Selasa 05 May 2020 01:41 WIB

Arab Saudi Kalah Perang Minyak dan Kehilangan Rusia?

Rusia mulai menyadari bahwa Arab Saudi banyak berjanji tetapi sedikit menepati.

Pejabat perusahaan minyak Arab Saudi, Aramco, tengah memeriksa sebuah pengeboran minyak di Arab Saudi.
Foto: AP
Pejabat perusahaan minyak Arab Saudi, Aramco, tengah memeriksa sebuah pengeboran minyak di Arab Saudi.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ali Hussein Bakeer, Penulis adalah seorang analis hubungan internasional dan penasihat politik

Pertaruhan Arab Saudi menempatkan Moskow dalam posisi yang lebih baik tidak hanya berhadap-hadapan dengan AS, tetapi juga berkaitan dengan hubungan Saudi-Rusia sendiri

Selama beberapa tahun terakhir, Rusia dan Arab Saudi telah mengintensifkan upaya rekonsiliasi mereka dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS) mengunjungi Rusia pada Mei 2017 membuka jalan bagi Raja Salman untuk bertemu Putin di Moskow pada Oktober tahun yang sama.

Kunjungan itu, yang pertama dilakukan oleh raja Saudi yang sedang bertakhta ke Rusia, kemudian dielu-elukan sebagai pertemuan bersejarah di media Rusia dan Saudi.

Moskow menggelar karpet merah untuk Raja Salman. Banyak ahli berharap bahwa kunjungan itu akan membuka babak baru bersejarah dalam hubungan antara kedua negara.

Karena Riyadh sebelumnya berjanji untuk berinvestasi miliaran dolar di Rusia, termasuk USD10 miliar dalam investasi langsung Rusia.

Persepsi tersebut kemudian mendapat perhatian pada November 2018 setelah tos yang menghebohkan yang dilakukan antara putra mahkota Saudi dan Presiden Rusia Putin saat pertemuan G-20 di tengah isolasi internasional terhadap MBS setelah membantai jurnalis kawakan Jamal Khashoggi.

Kunjungan Putin ke Kerajaan Saudi pada Oktober 2019 dan kesepakatan minyak pada Desember tahun yang sama memberi kesan bahwa hubungan Saudi-Rusia sedang dalam kondisi terbaiknya.

Tetapi setelah itu, Rusia mulai menyadari bahwa Saudi banyak berjanji tetapi sedikit menepati.

Aliansi suci demi minyak antara MBS dan Putin yang membantu kedua belah pihak meningkatkan pendapatan sektor energi mereka dan menciptakan ikatan antara keduanya telah bubar.

Sejak 2016, minyak telah menjadi inti dari hubungan Saudi-Rusia yang semakin dalam.

Riyadh dan Moskow telah bekerja sama di bawah payung OPEC+ untuk menstabilkan pasar minyak dunia dan menjaga harga komoditas tersebut pada tingkat yang menguntungkan.

Pada bulan Desember 2019, menteri perminyakan Saudi membayangkan bahwa kesepakatan OPEC untuk mengekang produksi minyak dengan sekutu non-OPEC, termasuk Rusia, akan bertahan lama, dan tetap teguh "sampai kematian memisahkan mereka".

Tiga bulan kemudian, Riyadh dan Moskow melakukan perang minyak yang mengakibatkan penurunan harga minyak paling tajam dalam sekitar dua dekade.

Pekan lalu, kedua negara adikuasa minyak itu saling tuduh tentang siapa yang bertanggung jawab atas situasi saat ini.

Presiden Rusia Putin menuduh Arab Saudi menarik diri dari kesepakatan OPEC + dan mendorong harga lebih rendah dari USD40 per barel untuk menghancurkan para pesaing perusahaan minyak sempalan.

Arab Saudi merespons dengan dua pernyataan dari Menteri Luar Negeri Faisal bin Farhan dan Menteri Perminyakan Pangeran Abdul Aziz bin Salman, yang keduanya membantah tuduhan Rusia, menegaskan justru Moskow telah menarik diri dari kesepakatan OPEC+ saat Saudi dan 22 negara lainnya sedang berupaya untuk memangkas produksi.

Perang harga minyak mengemuka dengan latar belakang permintaan Saudi untuk OPEC+ agar melakukan pengurangan lebih banyak sebesar 1,5 juta barel per hari di tengah pandemi virus korona.

Rusia tidak menyetujui permintaan pemangkasan produksi minyak yang mengakibatkan kegagalan perjanjian sebelumnya antara kedua belah pihak dan membanjirnya pasar minyak dengan minyak Saudi.

Saudi memaksa Moskow untuk menyetujui permintaan pemangkasan produsi tersebut di bawah tekanan harga rendah.

Dalam situasi seperti itu, orang mungkin bertanya-tanya mengapa perselisihan seperti itu memicu perang minyak antara kedua sahabat yang dianggapnya paling dekat.

Seperti yang dikatakan juru bicara perusahaan minyak Rusia Rosneft, Mikhail Leontiev, “Jika Anda selalu menyerah pada mitra, Anda bukan lagi mitra."

Ketika Saudi meminta Rusia untuk berkontribusi pada pemangkasan produksi minyak yang lebih besar, Moskow menganggap bahwa Riyadh melakukan kebaikan kepada AS atas biaya Rusia.

Karena pemangkasan yang lebih besar akan mempersulit posisinya berhadapan dengan beberapa pemain ketika datang ke pasar saham dan hanya akan memberdayakan perusahaan-perusahaan minyak AS.

Pemangkasan tersebut membawa lebih banyak manfaat kepada AS, yang lagi-lagi dengan mengorbankan Moskow.

Karena itulah ketika Saudi memutuskan membanjiri pasar dengan komoditasnya, Rusia tampaknya tidak terlalu mempermasalahkan permainan Saudi.

Saudi berpikir bahwa mereka dapat keluar dari perang minyak dengan kemenangan karena mereka dapat memanfaatkan dua juta barel per hari ekstra dibandingkan dengan kapasitas Rusia beberapa ratus ribu barel per hari.

 

Link: https://www.aa.com.tr/id/berita-analisis/analisis-arab-saudi-kalah-perang-minyak-mungkin-juga-akan-kehilangan-satu-satunya-sekutu-baratnya/1812671

 

sumber : Anadolu Agency
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement