Jumat 08 May 2020 17:33 WIB

Perumahan, Rumah, dan Corona

Perumahan bukan sekadar produk komoditas bisnis pengembangan properti semata.

Ahmad Saifudin Mutaqi
Foto: Dokumen.
Ahmad Saifudin Mutaqi

REPUBLIKA.CO.ID, Ahmad Saifudin Mutaqi,  Pusat Studi Real Estate Berkelanjutan, Jurusan Arsitektur, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta jauh hari  sebelum pandemi virus corona (2020), Prof Sunyoto Usman, sosiolog UGM, mengatakan dengan merebaknya komunitas masyarakat pagar, seperti perumahan-perumahan elit dengan tembok tinggi dan terkesan tertutup, akan menciptakan kecemburuan sosial dengan masyarakat di luar perumahan.  Kecemburuan sosial akan memicu terjadinya memunculkan konflik sosial, kesenjangan, hingga kriminalitas.

Merebaknya gated community ini antara lain disebabkan kebijakan pemerintah yang memberikan izin maupun rekomendasi kepada sektor swasta dalam penguasaan tata ruang. Dengan kondisi tersebut maka problem sosial kota-kota di Indonesia akan semakin berat.

Perizinan pengembangan perumahan telah diatur oleh Undang-Undang Perumahan (1/2011) dan peraturan turunannya yang bertumpu pada masyarakat dengan memberikan hak dan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut berperan. Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab untuk menjadi fasilitator, memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat, serta melakukan penelitian, perencanaan, dan pengembangan perumahan.

Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Sementara permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.

Ada sejumlah persoalan yang muncul pada masa pandemi virus corona, khususnya di lingkungan perumahan atau komunitas berpagar. Antara lain, sampah yang menumpuk dikarenakan sampah tak terurus dengan baik, imbauan social distancing menguatkan warga perumahan semakin individualis, gerakan work from home ditafsirkan warga untuk sama sekali tidak keluar rumah.

Di lain pihak, penjualan properti yang melesu membuat pengembang berusaha bertahan dengan menjaga arus kas perusahaan tetap stabil. Pertanyaan yang timbul adalah akankah pengembangan perumahan berbasis real estate runtuh (?), bagaimana cara mengatasinya (?).

Perumahan bukan sekadar produk komoditas bisnis pengembangan properti semata, namun di dalam perumahan terdapat komunitas yang hidup yang melahirkan generasi baru dalam tatanan kehidupan masyarakat sebagai makhluk sosial. Setiap pengembangan perumahan yang bertumpu pada real estate sebagai pendekatan mempunyai aturan mapan yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan.

Dalam menetapkan suatu lokasi perumahan mempertimbangkan kesesuaian tata guna lahan, di mana peraturan tata ruang seperti Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) sebagai produk hukum pemerintah daerah dapat digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan liar lompat katak (leap frog). Kemudian sederet peraturan lain mengikutinya sesuai dengan konteks lingkungan di mana lokasi berada, seperti nilai produktivitas lahan, aksesabilitas pencapaian dan daya dukung lingkungan (jaringan air minum, listrik dan komunikasi) serta fasilitas publik dan infrastruktur (jaringan jalan, pendidikan dan kesehatan).

Keberadaan lokasi dan site dipengaruhi oleh status kepemilikan tanah, yang dalam hukum pertanahan di Indonesia mensyahkan kepemilikan didasarkan atas hak milik individu. Fakta hukum ini sering menjadi hambatan bagi proses pengadaan lahan, pasalnya hak kepemilikan tanah secara individual dalam persil yang relatif kecil menimbulkan proses akuisisi lahan membutuhkan waktu yang panjang.

Belum lagi kepemilikan lahan setelah turun waris, persoalan muncul karena perselisihan keluarga yang bersifat pribadi masuk menjadi faktor penentu dalam pengembangan perumahan secara formal. Kenyataan ini membutuhkan terobosan hukum dalam mewujudkan reformasi agraria (land reform) yang berorientasi penguasaan tanah ada pada otoritas negara dengan spirit keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pemaknaan rumah dalam arti sempit akan menguatkan sikap individualis, dan sebaliknya ketika rumah dimaknai sebagai ‘pekarangan’ (Bahasa: Jawa) atau halaman, Prof Laksono, antropolog UGM, dalam sebuah diskusi menjelaskan bahwa pekarangan (Jawa) adalah tempat mencipta atau ngarang. Di pekarangan itulah orang Jawa menciptakan atau mengarang hidupnya.

Mereka bukan hanya mendirikan rumah yang tidak pernah selesai, tetapi mengubah tiap jengkal tanah secara strategis ratusan spesies tanaman pangkal hidupnya dirangkai menjadi sumber pangan yang tidak pernah habis. Cahaya matahari, pangkal photosintesa, dibagi. Biarkan kelapa yang menjulang menyambutnya di langit. Sukun dan tanaman pangan lain di tengahnya, kacang koro, mbili, labu, dan tanaman dipelihara merambat sesukanya mencari cahaya hidupnya.

Jagung, kacang, keladi, sayur mayur dan empon-empon yang sanggup hidup dalam remang-remang cahaya natahari di bawahnya. Tiap hari ada panen. Mungkinkah perumahan gated community akan mengubah diri dari rumah yang berpagar tinggi menjadi pekarangan yang produktif, yang melahirkan generasi penerus peradaban pasca pandemi virus corona?

Semua bergantung pada seluruh pemangku kepentingan yang terlibat, pemerintah, pengembang, arsitek, dan masyarakat yang melakukan perubahan dalam mewujudkan perumahan ramah lingkungan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement