Kamis 07 May 2020 05:44 WIB
Bank Indonesia

Risiko Likuiditas Industri Keuangan dan Jurus OJK

Risiko Likuiditas Hantui Industri Keuangan Kita?

Teller menghitung uang rupiah, ilustrasi.
Foto: Republika/Prayogi
Teller menghitung uang rupiah, ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID --- Oleh Elba Damhuri*

Pandemi virus corona (covid-19) berdampak besar terhadap siklus ekonomi nasional yang bergerak turun. Neraca keuangan rumah tangga, usaha mikrokecil menengah (UMKM), hingga perusahaan termasuk lembaga keuangan menjadi bermasalah.

Jika neraca keuangan atau perbandingan pengeluaran dan pendapatan bermasalah secara agregat maka sejumlah risiko pun menghantui ekonomi sebuah negara. Salah satunya, risiko likuiditas atau situasi di mana sebuah lembaga tidak memiliki cukup uang untuk membayar segala kewajibannya.

Kalaupun lembaga itu memiliki aset bernilai namun tidak serta merta menyelesaikan masalah.

Pasalnya, aset-aset itu belum tentu cepat terjual mengingat kondisi yang tidak bagus, dan aset itu pun menjadi tidak lukuid.

Lembaga keuangan di Indonesia baik bank dan non-bank kini menghadapi isu likuditas terkait dengan berbagai restrukturisasi dan keringanan pembayaran utang maupun bunga debitur di semua sektor.

Program keringanan pinjaman di hampir semua sektor ini bernilai ratusan triliun rupiah yang jika tidak ada langkah tepat akan membebani neraca keuangan bank dan non-bank. Lembaga non-bank di sini antara lain asuransi, multifinance, dan lain-lain.

Siklus ini harus dilawan. Istilahnya counter-cyclical. Bagaimana melawan siklus berupa risiko likuiditas ini?

Ada dua lembaga yang bertanggung jawab terhadap kondisi ini, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Beberapa jurus stimulus (kebijakan melawan siklus ini) sudah dikeluarkan dan beberapa akan diumumkan.

Dari sektor UMKM, 50 persen kredit/pembiayaan UMKM ikut program restrukturisasi dan keringanan. Dengan demikian, menurut OJK, ada aliran dana Rp 759 triliun yang tidak akan masuk ke industri keuangan. Ini menjadi sinyal serius bagi risiko likuiditas bagi bank dan nonbank.

Dalam hal ini, bank dan non-bank tidak mendapat dana yang seharusnya mereka terima dari pembayaran cicilan pokok dan bunga utang. Dari hitungan kebutuhan 50 persen itu, OJK menghitung butuh dana Rp 115,2 triliun.

Ketua OJK Wimboh Santoso mengungkapkan sejumlah langkah untuk mengatasi ancaman risiko likuiditas di bank dan non-bank ini. Skema ini mencakup seluruh bagian dari industri jasa keuangan baik bank maupun non-bank.

Bantuan Likuiditas Industri Jasa Keuangan

Pemberian bantuan likuiditas ke lembaga-lembaga keuangan bank dan non-bank menjadi langkah penting dari OJK. Secara teknis, Wimboh mengatakan pihaknya nanti akan membentuk bank jangkar (anchor bank) untuk memudahkan proses penempatan dana.

Alurnya, BI akan menyediakan kebutuhan likuiditas kepada OJK yang kemudian disalurkan kepada bank jangkar ini. Wimboh menjelaskan, bantuan likuiditas kepada sektor jasa keuangan ini melalui penempatan deposito kepada bank bank jangkar.

Bank jangkar ini terdiri dari bank-bank sistemik baik milik pemerintah (BUMN) maupun swasta. Bank sistemik maksudnya bank-bank yang memiliki aset besar, produk keuangan variatif, dan memiliki relasi kuat dengan bank-bank lain dalam sistem keuangan.

Dari sini, bank-bank lain yang bukan bank jangkar bisa mengajukan pinjaman kepada bank jangkar.

Wimboh menyatakan ada mekanisme berbeda untuk bank sistemik dan non-sistemik dan jaminan pinjaman seperti aset bernilai tinggi.  Pinjaman ini nantinya akan disesuaikan dengan suku bunga pasar yang berlaku. Ini merupakan skema pinjaman last resources bukan first resources.

Tidak semua bank tentunya bakal dapat fasilitas bantuan likuiditas ini. Wimboh menegaskan bantuan likuiditas ini hanya bisa didapatkan oleh bank-bank yang dinilai masih sehat.

Bagaimana dengan bank-bank tidak sehat tapi butuh dana segar? Wimboh mengatakan pemilik bank-bank ini diminta setor atau jual asetnya ke bank lain atau pihak lain. "Atau bisa pakai skema lain seperti merger dan skema dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan)," kata Wimboh.

Bantuan Keuangan Peminjam Uang

Langkah lainnya, pemerintah menambal persoalan keuangan di hilirnya, yakni para peminjam uang di bank. Ini mencakup individu, UMKM, perusahaan, hingga komersial.

Sejumlah kebijakan sudah dimuat terkait para peminjam (debitur) ini. Di antaranya keringanan membayar cicilan bunga, cicilan pokok utang, hingga tenggat pembayaran yang diperpanjang.

Dalam langkah ini, BI telah menyediakan likuiditas tambahan Rp 503,8 triliun. BI siap menambah suntikan likuiditas jika bank-bank memerlukannya.

Rupanya, langkah ini dirasakan belum cukup. Perlu ada terobosan lain untuk menjaga stabilitas keuangan nasional termasuk dari sisi peminjam uang ke bank.

BI bersama OJK sedang menyiapkan program restrukturisasi baru kredit UMKM. Salah satu program ini mengatur penundaan pembayaran angsuran pokok dan bunga pinjaman hingga enam bulan.

Jadi, kebijakan ini tidak hanya meringankan periode pencairan dan penurunan suku bunga. Tetapi lebih dalam lagi, penundaan pembayaran cicilan pokok dan bunga utang sampai enam bulan.

Secara prinsip, di tengah perlambatan ekonomi akibat pandemi corona seperti saat ini, pertumbuhan kredit bank akan lebih banyak dipengaruhi oleh kebijakan restrukturisasi. Kebijakan lain seperti suku bunga diturunkan lagi tampaknya tidak efisien kecuali untuk menjaga stabilitas nilai tukar.

Ide Cetak Uang Baru?

Sebetulnya, ada satu ide di luar ide-ide mainstream terkait perbaikan ekonomi di tengah pandemi corona ini. Namun ide ini terlalu ekstrim dan sulit dijalankan, yakni mencetak uang baru hingga Rp 4.000 triliun.

Badan Anggaran DPR dan mantan Mendag Gita Wirjawan mengutarakan wacana cetak uang baru untuk menyelamatkan perekonomian nasional. Uang baru itu nantinya akan diberikan kepada UMKM hingga Rp 1.600 triliun sesuai kebutuhan dan sektor-sektor lainnya termasuk individu dan rumah tangga.

Dalam ilmu ekonomi modern, wacana ini bukan sesuatu yang baru. Sekelompok ekonom di Amerika Serikat (AS) menyebut ide cetak uang untuk mengelola ekonomi ini sebagai teori moneter modern atau modern monetary theory (MMT).

BI sendiri sudah menegaskan tidak akan mengambil kebijakan ekstrim dengan mencetak uang baru. BI menyatakan kebijakan yang sudah dan sedang dijalankan saat ini cukup efektif membantu ekonomi bergerak seperti penurunan suku bunga, penurunan rasio giro wajib minimum (GWM), pembelian surat utang, dan penambahan likuiditas.

Sekarang, kita menunggu pengumuman OJK dan BI tentang kebijakan baru sektor keuangan untuk menjaga risiko likuiditas alias gagal bayar.

 

*Elba Damhuri, Managing Editor Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement