Selasa 12 May 2020 10:02 WIB

Mengenang Mei 1998: Krisis Moneter Pemicu Orde Baru Lengser

Hancurnya rupiah serta demonstrasi mahasiswa membuat Presiden Soeharto mundur.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Karta Raharja Ucu
Presiden Soeharto menyatakan mundur sebagai Kepala Negara menyusul demonstrasi besar-besaran pada Mei 1998.
Presiden Soeharto menyatakan mundur sebagai Kepala Negara menyusul demonstrasi besar-besaran pada Mei 1998.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarah perkembangan Indonesia tak lepas dari kejadian pergolakan Mei 1998. Peristiwa tersebut menjadi titik runtuhnya kepemimpinan era Orde Baru yang dikomandoi Presiden Soeharto dan selanjutnya berdiri era reformasi yang mengangkat Baharuddin Jusuf Habibie sebagai kepala negara.

Peristiwa Mei 1998 tak lepas dari runtuhnya perekonomian Asia hingga berimbas ke Indonesia. Saat itu krisis keuangan menerpa hampir seluruh Asia Timur pada Juli 1997.

Hal tersebut lantas menimbulkan kepanikan terhadap ekonomi dunia yang dinilai bakal runtuh tertular krisis serupa. Masalah ekonomi itu berawal dari jatuhnya nilai mata uang Thailand, Baht akibat hutang luar negeri yang menggunung.

Thailand bahkan nyaris dikatakan bangkrut akibat terlilit utang ditambah melemahnya nilai tukar mata uang sejumlah negara terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Krisis tersebut lantas menyebar ke sejumlah negara Asia, termasuk Indonesia yang mengalami pelemahan nilai mata uang serupa.

Pemberitaan Republika pada Kamis 17 September 2015 yang mengutip Bloomberg menuliskan pelemahan nilai mata uang itu memaksa Indonesia, Korea Selatan, Thailand, Hong Kong, Laos, Malaysia dan Filipina mengikuti hal tersebut. nilai rupiah terhadap dolar AS terus melemah mulai dari Rp 4.000 pada akhir 1997 ke Rp 6.000 pada awal 1998 hingga Rp 8.000 pada April di tahun yang sama.

Dalam buku The Asian Financial Crisis: Origins, Implications and Solutions yang dituliskan GG. Kaufman, TH. Krueger dan WC Hunter pada 1999 mengatakan saat itu terjadi penurunan besar-besaran dalam pasar saham Hong Kong yang menyebabkan kerugian di seluruh pasar saham dunia. Rasio utang luar negeri terhadap PDB naik dari 100 persen menjadi 167 persen di empat negara besar ASEAN pada 1993 hingga 1996. Angka itu lantas melonjak hingga 180 persen pada masa-masa terparah dalam krisis, bahkan rasio di Korea Selatan naik dari 13 persen menjadi 21 persen hingga memuncak di angka 40 persen.

Kondisi itu membuat Indonesia terpaksa mengandalkan bantuan finansial dari Dana Moneter Internasional (IMF). Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada 31 Oktober 1997 meminjam dana sebesar 23,53 miliar dolar AS. Program reformasi ekonomi yang disarankan IMF mencakup empat bidang yakni penyehatan sektor keuangan, kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan penyesuaian struktural. Untuk menunjang program ini, IMF akan mengalokasikan stand-by credit sekitar 11,3 miliar dolar AS selama tiga hingga lima tahun masa program.

Sebesar 3,04 milyar dolar AS dapat dicairkan segera. Jumlah yang sama disediakan setelah 15 Maret 1998 bila program penyehatannya telah dijalankan sesuai persetujuan dan sisanya akan dicairkan secara bertahap sesuai kemajuan dalam pelaksanaan program.

Saran-saran IMF diharapkan akan mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan cepat dan kurs nilai tukar rupiah bisa menjadi stabil. Pokok-pokok dari program IMF juga meliputi kebijakan makro-ekonomi yang mencakup kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan nilai tukar.

IMF juga menyarankan agar Indonesia melakukan restrukturisasi sektor keuangan melalui program restrukturisasi bank serta memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan. IMF juga menyarankan untuk dilakukannya reformasi struktural berupa perdagangan luar negeri dan investasi, deregulasi dan swastanisasi, social safety net dan lingkungan hidup.

Meski datang dengan paket bantuan, tetapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah hingga kuatnya permintaan dolar. Krisis ekonomi menguat pada November ketika efek dari devaluasi pada neraca perusahaan.

Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan nilai mata uang nasional. Akibatnya, banyak rakyat yang bereaksi dengan menukarkan rupiah dengan dolar AS sehingga nilai mata uang rupiah semakin merosot.

Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan secara nasional. Kerusuhan yang terjadi saat itu menyebabkan banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amuk massa, terutama milik warga Indonesia keturunan China. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Medan dan Surakarta.

Kondisi itu lantas memaksa masyarakat terutama mahasiswa turun kejalan. Mereka menuntut pelengseran Presiden Soeharto.

Salah satu peristiwa yang terjadi selama aksi demonstrasi itu adalah ditembaknya empat mahasiswa Universitas Trisakti dalam demonstrasi pada 12 Mei 1998. Akhirnya, Presiden Soeharto dipaksa untuk mundur pada tanggal 21 Mei 1998 dan BJ Habibie diangkat menjadi presiden.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement