun pada 17 Mei 2020. Dalam umur manusia, 40 merupakan titik dimulainya fase kematangan kedua menuju 50. Saat menginjak periode tersebut biasanya seseorang sudah memiliki capaian, milestone, yang diharapkan memiliki dampak positif bagi masyarakat.

Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) menulis tetralogi Buru pada usia 40-an selama menjalani pengasingan di Pulau Buru. Empat jilid novel fiksi-sejarah ini membahas awal kebangkitan nasionalisme Indonesia dan dianggap sebagai magnum opus Pram. Di Aljazair ada pemikir bernama Malek Bennabi (1905-1973) yang menerbitkan Le Phénomène Coranique: Essai d'une theorie sur le Coran saat berumur 43 tahun. Buku ini mampu menjadi landasan kebangkitan baru dunia Islam saat itu.

Dunia juga mengenal Charles Darwin (1809-1882), naturalis asal Inggris, yang mencapai puncak kejayaannya pada usia 50 saat merilis On Origin of Species pada 1859. Data-data yang menjadi landasan teori evolusi di karya tersebut ia kumpulkan selama lebih dari sepuluh tahun sebelum akhirnya menjadi “dogma ilmu pengetahuan” hingga saat ini.

Sepak terjang tokoh-tokoh itu menyiratkan bahwa umur 40 bisa jadi puncak kontribusi kepada dunia, atau tiang pancang untuk membangun karya baru. Karena berkarya memang tidak pernah mengenal usia. Lantas, bagaimana dengan Perpusnas saat memasuki dekade keempatnya atau dekade-dekade setelah ini? Tampaknya kita perlu merefleksikan pergumulan panjang Perpusnas dalam kontribusinya di dunia literasi agar generasi muda (pustakawan) bisa meneruskan perjuangan pendahulunya dengan arah yang tepat.

Kelahiran

Embrio Perpusnas sudah mewujud sejak Bataviaasch Genootschap (BG), dibentuk pada 1778 di Batavia dan ditutup pada 1949. BG mendokumentasikan seluruh kebudayaan dan ilmu pengetahuan di kawasan Hindia Belanda, khususnya Jawa, untuk kepentingan kolonial saat itu. Sebagian besar laporan tentang cipta karsa di Nusantara yang jumlahnya mencapai ratusan ribu koleksi kini tersimpan di Perpusnas, termasuk di dalamnya jurnal, buku-buku lama, dan koleksi naskah-naskah kuno dari seantero negeri.

Selama pascakemerdekaan gairah untuk membentuk lembaga negara yang mengurus literasi dan dokumentasi ilmu pengetahuan seperti BG tak pernah terwujud. Meski pernah ada usaha ke arah sana pada 1955, 1962, dan 1966, tapi selalu ditanggapi dingin oleh pemerintah. Situasi sosial-politik-ekonomi kala itu mungkin jadi alasan kuat kenapa pemerintah tak pernah kunjung mendirikannya.

Angin segar baru berembus saat Mastini Hardjo Prakoso menyerukan betapa perlunya perpustakaan nasional dalam kongres Ikatan Pustakawan Indonesia pertama pada 1973. Kali ini berbuah hasil. Pada 17 Mei 1980, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef meresmikan Perpustakaan Nasional sebagai organ di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan yang menjalankan fungsi sistem nasional perpustakaan.

Unit baru ini hasil gabungan dari empat lembaga: Perpustakaan Museum Nasional; Perpustakaan Sejarah, Politik, dan Sosial; Perpustakaan DKI Jakarta; dan, Bidang Bibliografi dan Deposit. Lalu pada 6 Maret 1989, Perpustakaan Nasional RI resmi menjadi lembaga mandiri. Mastini kemudian ditunjuk menjadi kepala pertama.

Selama 17 tahun berjalan, payung hukum Perpusnas baru lahir pada 2007 lewat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Di situ termaktub tugas dan tanggung jawab Perpusnas yang sangat penting. Mulai dari merumuskan kebijakan nasional, melakukan pembinaan, mengembangkan koleksi nasional, mengupayakan pengembalian naskah kuno di luar negeri, hingga mewujudkan masyarakat pembelajar sepanjang hayat. Intinya, Perpusnas menjadi salah satu lembaga sentral dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Capaian dan Hal-hal yang Belum Disentuh

Capaian pembangunan bidang perpustakaan sebetulnya bisa dilihat dari beberapa aspek. Yakni, peningkatan kapasitas kelembagaan perpustakaan baik dari infrastruktur maupun sumber dayanya, penguatan regulasi dan kebijakan nasional, terbukanya akses koleksi kepada masyarakat, dan indeks aktivitas literasi membaca nasional.

Selaku perpustakaan sentral, Perpusnas bisa dibilang cukup berhasil melakukan intervensi ke daerah-daerah dan lembaga pendidikan di Indonesia agar mau mendirikan perpustakaan di lembaganya masing-masing. Menurut sensus Perpusnas 2018, jumlah perpustakaan di Indonesia sudah lebih dari 164 ribu. Jumlah ini bahkan lebih banyak dari Rusia (113 ribu) dan Cina (105 ribu).

Hanya saja, jumlah tersebut sebetulnya masih jauh dari cukup jika dibandingkan banyaknya lembaga pendidikan dan luasnya wilayah Indonesia. Ambil contoh pondok pesantren. Menurut Kementerian Agama, jumlah pesantren di Indonesia hampir mencapai 27 ribu. Tak menutup kemungkinan dari jumlah tersebut masih ada yang belum memiliki perpustakaan. Padahal, menurut Abdurrahman Wahid dalam Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren (2001), pesantren merupakan lembaga sosial-keagamaan yang potensial dalam mengembangkan pengetahuan dan literasi kritis masyarakat, serta melahirkan wacana alternatif kebangsaan.Sudah waktunya pesantren digandeng.

Dalam konteks kewilayahan, dari 164 ribu perpustakaan di Indonesia, konsentrasi tertinggi ada di bagian Barat, khususnya Jawa (47,79%) dan Sumatera (23,45%). Ini berbanding terbalik dengan Timur, spesifiknya Pulau Papua (0,4%) dan Kepulauan Maluku (1,7%).

Menumbuhkan perpustakaan di daerah tersebut, dengan tetap memperhatikan basis sosial-kultural masyarakat setempat, tampaknya akan menaikkan indeks aktivitas literasi membaca nasional yang disebut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019 dalam laporan “Indeks Aktivitas Literasi Membaca 34 Provinsi” masih rendah (nilai 37,32). Karena keberadaan perpustakaan tak hanya menawarkan buku, tetapi juga ruang untuk mengembangkan ide-ide kreatif masyarakat.

Poin yang perlu dicatat juga adalah bagaimana perpustakaan memiliki andil besar dalam sektor informal. Inovasi program perpustakaan berbasis inklusi sosial Perpusnas menyasar masyarakat kecil agar bisa berdaya melalui ruang perpustakaan. Hanya saja, cara penerapannya tak bisa dipukul rata antara satu dan daerah lain. Bantuan materiil yang seragam pun tidak otomatis bermanfaat untuk warga setempat. Dalam hal ini, memanfaatkan kekhasan daerah masing-masing atau kearifan lokal bisa jadi pintu masuknya. Penggerak literasi, pustakawan, dan pemerintah daerahlah yang harus aktif meramu ini agar program tersebut tak sekadar menjadi jargon atau hanya berorientasi penyerapan anggaran.

Perpusnas memang melahirkan banyak inovasi dalam peningkatan kelembagaan perpustakaan, termasuk yang berbasis teknologi. Teknologi berperan dalam membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat agar bisa memanfaatkan koleksi digital dan layanan daring Perpusnas. Layanan berbasis daring di antaranya, ISBN, katalog, dan keanggotaan. Sedangkan koleksi digital di antaranya, repositori nasional Indonesia One Search, e-Resources, dan Khastara yang berisi koleksi heritage seperti naskah nusantara, buku langka, dan koran-koran lama.

Paling populer adalah iPusnas. Aplikasi smartphone peminjaman buku digital ini dirilis pada 2016 dan sudah diunduh lebih dari 500 ribu kali. Tapi jumlah unduhan tersebut tidak otomatis bisa dijadikan acuan dalam tingginya minat baca digital di Indonesia. Sebab, data We Are Social 2020 menyebut pengguna Internet di Indonesia dalam rentang umur 16-64 tahun menghabiskan 3 jam 26 menit mereka hanya untuk membuka media sosial, YouTube dan WhatsApp paling digemari.

Digital boleh dikatakan dua sisi mata uang. Dalam konteks perpustakaan, satu sisinya adalah membentuk literasi masyarakat di semua elemen, sementara sisi lainnya adalah pengembangan koleksi. Karena itulah perkembangan teknologi dalam Industri 4.0 yang salah satu cirinya adalah digitalisasi memang harus dikejar. Sebab, sangat mungkin terjadi di berbagai sektor, termasuk perpustakaan.

Bukan tidak mungkin sepuluh tahun ke depan pustakawan akan bekerja bersama kecerdasan buatan (artifisial intelligence—AI). Atau, bisa saja dalam lima tahun ke depan layanan perpustakaan bisa diramu dalam realitas tertambah (augmented reality—AR) maupun realitas virtual (virtual reality—VR). Misalnya, membaca buku melalui perangkat VR atau AR. Toh, selama ini sudah banyak penerbit buku anak yang memadukan buku dan realitas tertambah agar lebih menarik. Para pakar teknologi pun memprediksi ketiga teknologi ini, khususnya kecerdasan buatan, akan memegang peranan penting dalam banyak hal. Mulai dari teknis, seperti mengolah banyak data, sampai pekerjaan kompleks seperti merumuskan arah kebijakan yang bisa diambil untuk pengembangan kelembagaan ke depannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement