Rabu 13 May 2020 09:08 WIB

Saran NU dan Muhammadiyah Atas Wacana Relaksasi Rumah Ibadah

Menag tengah mengkaji relaksasi rumah ibadah kala pandemi Covid-19.

Pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) membaca Al Quran di Masjid Raya Bandung yang ditutup di Jalan Dalem Kaum, Kota Bandung, Kamis (30/4). Pada bulan Ramadan, selain berpuasa umat islam juga memperbanyak kegiatan ibadah seperti tadarus atau membaca Al quran guna menambah amalan dam memohon ampunan dari Allah SWT
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) membaca Al Quran di Masjid Raya Bandung yang ditutup di Jalan Dalem Kaum, Kota Bandung, Kamis (30/4). Pada bulan Ramadan, selain berpuasa umat islam juga memperbanyak kegiatan ibadah seperti tadarus atau membaca Al quran guna menambah amalan dam memohon ampunan dari Allah SWT

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Umar Mukhtar, Muhyiddin

Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan tengah mengkaji adanya relaksasi untuk rumah ibadah selama pandemi Covid-19. Hal itu dia sampaikan untuk menanggapi sejumlah usulan anggota Komisi VIII DPR yang meminta agar relaksasi itu direalisasikan.

Baca Juga

"Kami belum ajukan, tapi kami sudah punya ide itu dan sempat saya bicarakan dengan Dirjen," ujar Fachrul dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR, Senin (11/5) lalu.

Salah satu yang dikaji adalah perlunya penanggung jawab atas rumah ibadah selama penerapan relaksasi. Hal ini supaya tindakan pencegahan penularan virus corona tetap dapat dilakukan selama ibadah berlangsung. "Nanti kami akan rumuskan lebih detail, tetapi kami belum bisa mengangkat itu keluar," ujar Fachrul.

Jika relaksasi rumah ibadah dapat terealisasi, Fachrul berharap masyarakat tetap melaksanakan tindakan pencegahan virus corona. Contohnya dengan mengatur jumlah jamaah masjid agar tidak terlalu banyak, tetap bisa berjaga jarak, dan jarak antarshaf dapat direnggangkan.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Marsudi Syuhud menuturkan, pemerintah tidak boleh gegabah dalam mengeluarkan kebijakan soal pelonggaran penutupan rumah ibadah di tengah pandemi wabah Covid-19. Dia menyarankan harus ada data yang valid untuk memastikan pelonggaran itu bisa dilakukan.

"Jangan gegabah. Harus ada data yang valid apakah daerah ini sudah hijau, tidak ada yang kena, dan masyarakat tetap peduli terhadap lingkungannya. Kalau ada orang yang tidak diketahui dan bukan dari lingkungan itu ya harus dicek," kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (12/5).

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag) harus  paham konsekuensinya sebelum memutuskan merelaksasi penutupan rumah ibadah. Sebab, bagaimanapun masyarakat akan menyambut baik kebijakan pelonggaran tersebut karena mereka tentu ingin kembali beribadah di masjid.

"Kita juga menyambut baik kalau ternyata sudah ada data yang demikian bagus. Daerah sini dan daerah sana sudah terdata semua ya kita sambut baik. Wong namanya mau beribadah," ungkap Marsudi.

Wakil Ketua Lembaga Dakwah PBNU KH Misbahul Munir menilai, rencana relaksasi tempat ibadah yang digaungkan pemerintah sebagai langkah yang positif. Namun, ia menyarankan, sebelum mewujudkan rencana itu pemerintah harus mengkaji secara konprehensif agar penyebaran virus Covid-19 tidak makin menjadi-jadi.

“Menurut saya, itu hal yang positif karena pada prinsipnya dalam situasi apa pun kita ini bisa menyesuaikan, karena Islam itu mudah,” ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (12/5).

Dia pun mengutip ayat Alquran, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS al-Baqarah: 185).

“Artinya, dalam situasi apa pun, ayo kita ikuti. Kalau pemerintah sudah mengatakan Covid-19 ini mulai longgar atau sudah mulai menurun, ya kita ikuti (pelonggaran tempat ibadah itu). Nah, inilah kehebatan Islam di situ,” ucapnya.

Kiai Misbah menyadari bahwa jika tempat ibadah dilonggarkan dapat membahayakan masyarakat. Namun, dia yakin pemerintah sudah mengkaji secara komprehensif untuk melonggarkan tempat ibadah itu.

“Jadi, meksipun dilonggarkan tetap harus mengikuti protokol Covid-19. Artinya, pelonggaran tempat ibadah itu harus berdasarkan analisa-analisa. Saya harapkan kalau pemerintah demikian ya kita ikuti,” kata Kiai Misbah.

Dia menambahkan, dalam penanganan Covid-19 ini yang menentukan bahaya atau tidaknya itu adalah pemerintah, bukan kiai atau ulama. Karena itu, menurut dia, pemerintah harus mempertimbangkan betul sebelum menerapkan relaksai tempat ibadah itu.

“Pemerintah harus mempertimbangkan betul. Kalau berdampak buruk ya tidak usah. Jadi, kalau kita ini felksibel. Kalau pemerintah mengatakan demikian, tentu hitung-hitungannya harus jelas. Pemerintah harus mengkaji betul, bukan hanya berdasarkan asumsi yang tidak jelas,” katanya.

 

Adapun Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Syamsul Anwar, mengatakan, sebelum mewujudkan rencana relaksasi tempat ibadah, pemerintah perlu terlebih dahulu melakukan metode sadd adz-dzari’ah sehingga tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Sadd adz-dzari’ah merupakan salah satu metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama sebagai upaya preventif agar tidak berdampak negatif.  Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain.

"Kalau menurut saya, kita harus melakukan sadd adz-dzari'ah. Itu salah satu dasar hukum syariah, yaitu kita menutup jalan menuju kemudaratan. Jadi, segala yang bisa membawa kemudaratan harus kita tutup," ujar Prof Syamsul saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (12/5).

Karena itu, dia melanjutkan, sebelum Indonesia bebas dari Covid-19, hendaknya masyarakat tetap dilarang untuk melaksanakan ibadah secara berkurumun. Setelah dinyatakan bebas Covid-19, baru masyarakat diperbolehkan untuk membuka tempat ibadahnya kembali.

"Selagi belum dipastikan bahwa negeri kita clear dari wabah corona maka menurut saya sadd adz-dzari’ah ini perlu kita amalkan. Dalam arti, ya kalau sudah pasti clear ya tentu kita bisa sholat di lapangan. Jika belum clear, demi berhati-hati sebaiknya di rumah dulu," kata Prof Syamsul.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menilai rencana pelonggaran atas penutupan rumah ibadah sangat berisiko. Apalagi, menurut dia, hingga kini belum ada tanda-tanda wabah virus Covid-19 di Indonesia bisa diatasi.

"Rencana Kemenag itu sangat berisiko. Belum ada pernyataan resmi dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) bahwa wabah Covid-19 sudah landai dan dapat diatasi," kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (12/5).

Mu'ti mengungkapkan, pemerintah seharusnya konsisten dengan kebijakan PSBB. Menurut dia, pemerintah juga semestinya seirama dengan pemerintah daerah dan masyarakat, khususnya ormas keagamaan. "Sangat sulit mengontrol bagaimana pelaksanaan protokol Covid-19," kata dia.

Muhammadiyah, Mu'ti melanjutkan, masih tetap pada keputusan untuk tetap beribadah di rumah jika situasi wabah Covid-19 belum sepenuhnya diatasi. Ibadah tersebut antara lain tadarus, sholat Tarawih, dan sholat Jumat. "Untuk sholat Idul Fitri akan diputuskan dalam sidang majelis Tarjih," ujarnya.

photo
Berapa Lama Alquran Diturunkan? - (Pusat Data Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement