Jumat 08 May 2020 15:35 WIB

Pemerintah Batal Terbitkan Pandemic Bonds

Semula pandemic bonds ini diterbitkan untuk menambal defisit APBN.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfirman .
Foto: Dok Kemenkeu
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfirman .

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah batal menerbitkan surat utang Pandemic Bonds untuk memenuhi pembiayaan defisit. Semula, instrumen Surat Berharga Negara (SBN) ini ditujukan khusus untuk menambal defisit yang melebar tahun ini sebagai dampak kebijakan dalam penanganan dampak virus corona (Covid-19).

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, pembiayaan anggaran untuk menutupi defisit tahun ini (above the line) akan terpenuhi melalui penerbitan SBN reguler. "Sudah disepakati, above the line, kita tidak terbitkan SBN khusus," ujarnya dalam diskusi teleconference Dialogue Kita, Jumat (8/5).

Baca Juga

SBN reguler yang dimaksud Luky adalah SBN dengan penerbitan tiap dua pekan dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) maupun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Sampai dengan akhir April, hasil penerbitan SBN neto sudah mencapai Rp 376,5 triliun atau bertambah Rp 130-an triliun lebih dibandingkan akhir Maret.

Jumlah tersebut telah termasuk penjualan tiga seri SUN dalam denominasi dolar AS senilai 4,3 miliar dolar AS atau Rp 69 triliun. Sampai akhir tahun, pemerintah masih menargetkan penerbitan Samurai Bonds dan Global Sukuk.

Luky menambahkan, untuk pembiayaan defisit APBN, pemerintah memperluas kewenangan Bank Indonesia (BI) untuk membeli SBN di pasar perdana. Tapi, langkah ini sebagai last resort atau cara terakhir dalam lelang SBN. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan.

BI juga akan dilibatkan untuk pembiayaan pemulihan ekonomi nasional (PEN) melalui skema below the line. Tapi, Luky masih belum dapat menjelaskan ukuran dan skemanya secara detail, termasuk terkait besaran imbal hasil.

Merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur Dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran (APBN) 2020, pemerintah menetapkan besaran pembiayaan untuk PEN sebesar Rp 150 triliun.

Luky mengatakan, besaran secara pasti masih dipertimbangkan. "Apakah lebih besar atau kecil, ini sedang dipikirkan, work out, nanti kami sampaikan," tuturnya.

Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan DJPPR Kemenkeu riko Amir menyebutkan, total kebutuhan pembiayaan pemerintah setahun ini adalah Rp 1.439,8 triliun. Terdiri dari Rp 1.006,4 triliun dari pembiayaan utang neto dan pembiayaan defisit Rp 852,9 triliun. Selain itu ada investasi Rp 153,5 triliun dan sisanya, Rp 433,4 trilun untuk pembiayaan utang bruto.

Dari total kebutuhan Rp 1.439,8 triliun, sebanyak Rp 856,8 triliun di antaranya dipenuhi melalui penerbitan SBN. "Pada kuartal kedua hingga keempat, kami targetkan rata-rata lelang antara Rp 35 triliun hingga Rp 45 triliun," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement