Apakah Mungkin Lailatul Qadar adalah Personifikasi Ketaatan?

Red: Nashih Nashrullah

Kamis 14 May 2020 07:00 WIB

Membaca Lailatul Qadar penting tidak hanya dari aspek normatif. Ilustrasi Malam Lailatul Qadar Foto: Republika/mgrol101 Membaca Lailatul Qadar penting tidak hanya dari aspek normatif. Ilustrasi Malam Lailatul Qadar

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar Imam Besar Masjid Istiqlal

Kristalisasi makna Lailatul Qadar (LQ) sebagai suatu waktu istimewa yang diduga kuat turun dalam malam ganjil pada sepuluh terakhir Ramadhan semakin mapan dan semakin berkembang di Tanah Air. Sesungguhnya, itu tak sepenuhnya salah, tetapi implikasi makna itu cenderung melahirkan mitologisasi Lailatul Qadar. Apa sesungguhnya makna Lailatul Qadar dalam tradisi intelektual Islam dan bagaimana makna Lailatul Qadar menurut kalangan sufi?

Baca Juga

Secara leksikal, Lailatul Qadar berasal dari dua kata, yaitu lailah dan qadr. Lailah dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam, lawan dari siang (nahar); ada makna alegoris seperti gelap atau kegelapan, kesunyian, kesepian, keheningan, kesyahduan, kerinduan, dan kedamaian; ada makna anagogis (spiritual), seperti kekhusyukan (khusyuk), kepasrahan (tawakal), kedekatan (taqarub) kepada Ilahi, dan kedalaman cinta (mahabbah).

Dalam syair-syair klasik Arab, ungkapan lailah lebih banyak ditonjolkan makna alegoris (majaz) ketimbang makna literalnya, seperti ungkapan syair seorang pengantin baru: Ya lailah thul, ya shubh qif! (wahai malam bertambah panja nglah dan wahai subuh berhentilah!).

Kata "laila" dalam bait itu berarti kesyahduan, keindahan, kenikmatan, dan kehangatan sebagaimana dirasakan para pengantin baru. Pengantin baru ingin mengabadikan malam hari untuk memperlama kemesraan antara keduanya. Siang hari dirasakan sebagai pengganggu karena keduanya sudah harus ke tempat lain menjalankan aktivitas rutinnya.

Kata "lailah" dalam syair-syair sufistik orang bijak (hukama) lebih banyak menekankan makna anagogisnya. Para sufi lebih banyak menghabiskan waktu malamnya untuk bermujahadah, bertafakur, bertazakkur, dan mendaki menuju Tuhan. Mereka berterima kasih kepada al-lailah (malam) karena selalu memberikan kesyahduan dan menemani kesendirian mereka.

Perhatikan ungkapan Imam Syafi'i: Man thalab al-ula syahir allayali (barang siapa yang mendambakan martabat utama, banyaklah berjaga di waktu malam). Kata allayali di sini berarti keakraban dan kerinduan antara hamba dan Tuhannya.

Dalam Alquran, di antara ke-93 kata lail tidak sedikit di antaranya menunjukkan makna alegoris dan anagogis di samping makna literalnya. Di antara ayat yang menekankan makna anagogis, kata "lailah" ayat 1 dan 79 surat al-Isra serta adz-Dzaariyaat ayat 17.

Kata "al-lailah" dalam ketiga ayat di atas mengisyaratkan malam sebagai rahasia untuk mencapai ketinggian dan martabat utama di sisi Allah. Mengisyaratkan seolah-olah jarak spiritual antara hamba dan Tuhan lebih pendek. Ini meng ingatkan kita bahwa hampir semua prestasi puncak spiritual terjadi pada malam hari.

Ayat pertama (QS al-'Alaq [96]:1-5) diturunkan pada malam hari, ayat-ayat tersebut sekaligus menandai pelantikan Muhammad SAW sebagai Nabi di malam hari. Tidak lama kemudian turun ayat dalam surat al-Muddatstsir yang menandai pelantikan Nabi Muham mad sekaligus sebagai Rasul menurut pakar kajian Alquran.

photo
Malam Lailatul Qadar (Ilustrasi). - ()

Peristiwa Isra dan Mi'raj, ketika seorang hamba mencapai puncak maksimum (sudrah al-muntaha), juga terjadi pada malam hari. Dan, yang tidak kalah pentingnya ialah lailah al-qadr khair min alf syahr (malam lailatul qadar lebih mulia dari ribuan tahun), bukannya siang hari Ramadlan (nahar al-qadr). Memang banyak versi para ula ma tentang Lailatul Qadar. Ada yang mengatakan, Lailatul Qadar terjadi hanya sekali saja, yaitu ketika pertama turunnya.

Selebihnya sampai sekarang, hanya semacam ulang tahunnya yang juga tak kurang berkahnya. Versi lain Lailatul Qadar turun setiap tahun dalam bulan suci Ramadhan hingga akhir zaman, tetapi waktu pastinya dirahasiakan Allah SWT.

Hal yang pasti, Lailatul Qadar adalah suatu malam dalam makna simbolis atau anagogis. Lailatul Qadar merupakan suatu tanda (simbol) pencapaian prestasi spiritual seorang hamba dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Banyaknya hadits yang menganjurkan untuk banyak beribadah di malam hari pada malam-malam ganjil sepuluh terakhir  Ramadhan mengisyaratkan adanya berkah dan nilai-nilai keutamaan di malam hari.

Malam hari di sini tentu tidak secara eksakta menunjuk ke pada fakta, tetapi lebih pada kekuatan simbol atau pada makna esoterisnya.

Malam hari di Makkah, siang hari di belahan bumi lain. Indonesia, misalnya, berselisih 12 jam de ngan Amerika serikat. Ketika umat Islam Indonesia melakukan berbagai mujahadah di malam hari Ra ma dhan, Amerika Serikat masih sibuk dengan urusan siangnya. Bagaimana, misalnya, dengan Kota St Petersberg, di wilayah Rusia, yang dalam musim tertentu malam harinya hanya satu jam?

Oleh karena itu, makna esoteris Lailatul Qadar lebih utama untuk diperkenalkan ketimbang fakta malamnya.

Boleh jadi seorang hamba merasa keheningan, kevakuman, dan kekhusyukkan justru di tengah siang bolong, sementara ada hamba Tuhan lainnya merasakan malam harinya penuh kesibukan rasional sehingga jiwa dan batin mereka tidak kurang aktif di malam hari. Misalnya, para wartawan yang dikejar deadline, para penjaga malam yang harus mengawasi keamanan di sekitar wilayahnya. Boleh jadi, mereka siang hari adalah malam spiritualnya.

Jika ditekankan pada makna esoterisnya, Lailatul Qadar lebih ditekankan kepada aspek malamnya, kemungkinan hakikat, tujuan, atau hikmah lebih besar dari Lailatul Qadar tidak akan dicapai secara maksimum. Akan tetapi, jika yang ditekankan adalah makna eksoteriknya, misalnya keheningan, kesyahduan, kekhusyukkan, dan kedekatan, kemungkinan Lailatul Qadar akan memberikan bekas dan kesan lebih lama di dalam diri seseorang.