Pendapat Empat Mazhab Soal Zakat Fitrah

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Hafil

Rabu 13 May 2020 12:44 WIB

Pendapat Empat Mazhab Soal Zakat Fitrah. Foto: Ilustrasi Zakat Foto: Republika/Prayogi Pendapat Empat Mazhab Soal Zakat Fitrah. Foto: Ilustrasi Zakat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Ada perbedaan pendapat yang terjadi antara jumhur ulama tiga mazhab fiqih Maliki, Syafii, Hanbali dengan madzhab Hanafiyah soal bagaimana teknis zakat fitrah itu dikerjakan. Mazhab Hanafiyah merupakan satu-satunya mazhab yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan uang.

Peniliti dari Rumah Fiqih, Ustadz Ahmad Zarkasih Lc, mengatakan, pendapat mazhab al-Hanafiyah yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan uang itu tidak diaminkan oleh mazhab lain. "Mazhab Hanafiyah adalah satu-satunya mazhab yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan uang dan itu tidak diaminkan oleh mazhab lain," katanya saat berbincang dengan Republika, Rabu (13/5).

Baca Juga

Namun, terkait semua itu, banyak teks atau ibrah yang termaktub dalam kitab-kitab ulama mazhab masing-masing. Pertama, misalnya, teks dari Mazhab al-Hanafiyah yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan uang itu sebagai berikut.

"Diceritakan dari Abu Yusuf (murid Imam Abu Hanifah) bahwa bayar zakat fitrah dengan tepung itu lebih aku sukai daripada bayar dengan jelai, dan bayar dengan dirham (uang) lebih aku sukai daripada bayar dengan tepung atau juga dengan jelai; karena uang lebih bisa menyelesaikan hajatnya si fakir. (Bada’i al-Shana’i 2/72).

Kedua, mazhab al-Malikiyah tidak mengamini zakat dengan uang. "Tidak sah (zakat fitrah) kurang dari satu sha’ menurut kalangan ulama Madinah di antaranya Imam Malik dan juga selainnya, (zakat fitrah) berupa biji-bijian yang merupakan makanan pokok seluruhnya, tidak sah dengan tepung, bubuk juga roti … dan tidak (boleh) mengganti zakat dengan nilai (uang) menurut ahli Madinah, dan inilah pendapat yang sahih dari Imam Malik dan juga kebanyakan ulama al-Malikiyah." (al-Kafi fi Fiqh Ahl Madinah 1/323).

Ketiga, mazhab al-Syafi’iyyah yang sama menolak zakat fitrah dengan uang. "Kadar yang diwajibkan (zakat fitrah) adalah 5 1/3 rithl Baghdad, dari makanan pokok berupa biji-bijian dan juga buah. Tidak boleh (zakat fitrah) dengan roti, tepung, dan juga tidak (boleh) mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk nilai dengan perak atau emas." (al-Iqna’ lil-Mawardi 69)

Mazhab al-Hanabilah juga demikian. "Siapa yang mampu mengeluarkan (zakat fitrah) berupa kurma, jelasi atau gandum, atau kismis, atau juga aqith (jameed), tapi ia mengeluarkan selain yang tersebut, tidak sah zakat fitrahnya, dan (juga) siapa yang mengeluarkan nilai (uang)-nya tidak sah." (Mukhtashar al-Khiraqi 48).

Ustadz Ahmad mengatakan, dalil jumhur dalam hal ini sangat nyata dan jelas di antaranya sesuai dengan teks-teks hadits Nabi SAW yang berkaitan dengan zakat fitrah sangat nyata dan jelas menyebut jenis-jenis makanan pokok dalam haditsnya. Karena itu, jumhur ulama menyebut bahwa wajibnya zakat fitrah adalah makanan pokok.

"Dari Abdullah bin Umar RA bahwa Rasulullah SAW memfardhukan zakat fitrah bulan Ramadhan kepada manusia sebesar satu sha' kurma atau sya'ir, yaitu kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki dan perempuan dari orang-orang muslim." (HR jamaah kecuali Ibnu Majah dari hadits Ibnu Umar).

Dari Abi Said al-Khudhri RA, ia berkata, "Kami mengeluarkan zakat fitrah ketika dahulu Rasulullah bersama kami sebanyak satu sha' tha'aam (hinthah) atau satu sha' kurma, atau satu sha' sya'ir, atau satu shaa' zabib, atau satu shaa' aqith. Dan aku terus mengeluarkan zakat fitrah sedemikian itu selama hidupku." (HR jamaah--Nailul Authar).

Ustadz Ahmad mengatakan, terkait dengan hadits terakhir yang tersebut, ulama dari kalangan jumhur tidak ada yang mengatakan bahwa jenis-jenis itu saja yang wajib dizakati, sementara yang lain tidak boleh. "Tentunya tidak ada dalil seperti itu (yang mengatakan bahwa jenis-jenis itu saja yang wajib dizakati, yang lain tidak boleh)," katanya.

Ulama, dia mengatakan, telah menghukumi bahwa selain yang disebutkan dalam hadits boleh dizakati. Syaratnya makanan pokok karena memang apa yang disebutkan dalam hadits di atas semuanya adalah makanan pokok. "Dan bukan hanya makanan pokok, ia juga haruslah berupa biji-bijian atau buah-buahan," katanya.

Jadi, menurut dia, jika ada daging yang dijadikan makanan pokok, makanan itu tidak bisa dijadikan zakat fitrah karena sifatnya yang bukan biji-bijian atau buah-buahan. Begitu penjelasan ulama.

Dalam mazhab al-Syafi’iyyah khususnya untuk memudahkan dalam memahami jenis apa saja yang wajib dizakati, mereka menyebutnya dengan istilah al-mu’asysyarat, yakni “yang di-sepersepuluh-kan”.

Maksudnya, jenis yang dibayarkan dalam zakat fitrah adalah jenis biji-bijian dan buah-buah yang merupakan makanan pokok, yang mana itu semua terkena kewajiban zakat buah dan biji-bijian yang memang dalam syariat dikenakan 1/10 atau 10 persen.

Karena memang yang disebutkan dalam hadits itu juga semuanya adalah hasil bumi yang wajib dizakati. (kifayatul-akhyar fashl zakat fitrah). "Itu kenapa wajibnya zakat fitrah berupa makanan pokok," katanya.