Rabu 13 May 2020 14:21 WIB

Harga Ikan Anjlok 50 Persen, Nelayan Diambang Kerugian

pemerintah telah menugaskan dua BUMN untuk menyerap perikanan nelayan

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Hiru Muhammad
Nelayan menyortir ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu, Serang, Banten, Selasa (7/4/2020). Para nelayan setempat mengaku kesulitan untuk menjual ikan hasil tangkapan mereka terkait kebijakan pembatasan sosial sehingga ikan tidak bisa dijual ke luar daerah dan hanya sedikit sekali yang bisa diserap pasar di lingkungan lokal mereka.
Foto: ANTARA/Asep Fathulrahman
Nelayan menyortir ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu, Serang, Banten, Selasa (7/4/2020). Para nelayan setempat mengaku kesulitan untuk menjual ikan hasil tangkapan mereka terkait kebijakan pembatasan sosial sehingga ikan tidak bisa dijual ke luar daerah dan hanya sedikit sekali yang bisa diserap pasar di lingkungan lokal mereka.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Situasi usaha perikanan tangkap dan budidaya ikut terimbas dampak negatif pandemi Covid-19. Harga komoditas ikan bahkan anjlok hingga separuh harga lantaran permintaan dan distribusi yang terganggu. Nasib usaha nelayan diambang kerugian.

Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan, mengatakan, KNTI telah melakukan survei langsung kepada nelayan di berbagai daerah selama bulan Maret 2020.

"Pembatasan-pembatasan yang terjadi terutama di Jawa, memiliki dampak besar bagi nelayan tangkap dan budidaya. Secara keseluruhan, harga ikan dari nelayan turun signifikan hingga 50 persen, terutama komoditas ekspor," kata Dani Rabu (13/5).

Ia menjelaskan, disamping turunnya permintaan pasar, distribusi komoditas perikanan belum semapan komoditas daging sapi atau ayam ras. Itu membuat para pedagang maupun pengepul yang biasa mengambil ikan dari nelayan mulai berkurang. Alhasil, masalah yang dihadapi nelayan cukup berat.

Pada nelayan tangkap, Dani menjelaskan, komponen Bahan Bakar Minyak (BBM) solar menyumbang 60-70 persen biaya melaut setiap harinya. Sementara nelayan sulit untuk bisa mendapatkan harga solar subsidi lantaran dibeli dari melalui perantara.

Dengan biaya melaut yang tak berkurang dan harga ikan justru menurun, kerugian tidak bisa dihindari. "Ini dilema, nelayan kalau tidak melaut juga tidak bisa makan," kata dia.

Adapun di sektor nelayan budidaya, biaya pakan cenderung meningkat dan membuat beban tambahan bagi nelayan. Oleh sebab itu, KNTI meminta pemerintah untuk membuat kebijakan stimulus bagi usaha perikanan.

"Stimulus-stimulus ekonomi yang dikeluarkan pemerintah tidak ada yang spesifik untuk petani maupun nelayan. Padahal, ini sektor yang menopang lapangan pekerjaan mayoritas masyarakat," ujarnya menambahkan.

Sejauh ini, diketahui pemerintah telah menugaskan dua BUMN, Perum Perindo dan PT Perinus untuk menyerap produk perikanan nelayan. Sistem penyerapan itu dengan menggunakan anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang hanya sekitar Rp 60 miliar. Menurut Dani, alokasi itu cukup kecil untuk bisa menopang harga ikan yang anjlok.

KNTI, kata Dani, meminta pemerintah untuk lebih memperhatikan nasib nelayan. Setidaknya, dengan kebijakan untuk meringankan ongkos melaut atau biaya produksi perikanan tangkap maupun budidaya. Adapun di level distribusi, diperlukan insentif bagi pengusaha logistik agar tetap dapat menyerap ikan dari nelayan.

Selain itu, menambah kebutuhan anggaran dari koperasi-koperasi nelayan yang telah dibentuk agar memiliki ruang yang lebih menyerap hasil nelayan. "Kita semua tahu, penting untuk menjaga ketahanan pangan agar masyarakat tetap bisa mengakses pangan baik pertanian maupun perikanan," ujarnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement