Selasa 12 May 2020 16:22 WIB

Ini Alasan Banggar Minta Bank Indonesia Cetak Uang

Hasil cetak uang dapat dijadikan altenatif pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah

Rep: Novita Intan/ Red: Agus Yulianto
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR periode 2019-2024 dari Fraksi PDI Perjuangan Said Abdullah
Foto: Antara/Muhammad Adimadja
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR periode 2019-2024 dari Fraksi PDI Perjuangan Said Abdullah

REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah kembali menyarankan Bank Indonesia mencetak uang hingga Rp 600 triliun. Menurut dia, ada beberapa alasan yang membuat kebijakan mencetak uang bisa dipilih untuk membantu pembiayaan penanganan pandemi Covid-19.

Said menjelaskan, pemerintah harus memenuhi kebutuhan pembiayaan dengan mengandalkan dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 654,5 triliun. Langkah ini harus ditempuh pemerintah untuk menambal defisit APBN yang meningkat menjadi 5,07 persen. 

"Akibat sedikitnya ruang fiskal pemerintah inilah utang jadi pilihan,” kata Said dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Selasa (12/5).

Menurut dia, penerbitan SBN akan menjadi tantangan bagi pemerintah di tengan situasi ekonomi domestik dan global yang melambat. Apalagi, kata dia, ada banyak investor nonresiden yang melepas SBN senilai Rp 135, 1 triliun hingga 3 April 2020.

“Bila pandemi Covid-19 menantang kita mengajak ‘bermain panjang’, maka alokasi anggaran penanganan Covid-19 berikut jaringan pengaman sosial dan program pemulihan ekonomi sebesar Rp 405,1 triliun berpotensi tidak mencukupi,” katanya. 

Alasan lain yang mendasari dirinya merekomendasikan BI mencetak uang adalah kemampuan Lembaga Penjamin Simpanan untuk melaksanakan tugasnya dalam melakukan penjaminan, dan penanganan bank sistemik dan nonsistemik, tidak memiliki anggaran yang memadai. Karenanya, melalui Perppu No 1 tahun 2020, pemerintah memberi antisipasi dengan dukungan pinjaman dari pemerintah dan Bank Indonesia. Artinya, kata dia, kebutuhan pembiayaan untuk mendukung LPS makin besar.

Bank Indonesia pun ia sebut makin berat tanggung jawabnya. Ia mengatakan, sesuai Perppu No 1 tahun 2020, Bank Indonesia berkewajiban menjadi //lender last resort// untuk pembelian SBN, pinjaman dan likuiditas jangka pendek kepada perbankan dan membeli repo surat berharga yang dimiliki oleh LPS. Akibatnya, ujar dia, Bank Indonesia harus mampu memenuhi kecukupan modal, namun tidak serta merta bisa menggunakan cadangan devisa semuanya untuk memenuhi hal ini.

“Dengan mempertimbangkan kondisi itu, Badan Anggaran DPR merekomendasikan Bank Indonesia mencetak uang pada kisaran Rp 400 – Rp 600 triliun untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan pemerintah dan LPS serta likuiditas perbankan nasional,” katanya. 

Menurut dia, hasil cetak uang dapat dijadikan altenatif pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah dari global bond. Kata dia, hasil cetak uang dapat ditawarkan ke perbankan, pemerintah dan LPS dengan yield yang lebih rendah daripada global bond.

"Saya merekomendasikan yield pada kisaran 2-2,5 persen. Melalui kebijakan ini, pemerintah akan memiliki beban bunga yang lebih rendah," ucapnya.

Said menyadari, kebijakan mencetak uang tentu berakibat pada peningkatan inflasi. Namun, ia menyebut, hal itu dapat dimitigasi dengan berbagai instrumen pengendalian yang wewenangnya dimiliki Bank Indonesia misalnya melalui BI Rate dan kewenangan penetapan Giro Wajib Minimum (GWM).

Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, mencetak uang secara tiba-tiba bukanlah praktik kebijakan moneter yang lazim dan tidak akan dilakukan oleh Bank Indonesia. Selama ini, Bank Indonesia menjaga peredaran uang dengan operasi moneter. Hal ini bergantung pada jenis uangnya, yakni jenis uang kartal dan giral. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement