Kamis 14 May 2020 04:31 WIB
Sarinah

McDonald Sarinah dan Istanbul: Impian Restoran Publik?

Impian restoran prestisius merakyat di kawasan gedung Sarinah

Restoran publik di Istanbul. Sebuah keluarga bercengkerama menikmatti taman penuh bunga di restoran prestisus yang berada di kawasan tepian selat Bosporus.
Foto: muhammad subarkan
Restoran publik di Istanbul. Sebuah keluarga bercengkerama menikmatti taman penuh bunga di restoran prestisus yang berada di kawasan tepian selat Bosporus.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Pernahkah anda membayangkan ada sebuah restoran kelas satu yang harganya murah? Maksudnya, bukan hanya lokasinya di kawasan elit dengan pemandangan indah, makanannya yang lezat karena dimasak oleh koki yang handal, namun harganya terjangkau?

Jawabnya memang ada! Tapi sayangnya itu bisa ditemui bukan di Indonesia atau Jakarta yang tengah geger dengan banyaknya orang ‘menangisi tutupnya’ McDonald Sarinah dengan datang cara heroik: datang berjubelan meski tengah dalam situasi pandemi virus asal Wuhan China: Corona. Ingat di tempat yang sempat mendapat julukan restoran cepat saji terbesar di dunia dengan mengacu pada jumlah kursi dan waktu operasinya yang 24 jam penuh, harganya makanan ditempat itu selangit. Tak ada beda -- meski anda datang dari golongan masyarakat berkantong tipis dan berkantol tebal -- semuanya dipukul dengan semboyan harga: sama rata sama rasa.

Dan bagi warga ibu kota dari kalangan tak berpunya atau minimal dari kelompok biasa, makan di Sarinah adalah menakutan. Istilah Betawinya, tak ade nyang mure atau harganya tak ketulungan. Mencekik leher. Sekali makan di sana bisa sama dengan pendapat mereka setelah bekerja selama seharian penuh.

Coba bayangkan saja, sepotong ayam goreng di warung Tegal yang harganya hanya sekitar Rp 5.000, di sana bisa melompat lima sampai enam kali lipatnya. Bahkan minimal bisa berkali-kali lipat  dari harga ayam  goreng ‘Fried Chiken’ yang banyak dijual di pinggir jalan di perkampungan.

Nah, salah satu tempat makanan yang elit dan bercitra rasa internasional dan cocok untuk kantong rakyat biasa ternyata itu ada di Turki. Tepatnya di Istanbul. Restoran ini berada di tepi selat pemisah antara benua Eropa dan Asia, yakni selat Bosporus.

Harap diketahui meski tempatnya disebut ‘Restoran Publik’ tapi lokasinya tak sembarangan, alias sangat prestsius. Menu makanannya pun berkualitas. Hebatnya, harganya di sana ternyata sangatkah miring. Bayangkan saja, bila makan di restoran itu warga Turki mereka cukup membayar seperempat dari harga makanan bila si pengunjung merupakan orang asing.

Sepanjang Ramadhan Restoran Elit di Istambul Habis Terpesan ...

Dengan kata lain, pemerintah Turki memberikan subsidi khusus kepada restoran ini supaya seluruh warganya bisa menikmati makanan lezat dan pemandangan yang indah. Harga di restoran ini jauh berlipat-lipat lebih murah dari pada restoran swasta yang berada di tempat yang sama.

‘’Uniknya lagi, restoran publik seperti ini jumlahnya tak hanya satu buah saja di Istanbul. Tapi jumlahnya mencapai lima buah di lokasi yang berbeda dan masih berada di pinggiran Selat Bhosporus yang indah itu juga. Restoran ini adalah restoran milik negara,’’ kata warga Istanbul, Sulaiman.

Akibat adanya sajian makanan sehat dengan lokasi yang menawan dengan harga s'angat miring,  maka restoran ini pun selalu kebanjiran pengunjung. Mereka datang bercengkerama dengan membawa kolega atau para anggpta keluarganya.

Waktu favorit bersantap di 'Restoran Publik' itu adalah kala menjelang senja ketika lampu kapal pesiar yang lalu lalang di selat Bosporus mulai menyala. Gemarlap sinar ini berebut dengan kilau permukaan air selat yang berwarna biru dan wajah langit senja yang merah temaram. Saat itu restoran meja makanan dan kursi pun pasti selalu dipenuhi pengunjung.

‘’Tapi ada aturan bagi warga Turki supaya bisa makan di restoran ini. Mereka harus mendaftar jauh-jauh hari sebelumnya. Dari sana mereka dapat nomor antrian dan kapan waktunya. Siapa pun tak bisa makan dengan waktu yang sembarangan atau mendadak. Bila datang dengan cara seperti itu mereka tidak akan dilayani,’’ ujar Sulaiman lagi.

Dan bila menyantap hidangan di retoran ini memang terlihat sekali menu makanannya terbuat dari bahan-bahan  terpilih. Di sana tersedia berbagai macam penganan Turki yang terkenal dengan kelegitan dan rasa manisnya yang khas. Juga ada ayam gorengnya yang 'keremes banget'. Dan juga ada aneka hidangan ikan gorengnya yang ‘maknyus’.

Lalu apakah di sana ada hidangan hasil laut selain ikan, misalnya udang, cumi-cumi, rajungan, atau binatang hasil laut lainnya? Ketika ditanya seperti ini Sulaiman menggeleng.’’Tak ada orang Turki yang memakan itu. Kami hanya kenal makan ikan saja. Dan ikannya pun jenis ikan tertentu yang tak boleh masih ikan yang kecil-kecil’.

Mendengar jawaban ini, selidik punya selidik, kebiasaan hanya makan ikan dengan besaran tertentu atau bukan ‘bibit ikan’ ternyata ada hubungannya dengan mahzab Islam yang dipeluk orang Turki. Mereka bermahzab Hanbali yang hanya memperbolehkan menyantap ikan saja sebagai makanan dari laut. Di luar itu, tidak diperbolehkan alias ‘haram’.

Menyadari hal ini, maka bila dibandingan Muslim Indonesia yang bermahzab fiqh Syafii sepertinya menjadi hal yang sangat berbeda. Di sini semua hasil laut tak peduli ikan besar kecil dan semua hasil laut lainnya dipandang ‘halal’ di makan. Istilahnya yang lebih membuat ironis adalah seluruh hasil laut bisa masuk ke perut.

Et Cetera on the Bosphorus, Istanbul - Ulasan Restoran - Tripadvisor

                       

                                 ******

Keriuhan restoran publik yang tak jauh dari Istana Topkapi ini sangat terasa bila bulan Ramadhan tiba. Di setiap sore seluruh kursi sudah habis dipesan. Bahkan, kalau pengin punya acara ‘iftar’ atau makan bersama di kelima restoran yang ada di pinggir selat Bhospuras pada bulan Ramadhan, dua bulan sebelumnya harus sudah dipesannya. Bila tanpa memesan tempat itu, maka tak akan mendapat kesempatan bisa bernatap sembari bercengkerama di sana.

Sulaiman menceritakan, momentum buka puasa memang selalu ditunggu-tunggi oleh Muslim Turki. Apalagi lazimnya mereka berpuasa cukup panjang, yakni bisa menjalankan puasa lebih panjang, yakni mencapai 18 jam. Ini biasanya terjadi manakala  bulan puasa tiba bersamaan dengan datangnya musim panas.



‘’Ini akan berbeda kalau Ramadhan tiba di musim dingin. Saat itu waktu siang lebih singkat, dan kami pun puasa lebih singkat karena waktu malamnya lebih panjang. Tahun lalu kami sahur pukul 03.00 dini hari dan buka puasa di pukul 21.00,’’ ujarnya.



Alhasil, di antara kesemarakan bulan suci Ramadhan di Turki, salah satu contohnya terdapat pada begitu banyaknya acara buka puasa bersama yang digelar di berbagai tempat. Dan untuk berbuka bersama di ‘restoran publik’ yang berada di tempat prestisius seperti di pinggir selat Bhosporus menjadi impian banyak orang.


‘’Sepanjang bulan Ramadhan semua kursi di restoran itu selalu sudah habis terpesan, bahkan hingga Idul Fitri tiba,’’ kata Sulaiman seraya mengakui bila ‘restoran publik’ adalah restoran yang diberi subsidi oleh pemerintah sehingga harganya murah dan terjangkau seluruh rakyat. Kualitas dan jenis makanannya sama dengan restoran mewah."Memang yang beda cuma harga makannya yang hanya seperempat dari ‘restoran swasta’ yang ada di tempat itu," ujarnya lagi.

Sulaiman mengatakan, tak beda dengan waktu buka pusa di bulan Ramadhan, pada hari-hari biasa para pengunjung restoran publik ini juga selalu datang silih berganti. Mereka berkunjung secara berombongan atau untuk makan sekeluarga. 

“Waktu favorit untuk kunjungan makan bersama di restoran itu adalah pada petang hari di kala lampu-lampu mulai menyala di sekitar selat Bosporus."

Selain tersedia makanan yang lezat, restoran yang berhalaman luas ini penuh bunga-bunga. Di tempat menyantap makanan pengunjung restoran bisa menikmati pemandangan selat dan lalu lalang kapal kecil yang mengangkut turis berselancar. Suasana ini jelas mampu menghadirkan rasa  rileks bagi seluruh lapisan warga Istambul atau siapa saja yang datang ke restoran tersebut.

Jadi bila kini terdengar bahwa bekas gerai McDonald Sarinah akan dibuat menjadi gerai UMKM yang ‘mewah’ sebenarnya ini tak terlalu mengherankan. Bila itu nanti benar terjadi, maka yang bisa menyantap makanan di sana dipastikan hanya orang kaya atau berkuasa yang lazimnya berkantong tebal. Padahal dengan menyitir atau menggunakan nama Sarinah seharusnya tempat ini bisa dinikmati oleh orang jelata. Mengapa? Ini karena sosok perempuan 'Sarinah' itu sebenarnya bukan nama itu bukan orang berpunya. Dia hanya seorang pembantu rumah tangga di rumah Soekarno kecil di Blitar yang proyayi itu. Kalau mau disebut secara ideologis Sarinah adalah sosok kaum 'Marhaen'.

Maka, alangkah indahnya bila pada suatu hari nanti sempat bersantap di sebuah resoran di Gedung Sarinah yang lezat dan mewah itu, rakyat biasa pun bisa menikmatinya. Harganya tentu saja 'harus murah' biar semua orang bisa menikmatinya. Dan syaratnya memang harus ada  memakai dana subsidi dari pemerintah. Hal ini sekaligus juga mengajari rakyatnya untuk bisa menahan diri dengan mau antre, tak sembarang memaksa makan meski dirnya kaya raya atau tengah punya kuasa.



Akhirnya, nanti bukan orang kaya saja yang bisa menikmati kemakmuran negara ini? Rakyat biasa pun bisa merasakannya!

Tapi apakah mungkin? Sebab, jangan-jangan semua ini hanya mimpi yang lazim ada di dalam kisah sebuah komik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement