Jumat 08 May 2020 00:32 WIB

AS Perkuat Persenjataan Untuk Kalahkan Kekuatan Militer Cina

Tentara Pembebasan Rakyat China telah membangun kekuatan rudal yang sangat besar.

Rep: Lintar Satria Zulfikar/ Red: Nidia Zuraya
Bendera Cina-Amerika
Foto: washingtonote
Bendera Cina-Amerika

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Ketegangan antar dua kekuatan terbesar di dunia akan mencapai titik baliknya. Amerika Serikat (AS) dikabarkan akan mengeluarkan senjata dan strategi baru untuk menutupi kesenjangan kekuatan militer dengan China.

Selama beberapa dekade terakhir ketika China memperkuat persenjataan mereka AS lebih banyak bertahan. Kini setelah meniadakan perjanjian kontrol persenjataan yang dibentuk masa Perang Dingin, pemerintahan Donald Trump berencana mengerahkan rudal jelajah jarak jauh di wilayah Asia-Pasifik.   

Baca Juga

Berdasarkan permintaan anggaran untuk tahun 2021 yang diajukan ke Gedung Putih dan kesaksian komandan militer di Kongres pada bulan Maret lalu. Pentagon ingin memperkuat Marinir mereka dengan rudal jelajah Tomahawk yang kini dibawa oleh kapal-kapal tempur AS.

Selain itu untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade terakhir Pentagon ingin mempercepat pengiriman rudal jarak jauh anti kapal. Beijing sudah menanggapi langkah AS ini.

"(Meminta Washington) berhati-hati dalam berkata-kata dan perbuatan, berhenti memindahkan bidak catur di kawasan dan menonjolkan otot militer di sekitar China," kata pernyataan China yang diterima kantor berita Reuters, Kamis (7/5). 

Langkah Negeri Paman Sam ini bertujuan untuk membalas keunggulan Negeri Tirai Bambu di senjata rudal darat dan rudal balistik. Pentagon juga ingin mengalahkan China pada hal yang para pakar sebut 'perang jarak jauh'. Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China telah membangun kekuatan rudal yang sangat besar.

Menurut salah seorang komandan senior dan penasihat strategi militer AS kekuatan tempur jarak jauh China jauh lebih unggul dari pada sekutu-sekutu AS di kawasan. Ia mengatakan China jelas lebih unggul dalam senjata-senjata jarak jauh.

AS juga akan mengubah taktiknya secara drastis, yakni mengizinkan Marinir bergabung dengan Angkatan Laut dalam menyerang kapal perang musuh. Kapal-kapal dan unit mobil Marinir AS yang bersenjatakan rudal anti kapal akan menjadi kapal yang mematikan.

Komandan senior tersebut mengatakan dalam konflik unit-unit ini akan berpencar ke titik-titik utama di Pasifik Barat dan wilayah yang dikenal sebagai rantai kepulauan. Rangkaian kepulauan dari kepulauan Jepang, melalui Taiwan, Filipina sampai ke Kalimantan lalu ditutup di sekitar pinggir pantai China.

Dalam serangkaian rapat, Komandan militer AS sudah menjelaskan taktik baru ke Kongres pada bulan Maret lalu. Pada 5 Maret lalu Komandan Korps Marinir AS Jenderal David Berger menjelaskan pada Komite Angkatan Bersenjata Senat, unit-unit kecil Marinir yang bersenjatakan rudal dapat membantu Angkatan Laut meningkatkan kekuasaan mereka di lautan terutama di Pasifik Barat.

"Rudal Tomahawk salah satu alat yang membuat kami dapat melakukan itu," kata Jenderal Berger.

Tomahawk menjadi sangat terkenal setelah diluncurkan dalam Perang Teluk tahun 1991. Selama beberapa dekade rudal itu dibawa oleh kapal-kapal tempur AS dan digunakan untuk menyerang sasaran di darat.

Dalam kesaksiannya di Kongres salah satu komandan militer AS mengatakan sepanjang 2022 marinir AS akan melakukan ujicoba rudal jelajah yang akan digunakan dalam operasi pada tahun berikutnya.

Pada awalnya sejumlah rudal jelajah tidak akan mengubah keseimbangan kekuataan dunia. Tapi para pakar strategi AS mengatakan hal ini menjadi sinyal politik yang kuat  Washington bersiap untuk berkompetisi dengan China dalam persenjataan besar. 

Mereka mengatakan dalam bila senjata-senjata tersebut digabungkan dengan milik Jepang dan Taiwan maka dapat menjadi ancaman bagi China. Ancaman terbesar PLA adalah rudal jarak jauh anti-kapal yang kini memperkuat pesawat Angkatan Laut dan Udara AS.

"Amerika akan kembali kuat, pada tahun 2024 atau 2025 akan ada ancaman serius bagi PLA bahwa pengembangan militer mereka akan usang," kata mantan penasihat pertahanan Australia dan kini peneliti di lembaga think tank Center for Strategic and Budgetary Assessments, Ross Babbage.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement