Kamis 07 May 2020 11:33 WIB

Cerita di Balik Cerita: Cerpen “Merpati-Merpati Mekkah”

Dari mana datangnya sebuah ide untuk menulis cerpen?

Cerpenis Irwan Kelana dengan kumpulan cerpen terbarunya Merpati-Merpati Mekkah
Foto: Istimewa
Cerpenis Irwan Kelana dengan kumpulan cerpen terbarunya Merpati-Merpati Mekkah

REPUBLIKA.CO.ID --- Oleh Irwan Kelana, Wartawan Republika

Dari mana datangnya sebuah ide untuk menulis cerpen? Bisa dari mana saja: membaca cerpen karya orang lain, membaca berita di media, mendengarkan cerita orang lain, imajinasi, atau pengalaman pribadi.

Yang paling dekat dengan diri seorang penulis adalah pengalaman pribadi.Hampir semua penulis – penulis besar sekalipun – pernah menulis cerpen dan novel yang terkait dengan pengalaman pribadinya. Meskipun, tentunya dibumbui dengan improvisasi dari sisi alur maupun konflik ceritanya. 

Namun, apapun yang menjadi sumber ide sebuah cerpen, pada dasarnya seorang cerpenis harus selalu siap “menangkap” ide cerpen manakala ide tersebut tiba-tiba saja muncul di hadapannya. Pada dasarnya, seorang cerpenis harus selalu “ngulik” atau mencari/menggali ide-ide cerpen. Ketika ada sebuah peristiwa -- baik menyangkut orang lain maupun pengalaman pribadi – maupun imajinasi yang melahirkan sebuah ide, dia dapat langsung menangkap ide tersebut.

Inilah yang melatarbelakangi cerpen “Merpati-Merpati Mekkah”. Ide cerpen saya dapatkan tiba-tiba ketika terjadi musibah pada musim haji tahun 2015. Ketika itu, tepatnya 11 September 2015 petang waktu Saudi Arabia, salah satu dari 15  crane raksasa yang mengelilingi Masjidil Haram  -- untuk proyek perluasan dan renovasi – ambruk menimpa ratusan jamaah yang ada di dalamnya.

Membaca berita tersebut, tiba-tiba muncul ide di dalam diri saya untuk menulis cerpen dengan setting tempat dan waktu yang terkait ambruknya crane di Masjidil Haram Mekkah. 

Saya mencari informasi lebih detil mengenai musibah itu. Ketika itu saya di Jakarta, namun ada wartawan Republika yang ikut rombongan Media Center Haji (MCH) Kementerian Agama  – yakni rombongan wartawan asal Indonesia yang bertugas meliput pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci.

Saya beberapa kali mengontak (japri) teman saya tersebut. Namanya EH Ismail. Terkait kejadiannya seperti apa, jumlah korbannya berapa orang yang meninggal dan dirawat di RS, berapa jumlah korban asal Indonesia,  dirawat di rumah sakit apa dan di mana, kapan Menteri Agama menengok para korban yang dirawat di rumah sakit dan hal-hal lain seputar musibah jatuhnya crane raksasa di Masjidil Haram.

Data-data terkumpul. Tapi, kalau hanya berupa data seperti ini, baru jadi berita (news). Dan masyarakat sudah mengikuti jatuhnya crane raksasa di Masjidil Haram tersebut melalui media cetak, media online dan media cetak maupun sosmed (WA Goup dan lain-lain).

Untuk menjadi sebuah cerpen, harus ada dramatisasi, terutama di alur cerita dan konfliknya. Saya selalu ingat perkataan Asma Nadia, salah satu cerpenis dan novelis Indonesia terkemuka, “Cerpen adalah cerita biasa yang didramatisasi.”

Yang pertama saya lakukan adalah mencari judul. Sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di Tanah Suci, yakni melaksanakan ibadah haji atas undangan Kementerian Penerangan Ara Saudi tahun 1996, saya selalu terkesan dengan kehadiran ribuan burung merpati di pelataran Masjidil Haram Mekkah maupun Masjid Nabawi Madinah. Begitu pula, tiap kali melakukan umrah, salah satu yang tak pernah saya melewatkan adalah mengagumi ribuan merpati yang hinggap dan beterbangan di Mekkah dan Madinah tersebut.

Tiba-tiba saja muncul judul “Merpati-Merpati Mekkah”. Ini, menurut saya, judul yang sangat menarik. Di situ ada kombinasi antara “Merpati-Merpati” dan “Mekkah”. Kalau “Merpati-Merpati” saja mungkin biasa, tapi dipadukan dengan kata “Mekkah” dia menjadi berbeda. Ada pesan yang kuat di situ. Kesan romantis sekaligus spiritual.

Selain itu, pengulangan kata “Merpati” menjadi “Merpati-Merpati” menjadi lebih terasa diksinya. Semua ini sebagai upaya menjadikan judul cerpen ini kuat dan menghunjam ke hati pembacanya. Sehingga, orang tertarik untuk membacanya.

Setelah judul, hal berikutnya adalah menciptakan tokoh. Ini murni imajinasi saya. Saya mencptakan tokoh Fadil, seorang wartawan berusia 31 tahun yang masih lajang karena belum juga menemukan gadis yang mau diajak hidup susah dan senang bersama dalam sebuah biduk bernama pernikahan.

Suatu hari dia dipertemukan dengan Kuntum, seorang gadis yang baru saja lulus dari perguruan tinggi ekonomi syariah bernama SEBI di Depok  (kampus ini riil). Ia seorang  penghafal Quran dan berhasil menjadi juara pertama Musabaqah Hifzhil Quran yang diadakan oleh Kementerian Agama bekerja sama dengan Pemerintah Arab Saudi di Jakarta.

Fadil meliput MHQ dan mewawancarai Kuntum. Dia jatuh cinta kepada sosok gadis yang soleh, keibuan dan rendah hati tersebut.

Fadil menemui Dr Oni Sahroni (direktur Cyber-SEBI) dan juga dosen SEBI (tokoh ini riil). Ia menyatakan ingin mengkhitbah Kuntum, kalau Kuntum masih belum punya calon suami.

Akhirnya Fadil dipertemukan dengan Kuntum di kampus SEBI. Singkat cerita, Kuntum mau dinikahi oleh Fadil.

Supaya cerita ini syahdu dan dramatis, maka pernikahan itu direncanakan diadakan di Masjidil Haram. Sebagai juara MHQ, Kuntum mendapatkan hadiah menunaikan ibadah haji. Ayah dan ibunya juga mendapatkan hadiah yang sama.

Kuntum direncanakan tiba di Mekkah tanggal 11 September 2015. Sedangkan Fadil sebagai anggota Media Center Haji berangkat lebih dulu. Keduanya berjanji akan bertemu di Masjidil Haram pada 11 September 2015 petang.

Namun ternyata pertemuan di Masjidil Haram itu tidak pernah terjadi. Kuntum menjadi salah satu korban musibah crane raksasa. Fadil baru bisa menemuinya di RS Al Noor yang berlokasi di Aziziah Janubiyah. Ia hanya bisa menemuinya swebentar. Membacakan Surat Yaasiin untuk Kuntum. Tak lama kemudian Kuntum menghembuskan nafas terakhir.

Supaya nyambung dengan judul yang saya buat untuk cerpen ini, yakni “Merpati-Merpati Mekkah”, maka cerpen tersebut saya tutup dengan kejadian pagi keesokan harinya. Selepas shalat Shubuh berjamaah di Masjidi Haram, kaki Fadil mengantarkan langkahnya  ke Terminal Syib Amir, seitar 200 meter dari Masjidil Haram. Biasanya di sana ada ribuan burung merpati yang berkumpul dan beterbangan. Namun pagi itu tempat tersebut sepi. Ketika matanya menatap ke atas, ke kabel-kabel listrik, ada sepasang merpati hinggal di sana. Namun tiba-tiba keduanya terbang menjauh dan akhirnya hilang sama sekali. Seperti nasib cinta Fadil yang kandas.

Cerpen “Merpati-Merpati Mekkah” diterbitkan di rubrik Sastra harian Republika. Dan imajinasi saya terkait musibah jatuhnya crane raksasa di Masjidil Haram terus berlanjut. Hingga akhirnya saya menulis sekuel (lanjutan)-nya yang berjudul “Kupinang Engkau di Daker Mekkah” beberapa minggu kemudian. Cerpen itu pun dimuat di harian Republika. Bersama 10 cerpen lainnya, yang juga dimuat  di harian Republika dalam kurun waktu 2-3 tahun, kedua cerpen tadi diterbitkan menjadi buku antologi cerpen “Merpati-Merpati Mekkah” oleh Penerbit Al-Mawardi Prima (2020).

Secara umum, saya menulis  sebuah cerpen dalam waktu dua-tiga jam. Bisa juga seharian, walaupun rillnya mungkin hanya sekitar tiga-empat jam. Tapi kadang-kadang juga bisa beberapa hari, terutama kalau penulisan cerpen itu membutuhkan dukungan data-data dan fakta yang belum saya ketahui sebelumnya.

Saya  butuh waktu beberapa hari untuk menyelesaikan cerpen “Merpati-Merpati Mekkah”. Dari mencari ide cerpen, membuat alur, mengolah setting tempat dan waktu, hingga konflik dan akhir cerita. Termasuk  mengumpulkan data-data terkait musibah jatuhnya crane raksasa di Masjidil Haram, Musabaqah Hifzhil Quran, SEBI  dan tempat bernama Syib Amir di dekat Masjidil Haram. 

Cerpen adalah karya kreatif. Ceritanya bisa merupakan rekaan atau imajinasi. Tapi terkait tempat, waktu  dan peristiwa  merupakan hal-hal yang faktual. Karena itu, seorang cerpenis harus rajin membaca dan menggali informasi dari berbagai sumber. Dia memadukan imajinasinya dengan dukungan data dan fakta. Seorang cerpenis yang baik adalah pembaca yang lahap.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement