Senin 11 May 2020 06:54 WIB

Tim Advokasi Temukan 9 Kejanggalan di Sidang Novel

Penyerangan dinilai hanya kasus biasa dan tak ada kaitan dengan kerja Novel di KPK.

Rep: Febryan A/ Red: Esthi Maharani
Suasana sidang lanjutan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette disiarkan secara
Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Suasana sidang lanjutan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette disiarkan secara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim advokasi Novel Baswedan menemukan sembilan kejanggalan dalam persidangan kasus penyerangan terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan. Mereka pun khawatir persidangan itu tak bisa menggali fakta-fakta kasus, termasuk mengungkap aktor intelektualnya.

Sidang kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan telah digelar empat kali di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Terdakwanya adalah Rony Bugis dan Rahmat Kadir. Keduanya anggota Polri aktif. Berikut sembilan kejanggalan persidangan tersebut sebagaimana disampaikan tim advokasi Novel Baswedan dalam siaran persnya, Ahad (10/5).

Pertama, dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) menutupi pengungkapan aktor intelektual. Dalam dakwaan JPU, penyerangan itu dinilai hanya kasus biasa dan tidak ada kaitannya dengan kerja-kerja Novel sebagai penyidik KPK. Hal ini bertentangan dengan temuan tim pencari fakta bentukan Polri yang menyatakan bahwa penyerangan berkaitan dengan kasus besar yang ditangani Novel.

"Patut diduga jaksa sebagai pengendali penyidikan satu skenario dengan kepolisian mengusut kasus hanya sampai pelaku lapangan," kata anggota tim advokasi Novel, Kurnia Ramadhana.

Kedua, JPU terlihat tidak menjadi representasi negara yang mewakili kepentingan korban, tetapi malah membela kepentingan terdakwa. Selain mendakwa pelaku dengan pasal penganiayaan biasa, menurut Kurnia, jaksa juga tak berupaya menggali keterlibatan aktor lain meski telah disebutkan oleh Novel adanya kemungkinan keterlibatan aktor lain.

Ketiga, majelis hakim terlihat pasif dan tidak objektif mencari kebenaran materiel. Hakim dinilai tidak menggali rangkaian peristiwa secara utuh, khususnya fakta-fakta sebelum penyerangan, guna membuktikan bahwa serangan dilakukan secara sistematis, terorganisasi, dan tidak hanya melibatkan dua pelaku lapangan.

Keempat, terdakwa didampingi kuasa hukum Polri. "Pembelaan oleh institusi kepolisian tentu akan menghambat proses hukum untuk membongkar kasus ini yang diketahui diduga melibatkan anggotanya dan juga petinggi kepolisian," kata Kurnia.

Kelima, adanya dugaan manipulasi barang bukti di persidangan, mulai dari penyidik yang tak menghiraukan rekaman penting dari kamera CCTV hingga tak utuhnya barang bukti baju yang digunakan Novel ketika diserang. "Diduga bagian yang hilang terdapat bekas dampak air keras," katanya.

Keenam, jaksa mengaburkan fakta air keras yang digunakan untuk penyiraman. Tim advokasi menilai jaksa mengarahkan dakwaan bahwa air yang mengakibatkan kebutaan Novel Baswedan bukanlah air keras. Padahal, penyiraman itu merusak mata Novel.

Ketujuh, kasus tak relevan dibahas di persidangan, yakni kasus pencurian burung walet di Bengkulu yang menyeret nama Novel. "Jadi, isu tersebut menjadi tidak relevan dan terlihat hanya ingin mengalihkan perhatian untuk mengaburkan fakta penyerangan terhadap Novel," katanya.

Kedelapan, menurut Kurnia, dihilangkannya alat bukti saksi dalam berkas persidangan. "Baru diketahui dari jaksa penuntut umum bahwa terdapat saksi kunci penyerangan Novel Baswedan yang telah memberikan keterangan kepada kepolisian, Komnas HAM, TGPF bentukan Polri, berkas BAP-nya diduga dihilangkan dan tidak diikutkan dalam berkas pemeriksaan persidangan oleh jaksa," kata Kurnia.

Kesembilan, ruang sidang dipenuhi aparat kepolisian saat pemeriksaan saksi. Kurnia mengatakan, bangku pengunjung dipenuhi aparat kepolisian sehingga publik dan media tak bisa menggunakan fasilitas untuk memantau persidangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement