Rabu 13 May 2020 08:18 WIB

Soal Relaksasi Rumah Ibadah, PBNU Ingatkan Jangan Gegabah

Harus ada data yang valid untuk memastikan relaksasi atau pelonggaran bisa dilakukan.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Ratna Puspita
Foto kolase umat muslim menanti waktu berbuka puasa (kiri) pada (6/5/2019) dan suasana sesudah ditiadakan di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Selasa (28/4/2020). Masjid Istiqlal tidak menggelar buka bersama dan shalat tarawih berjamaah serta aktivitas keagamaan lain saat Ramadhan selama pandemi COVID-19 demi mencegah meluasnya penularan virus tersebut.
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Foto kolase umat muslim menanti waktu berbuka puasa (kiri) pada (6/5/2019) dan suasana sesudah ditiadakan di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Selasa (28/4/2020). Masjid Istiqlal tidak menggelar buka bersama dan shalat tarawih berjamaah serta aktivitas keagamaan lain saat Ramadhan selama pandemi COVID-19 demi mencegah meluasnya penularan virus tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Marsudi Syuhud menuturkan, pemerintah tidak boleh gegabah dalam mengeluarkan kebijakan soal pelonggaran penutupan rumah ibadah di tengah pandemi wabah Covid-19. Dia mengatakan, harus ada data yang valid untuk memastikan pelonggaran itu bisa dilakukan.

"Jangan gegabah. Harus ada data yang valid apakah daerah ini sudah hijau, tidak ada yang kena, dan masyarakat tetap peduli terhadap lingkungannya. Kalau ada orang yang tidak diketahui, dan bukan dari lingkungan itu ya harus dicek," kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (12/5).

Baca Juga

Karena itu, Marsudi mengatakan, kalau pemerintah sudah membahas rencana relaksasi penutupan tempat ibadah, maka seharusnya sudah dikaji betul-betul sebelum menetapkan kebijakan. "Berarti mereka harus punya data, bahwa (suatu daerah) itu aman. Jadi harusnya tidak sembarangan saat ingin relaksasi penutupan masjid," ujarnya.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag), harus sudah paham sebelum merelaksasi penutupan rumah ibadah. Sebab, bagaimana pun masyarakat akan menyambut baik kebijakan pelonggaran tersebut karena mereka tentu ingin kembali beribadah di masjid.

 

"Kita juga menyambut baik kalau ternyata sudah ada data yang demikian bagus, Daerah sini dan daerah sana sudah terdata semua ya kita sambut baik. Wong namanya mau beribadah," ungkap Marsudi.

Untuk masyarakat sendiri, jika merasa khawatir terhadap pelonggaran itu itu, maka mereka harus dibiarkan untuk membuat keputusan. "Kalau masih ada kekhawatiran karena keadaan yang tidak terkontrol, masyarakat bisa menolak, karena yang tahu daerahnya kan masyarakat situ, dan yang mesti tahu adalah pemerintah," ucapnya.

Menteri Agama Fachrul Razi sebelumnya mengatakan tengah mengkaji adanya relaksasi untuk rumah ibadah selama pandemi virus Covid-19 atau corona. Hal ini dia sampaikan untuk menanggapi sejumlah usulan anggota Komisi VIII DPR yang meminta agar itu direalisasikan.

"Kami belum ajukan, tapi kami sudah punya ide itu dan sempat saya bicarakan dengan Dirjen," ujar Fachrul dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR, Senin (11/5) lalu.

Salah satu yang dikaji adalah perlunya penanggungjawab atas rumah ibadah selama penerapan relaksasi. Ini supaya tindakan pencegahan penularan virus corona tetap dapat dilakukan selama ibadah berlangsung. "Nanti kami akan rumuskan lebih detail, tetapi kami belum bisa mengangkat itu keluar," ujar Fachrul.

Jika relaksasi rumah ibadah dapat terealisasi, Fachrul berharap masyarakat tetap melaksanakan tindakan pencegahan virus corona. Contohnya, dengan mengatur jumlah jamaah masjid agar tidak terlalu banyak, tetap bisa berjaga jarak, dan jarak antarshaf dapat direnggangkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement