Selasa 12 May 2020 19:25 WIB

PKS Tetap Tegaskan Tolak Perppu Covid 19

PKS menilai Perppu tersebut berpotensi melanggar konstitusi.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Teguh Firmansyah
Sejumlah anggota DPR menghadiri Rapat Paripurna masa persidangan III 2019-2020 secara langsung,  di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (12/5/2020). Dalam rapat paripurna tersebut beragendakan penyampaian Pemerintah terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM dan PPKF) RAPBN TA 2021 dan pengambilan keputusan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 atau Perppu Corona menjadi UU
Foto: ANTARA/muhammad adimaja
Sejumlah anggota DPR menghadiri Rapat Paripurna masa persidangan III 2019-2020 secara langsung, di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (12/5/2020). Dalam rapat paripurna tersebut beragendakan penyampaian Pemerintah terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM dan PPKF) RAPBN TA 2021 dan pengambilan keputusan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 atau Perppu Corona menjadi UU

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR menjadi satu-satunya fraksi yang menolak Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19. Menurut PKS, Perppu tersebut berpotensi melanggar konstitusi.

Sebab, beberapa pasal yang cenderung bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini terkait dengan kekuasaan pemerintah dalam penetapan APBN yang mereduksi kewenangan DPR.

Baca Juga

"Pasal 12 Ayat 2 menyatakan bahwa Perubahan Postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden," ujar anggota Fraksi PKS DPR Ecky Awal Mucharam, Selasa (12/5).

Hal tersebut dinilainya menghilangkan kewenangan, serta peran DPR dan membuat APBN tidak diatur dalam undang-undang. Padahal, berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 Pasal 23 ayat 1 telah menyatakan bahwa kedudukan dan status APBN adalah undang-undang yang ditetapkan setiap tahun.

"RAPBN harus diajukan oleh presiden untuk dibahas dan disetujui oleh DPR, sebagaimana ditegaskan Pasal 23 ayat 2 dan ayat 3 UUD NRI Tahun 1945," ujar Ecky.

Selanjutnya, PKS juga menyoroti Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana.  Dengan catatan, jika mereka dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik. Hal ini dirasa kurang pas.

Selain itu, Fraksi PKS juga berpendapat, skema bail-out berpotensi melahirkan skandal penyimpangan kekuasaan keuangan negara. Hal tersebut tercontoh dalam trauma krisis ekonomi 1997-1998, membebani negara lebih dari Rp 650 triliun.

Menurutnya, segelintir kelompok konglomerat dinilai menikmati kebijakan yang tidak adil dari fasilitas BLBI. Serta, Obligasi Rekap dan tetap menjadi penguasa modal paska reformasi. "Fraksi PKS mendorong pemerintah agar mengganti Perppu 1/2020 dengan Perppu yang memperhatikan dan memasukkan poin-poin dalam pendapat mini Fraksi PKS tersebut agar tidak menimbulkan berbagai masalah yang merugikan keuangan negara dan rakyat," ujar Ecky.

Sementara itu, Ketua DPR Puan Maharani mengingatkan pemerintah agar dalam menjalankan kewenangan di dalam Perppu 1/2020 memegang prinsip-prinsip tata kelola yang baik, transparan, dan akuntabilitas.

"Hal ini perlu diperhatikan oleh pemerintah agar tidak menimbulkan masalah dan dampak negatif di kemudian hari, baik dari aspek ekonomi maupun hukum," ujar Puan dalam pidato penutupan rapat paripurna.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement