Rabu 13 May 2020 14:21 WIB

Ini Alasan Divkum Mabes Polri Jadi Pengacara Penyiram Novel

Argo menyebut, jika ada yang keberatan, silakan mengajukannya ke pimpinan.

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Teguh Firmansyah
Terdakwa kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan, Ronny Bugis.
Foto: Rivan Awal Lingga/Antara
Terdakwa kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan, Ronny Bugis.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Pol Argo Yuwono mengatakan, sudah tugas Divisi Hukum (Divkum) Polri saat persidangan kasus penyiraman Novel Baswedan mendampingi anggotanya, yaitu Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis. Karena itu, jika ada yang keberatan, keberatan itu dipersilakan untuk diajukan ke pimpinan sidang.

"Tugas divisi hukum mendampingi anggotanya. Lalu, ini kan sudah dalam persidangan. Kalau ada penasihat hukum (PH) yang keberatan, silakan saja ajukan ke pimpinan sidang," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (13/5).

Baca Juga

Sebelumnya diketahui, tim advokasi Novel Baswedan menemukan sembilan kejanggalan dalam persidangan kasus penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Mereka pun khawatir persidangan itu tak bisa menggali fakta-fakta kasus, termasuk mengungkap aktor intelektualnya.

Sidang kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan telah digelar empat kali di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Terdakwanya adalah Rony Bugis dan Rahmat Kadir. Keduanya anggota Polri aktif. Berikut sembilan kejanggalan persidangan tersebut sebagaimana disampaikan tim advokasi Novel Baswedan dalam siaran persnya, Ahad (10/5).

Pertama, dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) menutupi pengungkapan aktor intelektual. Dalam dakwaan JPU, penyerangan itu dinilai hanya kasus biasa dan tidak ada kaitannya dengan kerja-kerja Novel sebagai penyidik KPK. Hal ini bertentangan dengan temuan tim pencari fakta bentukan Polri yang menyatakan bahwa penyerangan berkaitan dengan kasus besar yang ditangani Novel.

"Patut diduga jaksa sebagai pengendali penyidikan satu skenario dengan kepolisian mengusut kasus hanya sampai pelaku lapangan," kata anggota tim advokasi Novel, Kurnia Ramadhana.

Kedua, JPU terlihat tidak menjadi representasi negara yang mewakili kepentingan korban, tetapi malah membela kepentingan terdakwa. Selain mendakwa pelaku dengan pasal penganiayaan biasa, menurut Kurnia, jaksa juga tak berupaya menggali keterlibatan aktor lain meski telah disebutkan oleh Novel adanya kemungkinan keterlibatan aktor lain.

Ketiga, majelis hakim terlihat pasif dan tidak objektif mencari kebenaran materiel. Hakim dinilai tidak menggali rangkaian peristiwa secara utuh, khususnya fakta-fakta sebelum penyerangan, guna membuktikan bahwa serangan dilakukan secara sistematis, terorganisasi, dan tidak hanya melibatkan dua pelaku lapangan.

Keempat, terdakwa didampingi kuasa hukum Polri. "Pembelaan oleh institusi kepolisian tentu akan menghambat proses hukum untuk membongkar kasus ini yang diketahui diduga melibatkan anggotanya dan juga petinggi kepolisian," kata Kurnia

Ia menambahkan, ketika para terdakwa justru dibela oleh institusi Polri, proses pendampingan itu pun harus dipertanyakan. "Atas dasar apa institusi Polri mendampingi dugaan pelaku tersebut? Kapolri harus jelaskan,” katanya.

Menurut dia, terdapat konflik kepentingan yang terselubung sehingga nantinya akan menghambat penyelesaian kasus tersebut. Kasus tersebut pun akan menjadi lambat untuk menangkap pelaku yang sebenarnya. Bahkan, otak pelaku dari kejahatan ini tidak akan terungkap.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement