Jumat 08 May 2020 15:56 WIB

Perbedaan Pendapat Para Sahabat Nabi Saat Menghadapi Wabah

Wabah penyakit pernah terjadi di zaman para sahabat Nabi masih hidup.

Rep: WIlda Fizriyani/ Red: Muhammad Hafil
Perbedaan Pendapat Para Sahabat Nabi Saat Menghadapi Wabah . Foto: Sahabat Nabi yang meninggal karena wabah penyakit (Ilustrasi).
Foto: Dok Republika.co.id
Perbedaan Pendapat Para Sahabat Nabi Saat Menghadapi Wabah . Foto: Sahabat Nabi yang meninggal karena wabah penyakit (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Saat pandemi Covid-19 mulai memasuki Indonesia, banyak pesan dan pandangan yang beredar di lini massa. Salah satunya tentang bagaimana sahabat nabi, Umar bin Khattab menghadapi wabah yang sempat melanda di zamannya.

Peneliti senior di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat ( PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fuad Jabali mengakui terdapat satu wabah yang terjadi di masa Umar bin Khattab. Wabah tersebut terjadi di satu wilayah Syria di mana Umar memeroleh undangan untuk mengunjungi daerah tersebut. Sebelum memasuki kota tersebut, Umar mendapatkan kabar wabah tersebut sehingga ia pun ragu memenuhi undangan.

Baca Juga

Umar bin Khattab mulai menanyakan pendapat kepada para sahabat terutama dari kaum Muhadjirin dan Anshor. Namun saran yang diberikan para sahabat tidak seluruhnya satu suara. Beberapa di antaranya meminta Umar tetap melanjutkan perjalanan sedangkan lainnya tidak.

"Keterbelahan ini (pendapat) cukup menyulitkan Umar untuk ambil keputusan. Artinya, sama-sama rata. Kira-kira sama dengan 50 persen setuju sedangkan 50 persen tidak," jelas Dosen Fakultas Adab dan Ilmu Humaniora UIN Jakarta tersebut dalam kegiatan diskusi dalam jaringan bersama PPIM, belum lama ini.

Mendengarkan berbagai pendapat dari berbagai kalangan terus dilakukan Umar. Tak terkecuali pendapat dari para pemuka Quraisy yang telah hijrah setelah masa pembebasan Mekah. Kelompok ini dinilai awam dalam memahami Islam dibandingkan para sahabat nabi lainnya yang telah mengenal ajaran Islam cukup lama.

Berbeda dengan kaum Muhadjirin dan Anshor, pemuka kaum Quraisy justru satu suara. Mereka secara kompak meminta Umar bin Khattab tidak mengunjungi kota yang telah terkena wabah. Tidak ada perdebatan maupun dua suara dalam memberikan pandangannya sehingga Umar menyepakatinya.

Kesepakatan pendapat Umar bin Khattab dengan suku Quraisy dikritisi banyak pihak. Umar bin Khattab dinilai telah lari dari takdir yang telah ditetapkan. Namun anggapan tersebut langsung direspon oleh Umar bin Khattab.

"Kata Umar bin Khattab, 'aku tidak lari dari takdir, aku hanya berlari dari satu takdir ke takdir lain'," tegas Fuad.

Menurut Fuad, wajar apabila banyak pihak yang mengkritisi keputusan Umar bin Khattab. Pasalnya, keputusan diambil dari pendapat orang-orang yang pemahaman agamanya kurang. Otoritas keagamaan para pemuka Quraisy masih diragukan saat itu.

Di tengah masa perdebatan, muncul Abdurrachman bin Auf dengan haditsnya. Sahabat nabi ini mengatakan bahwa umat tidak perlu memasuki negara yang terjangkit wabah. Umat juga diminta tidak keluar rumah apabila wabah terjadi di daerah sendiri.

"Ini sama dengan sebutan lockdown saat ini," katanya.

Pendapat yang Terbelah

Ada hal menarik bagaimana umat Muslim kala itu memandang wabah. Kaum Muhadjirin dan Anshor rata-rata memandang wabah sebagai rahmat dari Allah SWT. Menurut mereka, memang akan banyak orang saleh yang wafat karena wabah.

Seorang panglima mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda tentang tha'un. Umat Islam akan meninggal entah karena pedang atau tha'un. Tha'un sudah menjadi imajinasi Nabi Muhammad SAW bahwa umat akan mengalaminya. "Intinya seperti, kalau umatnya sudah seperti itu dan kita alami, ya jangan menghindar dong," katanya.

Berbeda dengan lainnya, Amr bin Ash memandang wabah sebagai petaka. Secara rinci, ia mengibaratkannya laksana api dan banjir. Jika tidak dihindari, umat akan terbakar maupun terkena banjir.

Lalu apa saran Amr bin Ash? Menurut Fuad, sahabat nabi ini meminta umat untuk lari ke bukit. Wabah penyakit harus dihindari dengan menjaga jarak dan sebagainya. Memang tak seluruhnya, tapi saran Amr bin Ash telah diikuti oleh beberapa orang lainnya.

Dari fakta yang terjadi di masa Umar bin Khattab, Fuad mengakui telah menemukan banyak pelajaran. Pertama, tentang bagaimana ragam pendapat yang muncul dari para sahabat nabi mengenai suatu persoalan. Meski beragam, tak ada salahnya umat mengikuti salah satu model pendapat yang sesuai dengan masalah masing-masing.

"Apapun yang mereka lakukan, mereka (para sahabat) adalah orang-orang yang pernah melihat nabi, menyaksikan nabi hidup dan bagaimana perilaku nabi dibandingkan kita yang enggak pernah hidup bersama dengan nabi," ucap Fuad.

Selanjutnya, pelajaran mengenai startegi komunikasi yang disampaikan para sahabat nabi. Mereka tidak menggunakan bahasa agama dalam menjelaskan bahaya wabah. Para sahabat lebih memilih bahasa keseharian agar pesan dapat mudah diterima.

Fuad mencontohkan bagaimana sahabat mengasosiasikan takdir dengan menggembala unta. Umat diminta memilih menggembala di tempat subur atau kering. Tanpa harus dijawab, sahabat tahu bahwa umat pasti akan memilih lahan subur untuk menggembala unta.

"Nah, kalau seperti ini takdir atau bukan? Ini masih takdir juga. Di sini sahabat mencoba mengasosiasikan kehidupan keseharian orang Arab dengan unta karena resource yang mahal," katanya.

Menurut Fuad, penyampaian pesan dengan bahasa agama agak sulit dicerna. Bahasa agama dapat mudah dipahami apabila wabah terjadi di daerah dengan tradisi yang sama keyakinannya. Akan tetapi, kasus Covid-19 saat ini menyerang berbagai umat beragama di dunia.

 

Bahasa non-agama lebih efektif dalam menyampaikan pesan tentang wabah. Dalam hal ini seperti melibatkan sisi psikologis, ekonomi, budaya, politik dan sebagainya dalam menjelaskan dampak Covid-19. Semakin banyak yang hadir berbicara, maka sudut pandang mengenai wabah semisal Covid-19 pun lebih beragam.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement