Para Fuqaha Jelaskan Hukum Iktikaf di Rumah

Rep: Imas Damayanti/ Red: A.Syalaby Ichsan

Jumat 15 May 2020 08:36 WIB

Seorang wanita mencium tangan suaminya setelah berdoa di ruang tamu rumah mereka di Bangkok, Thailand, Selasa (28/4). Sebagian besar tempat ibadah, termasuk masjid ditutup untuk membantu mengurangi penyebaran virus corona ketika umat Islam di seluruh dunia mulai menjalani bulan suci Ramadhan saat masa lockdown yang belum pernah terjadi sebelumnya. Foto: AP / Gemunu Amarasinghe Seorang wanita mencium tangan suaminya setelah berdoa di ruang tamu rumah mereka di Bangkok, Thailand, Selasa (28/4). Sebagian besar tempat ibadah, termasuk masjid ditutup untuk membantu mengurangi penyebaran virus corona ketika umat Islam di seluruh dunia mulai menjalani bulan suci Ramadhan saat masa lockdown yang belum pernah terjadi sebelumnya.

REPUBLIKA.CO.ID, Tak terasa, Ramadhan hampir saja berlalu. Umat Islam sudah memasuki fase sepuluh hari terakhir. Periode ketika setiap Muslim disunahkan untuk beriktikaf di masjid. Sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW. Meski demikian, masih adanya ancaman pandemi Covid-19 membuat kaum Muslimin mesti menghabiskan hari-hari terakhir pada bulan suci di rumah.

Menjawab fenomena ini, founder Rumah Fikih Ahmad Sarwat mengatakan, masyarakat perlu memahami terlebih dulu makna iktikaf. Secara praktis, iktikaf adalah kegiatan berdiam diri di masjid dengan melakukan aktivitas-aktivitas ibadah. Iktikaf dapat dilakukan pada waktu kapan pun, termasuk saat Ramadhan. Menurut mazhab Syafi’i, dia menjelaskan, lama iktikaf dapat dilakukan dengan batas maksimal seumur hidup dan batas minum selama lima menit saja.

“Untuk itu, Rasulullah memang sering beriktikaf di luar bulan Ramadhan juga. Namun, lebih intensif di 10 hari terakhir Ramadhan,” kata Ustaz Sarwat saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (13/5).

Dia menjelaskan, iktikaf Rasulullah SAW berarti benar-benar intensif. Rasulullah hanya melakukan ibadah dengan khusyuk dimulai sejak waktu ashar. Di dalam Alquran, Ustaz Syarwat menyebutkan, Allah SWT hanya menyinggung sedikit hal mengenai ibadah iktikaf. Ibadah yang bernilai sunah itu sejatinya diabadikan dalam surah al-Baqarah ayat 187 berbunyi: "Tsumma atimmu as-shiyama ilallaili. Wa la tubasyiruhunna wa antum akifuna fil-masajid.”

Yang artinya: “Kemudian berpuasalah sampai datang waktu malam. Tetapi, jangan kamu berhubungan intim dengan mereka (perempuan/istrimu) di masjid (ketika kamu beriktikaf).”  Dia pun menjelaskan, hadis yang berkenaan dengan iktikaf Nabi SAW sangatlah banyak.“Poinnya adalah Nabi iktikaf tidak hanya saat Ramadhan. Dan (iktikaf Nabi) intensifnya betul-betul intensif. Sementara, di Indonesia, tradisi iktikaf ini agak berbeda dengan yang di zaman Nabi,” kata dia.

Dia mengungkapkan, masjid-masjid pada zaman Rasulullah tidak menyediakan toilet. Ketika seseorang tengah menjalani iktikaf di masjid, yang bersangkutan harus pergi ke padang pasir atau tempat-tempat lainnya yang memungkinkan untuk membuang hajat. Hal serupa pun dilakukan Rasulullah. Menurut Ustaz Sarwat, Rasulullah hanya keluar dari masjid untuk keperluan pokok yang mendesak sehingga tidak membatalkan ibadah iktikafnya. Di sisi lain, Aisyah sebagai istri Nabi kerap mendukung iktikaf Rasulullah dengan membawakannya makanan serta pakaian ganti.

Ustaz Syarwat pun membandingkan dengan kondisi darurat saat ini. Menurut dia, iktikaf bisa saja dilakukan bagi wilayah-wilayah tertentu yang memang berada di zona hijau. Namun, untuk beberapa wilayah dengan zona merah, menjalankan imbauan protokol masjid yang mayoritasnya menutup kegiatan iktikaf ada baiknya untuk lebih dipahami.

Anggota Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Moqsith Ghazali menjelaskan, hukum iktikaf memang hanya bisa dilaksanakan di masjid. Adapun apabila terdapat umat yang hendak menjalankan iktikaf di rumah, dia menekankan beberapa hal yang harus diperhatikan.

Misalnya, kata dia, iktikaf sah jika dilakukan di sebuah ruangan, sajadah, bahkan kamar yang dijadikan “masjid” di rumah. Seorang mutakif bisa meniatkan diri untuk beriktikaf di ruang tersebut asalkan kamar atau ruangan itu memang sudah beralih fungsi menjadi mushala atau masjid. “Artinya, sifat pokok masjid dalam ruangan tersebut itu juga berlaku,” ujar dia.

Menurut Kiai Ghazali, tidak diperkenankan untuk beraktivitas yang dilarang dilakukan di masjid di sajadah, ruangan, hingga kamar tersebut. Sebagai contoh, berhubungan intim, berbuat maksiat, dihibahkan, hingga dilarangnya orang-orang haid masuk ke dalamnya.Itulah alasan mengapa, lanjutnya, meski rumah Rasulullah berdekatan dengan masjid, beliau tidak pernah menjadikan rumahnya sendiri untuk beriktikaf. 

Rasulullah SAW selalu beriktikaf di masjid. Karena itu, konsekuensi memasjidkan suatu ruangan, sajadah, atau rumah perlu diperhatikan secara jeli oleh umat Islam.Terkait dengan adanya masa pandemi Covid-19 ini, dia menyarankan umat Islam yang berada di zona merah untuk menahan diri dari pergi ke masjid untuk beriktikaf. Apalagi, nilai iktikaf hanyalah sunah, sedangkan menjaga kesehatan dan keselamatan diri merupakan kewajiban.“Jika yang berada di zona hijau, silakan saja untuk iktikaf, asal tetap memperhatikan protokol masjid yang berlaku di wilayahnya,” ujar dia.