Sabtu 09 May 2020 19:12 WIB
Sufi

Manakala: Suluk Perindu Sufi Partikelir

Suluk Perindu Sufi Partikelir

 penari sufi
Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
penari sufi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Najib Azca, Dosen Sosiologi UGM

Ini ‘kidung spiritual’ yang indah namun sayang nyaris tidak dikenal—kecuali, mungkin, di sejumlah lingkaran kecil pergaulan seniman-budayawan di Pekalongan. Sebagai bentuk apresiasi dan kekaguman kepada dua sosok hebat di belakang penciptaannya, aku ingin menyanyikan dan menuliskan sedikit kisah di belakang lagu ini dan penciptanya.

Lagu ini digubah oleh dua ‘sufi partikelir’ asal Pekalongan bernama Enov Bachruddin dan Emirul Haq AKA. Kusebut ‘sufi partikelir’ karena mereka bukan anggota jamaah tariqat tertentu dan penampilan mereka dalam keseharian seperti warga biasa di kota batik Pekalongan; memakai celana jeans atau kain dan berkaos atau berkemeja.

Nyaris tanpa atribut keagamaan yang terlihat menonjol. Namun demikian mereka akrab dengan berbagai khazanah, bacaan, praktek dan narasi di dunia tasawuf; dari Al Ghazali hingga Rabi’ah al Adawiyah, dari Rumi hingga Attar, dari Al Hallaj hingga Khidhir A.S.

Mereka berdua juga berteman baik dengan Maulana Habib Lutfi, tokoh tariqat terkemuka asal Pekalongan. Dulu mereka kadang bermain musik bersama menyenandungkan lagu-lagu syahdu dengan alat musik sederhana di rumah sang Habib.

Sosok pertama, Enov Bachruddin, kini berusia sekitar 60-an tahun. Meski hanya tamatan SMP (atau bahkan DO?), tapi ia gemar melahap aneka bacaan dan belakangan ia menjadi pekerja kreatif yang cukup produktif. Ia memang seorang otodidak yang cerdas atau bahkan jenius. Pernah menjadi pebisnis, ia menulis ratusan puisi dan puluhan esei bahkan novel.

Sebuah novel karangannya berjudul “Revolusi Cewek: Terunik di Dunia” pernah dimuat pada awal 1980an secara berseri dalam GELORA—sebuah media internal anggota Pelajar Islam Indonesia (PII) di Kota Pekalongan, yang melahirkan sejumlah penyair dan penulis ternama, di antaranya EH. Kartanegara dan Ahmaddun Yosi Herifanda. Sayangnya novel yang tergolong ‘revolusioner’ untuk masanya itu tidak sempat dicetak untuk khalayak luas.

Meski tidak cakap memainkan instrumen musik, Bachruddin sudah menciptakan puluhan dan bahkan ratusan lagu. Dan hingga kini ia masih hafal sebagian besar lirik dan nada lagu-lagu itu. Ia menciptakan lagu dari puisi-puisinya dengan cara yang unik: ia menyenandungkannya sambil rengeng-rengeng dengan suaranya yang agak bindeng.

Nah, rengeng-rengeng puisi itu lalu diolah menjadi lagu yang ‘lazim’ di tangan Emir, pemain gitar berbakat dan penyanyi bersuara merdu. Berusia lebih muda dibandingkan dengan Bachruddin, Emir bersekolah hingga lulus SMA dan bahkan sempat mengecap bangku kuliah di Universitas Pekalongan.

Emir juga pernah merintis karir sebagai seniman di Jakarta dan tinggal bersama di sebuah ‘markas seni’ di Jalan Sawo Rawamangun, Jakarta Timur, antara lain bersama dengan Opick.

Namun peruntungan mereka rupanya berbeda; Opick kini kondang sebagai penyanyi dan pencipta lagu religi. Selain itu Emir juga sempat menjadi penulis di Tabloid Mumu (Muda Musika) di Jakarta di bawah Pemimpin Redaksi EH. Kartanegara.

Bersama Taufik Emich, Emir juga pernah menjadi salah seorang finalis dalam lomba cipta lagu rock nasional 1987 melalui lagu berjudul “Potret” yang dinyanyikan oleh Renny Jayusman dan diaransemen oleh Ian Antono (bisa dicari di YouTube lagunya). Saya sempat mendengar versi awal lagu ini: sebuah lagu rock yang dinyanyikan hanya dengan iringan gitar akustik tapi tetap terasa getar rock-nya dalam balutan suara Emir.

Saya juga masih ingat: lantaran terkesan oleh kualitas dan karakter vocal Emir, panitia lomba lagu itu (kalau tidak salah bernama Theodore KS, ex wartawan Kompas) mengirimkan surat menyarankan agar dia juga ikut lomba vocal—meski akhirnya tidak berhasil menjadi pemenang.

Nah, kolaborasi dua seniman-cum-‘sufi partikelir’ itulah yang menghadirkan lagu MANAKALA.

Meskipun pencipta utamanya memang Bachruddin, namun sentuhan artistik Emir tampaknya cukup kental. Keduanya kini tinggal di Pekalongan, menjadi pekerja kreatif serabutan; kadang bikin batik sambil menulis puisi atau esei atau mencipta lagu atau lainnya.

Aku pertama mendengar lagu bercorak balada itu pada penghujung 1970an atau awal tahun 1980an dari kaset rekaman bersahaja dengan hanya diringi petikan gitar akustik Emir. Permenungan sufistik terasa pekat dalam bait-bait lirik lagu itu: 


. 
Manakala terbit rasa rinduku kepadaMU


Aku datang ke rumahMU


Aku ketuk pintu-pintuMU


Aku panggili nama-namaMU

Dengan bahasa dadaku


Dengan bahasa jiwaku


Dengan bahasa kerinduanku

Di keheningan rumahMU


Aku duduk terdiam merenungkan firmanMU


Akan kujadikan bekal dalam kehidupan

Kugoreskan di dada


Kusimpan di dalam jiwa


Sampai akhir hidupku

Tak ada angan yang dapat melukiskan


Pertemuanku dengan diriMU


Sebab ternyata Engkau lebih besar dari seluruh ruang


Lantas di ruang mana kita bisa bertemu?

Oh Tuhanku, berilah aku jawaban dari pertanyaan ini


Yang kacaukan fikiranku


Yang kacaukan isi dadaku


Yang selalu rindu kepadaMU

                          *****

Saat kukirimkan rekaman suaraku menyanyikan lagu ini sekitar sepuluh hari lalu lewat WA, Bachruddin membenarkan lirik maupun nadanya. Cukup ajaib juga: lagu yang awal kudengar hampir 40 tahun lalu itu masih bisa kuhafal persis hingga kini.

“Tapi kamu masih tampak kagok, belum kewes, dalam menyanyikan lagu itu. Dulu Emir juga begitu kok. Tapi setelah semakin sering menyanyikan lagu itu, akhirnya ketemu langgam yang pas,” begitu ulasnya lugas.

Apa yang dimimpikannya dengan lagu itu? 
“Saya membayangkan lagu itu akan dipentaskan nanti di akhirat. Dinyanyikan dalam sebuah orkestra oleh para malaikat yang dipimpin oleh malaikat Jibril. Pasti asyik dan syahdu, Allah pasti senang mendengarkannya” ujarnya sambil tertawa kecil.

Baginya, Tuhan memang terasa dekat dan karib. Asyik, ramah, suka bercanda. Namun juga Agung, tak tergapai…

Lojajar Indah, 9 Mei 2020/16 Ramadhan 1441 H

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement