Selasa 12 May 2020 20:58 WIB

Politisasi Bansos, Bawaslu Diminta Optimalkan Pengawasan

Ada modus kepala daerah memanfaatkan bansos untuk kepentingan politik jelang pilkada.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
Peneliti Senior Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) Ferry Kurnia Rizkiyansyah .
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Peneliti Senior Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) Ferry Kurnia Rizkiyansyah .

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Ferry Kurnia Rizkiyansyah meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) optimal melakukan pengawasan pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19. Hal ini mengingat ada modus kepala daerah yang memanfaatkan bantuan sosial (bansos) untuk kepentingan politik menjelang pilkada serentak.

"Pengawasan oleh Bawaslu harus optimal, karena survei (Litbang) Kompas kemarin, 59,4 persen belum optimal dan 31,2 persen tidak tahu," ujar Ferry dalam diskusi virtual, 'Politisasi Bantuan Covid-19', Selasa (12/5).

Ia menuturkan, hasil survei itu menjadi catatan dan autokritik bagi penyelenggara pemilu terkait optimalisasi dalam konteks pengawasan. Menurut dia, bisa jadi pengawasannya dilakukan optimal, tetapi dalam hal pemberian sanksi ini belum optimal, karena memang belum ada subjek hukum dan sebagainya.

Dengan demikian, Ferry mendorong adanya regulasi yang rigid dengan sanksi yang tegas. Salah satunya, larangan pejabat negara atau pemerintah dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Ketentuan itu menyebutkan, pejabat negara, aparatur sipil negara (ASN), TNI/Polri, kepala daerah, hingga kepala/desa, dilarang menggunakan keputusan, kebijakan, tindakan, program, kewenangan, maupun kegiatan yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon (paslon).

Ferry mengatakan, larangan itu perlu ditindaklanjuti dengan pengaturan teknis seperti Peraturan Bawaslu yang rigid dengan sanksi tegas. Sehingga peraturan ini menjadi kekuatan penyelenggara pemilu menindak pelanggaran pilkada bahkan mencegah tindakan tersebut.

Mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI ini juga masih menunggu Peraturan KPU (PKPU) tentang tahapan Pilkada 2020. Sebab, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada menyebutkan, pemungutan suara pemilihan serentak 2020 di 270 daerah digelar pada Desember 2020.

Waktu tersebut bergeser tiga bulan dari jadwal semula pada September 2020. Penundaan tahapan pilkada ini dilakukan akibat wabah virus corona yang menjangkiti hampir seluruh daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2020 dan ditetapkan sebagai bencana nasional nonalam.

Penundaan Pilkada 2020 ini juga berdampak pada PKPU tentang tahapan, program, dan jadwal Pilkada 2020 yang sudah diterbitkan. Sebab, sejumlah tahapan pilkada tidak dapat dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditentukan sejak Maret lalu.

Misalnya, penetapan paslon oleh KPU semula dijadwalkan pada 8 Juli 2020. Waktu penetapan paslon ini menjadi unsur yang harus terpenuhi apabila pejabat dinyatakan melanggar ketentuan Pasal 71 UU Pilkada tersebut.

Seperti halnya, Pasal 71 ayat 2 yang berbunyi, "Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri."

"Kita ingin tahu tahapan KPU dibuatnya kapan karena ini akan mulai proses penetapan pasangan calon dan di situ lah dinyatakan enam bulan tidak boleh adanya penggantian pejabat," kata Ferry.

Sebelumnya, Ketua Bawaslu RI Abhan mengungkap modus pemanfaatan pemberian bansos oleh kepala daerah terkait Covid-19 untuk kepentingan praktis Pilkada 2020. Setidaknya ada tiga tindakan pejawat kepala daerah yang berpotensi maju Pilkada dalam penyaluran bantuan itu.

"Sudah terjadi, memang modusnya ada beberapa hal, soal bansos ini terkait dengan penanganan Covid," ujar Abhan dalam diskusi virtual, Selasa (5/5).

Pertama, bansos dibungkus atau dilabeli gambar kepala daerah. Kedua, bansos dibungkus yang diembeli-embeli dengan jargon-jargon atau simbol-simbol politik. Ketiga, pemberian bansos tidak mengatasnamakan pemerintah, tetapi atas nama langsung pribadinya.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement