Senin 04 May 2020 21:07 WIB

Koalisi Sipil Minta Presiden Setop Pembahasan RUU MK

Koalisi menilai revisi UU MK sarat konflik politik dan kepentingan kekuasaan.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Ratna Puspita
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi Undang-undang (UU) Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai tak mendesak. Koalisi Masyarakat Save MK meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) membatalkan aksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang akan mengamandemen UU 8/2011 tentang MK. Kelompok gabungan sipil itu menuding upaya perevisian bersama UU MK tersebut sarat konflik politik dan kepentingan kekuasaan.

Anggota Koalisi Save MK Kurnia Ramadhana menerangkan, revisi UU MK ini menguat di DPR pada masa pandemi sekarang ini. Padahal, kata dia, revisi UU MK tak ada dalam prioritas legislasi nasional (prolegnas) 2020. 

Baca Juga

Kurnia menyatakan koalisi curiga upaya DPR merevisi UU MK tersebut terkait proses konstitusional atas gugatan terhadap UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Perppu 1/2020 tentang Stabilitas Sistem Keuangan Negara. “Perubahan ini disinyalir menjadi cara untuk menukar guling supaya MK dapat menolak pengujian konstitusionalitas yang krusial seperti UU KPK, dan Perppu Penanganan Covid-19 (1/2020),” kata Kurnia, Senin (4/5). 

“Yang diuntungkan dalam pervisian UU MK ini, MK itu sendiri. Sehingga yang dikhawatirkan, ini menjadi bagian dari tukar guling antara DPR, Presiden, dan MK,” kata Kurnia.

Koalisi Save MK, terang Kurnia, terdiri dari enam kelompok sipil pegiat hukum dan antikorupsi. Mereka antara lain, Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), serta Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif). 

Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (Pusako Unand) juga ambil bagian, bersama Pusat Kajian Anti Korupsi Universtias Gajah Mada (Pukat UGM), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Enam lembaga swadaya itu mengungkapkan, ada 14 isu utama yang menjadi sasaran DPR dalam revisi UU MK. 

Paling krusial menyangkut tiga hal. Pertama soal kenaikan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK. Kedua, tentang syarat minimal umur Hakim Konstitusi. 

Terakhir menyoal pensiun para Hakim MK. “Perubahan ini inisiatif DPR. Dan saat ini, naskah revisinya sudah berada di meja Presiden Jokowi,” terang Kurnia menambahkan.

Soal kenaikan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK dari semula dua tahun menjadi lima tahun. Perevisian juga menaikkan syarat minimal para Hakim Konstitusi dari semula 47 tahun, menjadi 60 tahun. 

Masa menjabat Hakim Konstitusi, dalam draf revisi diperpanjang menjadi 70 tahun, dari masa pensiun semula 60 tahun. Dalam UU 8/2011 tentang MK, Hakim Konstitusi menjabat selama lima tahun, dan bisa terpilih kembali satu periode selanjutnya.

Tetapi, dalam RUU MK dikatakan, Hakim Konstitusi dapat menjalani masa jabatannya sampai usia 70 tahun. “Bahwa apabila Hakim MK pada masa jabatannya berakhir pada usia 60 tahun, maka akan meneruskan sisa jabatannya sampai berusia 70 tahun,” kata Kurnia. 

Bagi para Hakim Konstitusi yang pensiun  sebelum berusia 60 tahun, dapat mengikuti seleksi Hakim MK kembali saat berusia minimal 60 tahun. “Sudah selayaknya Presiden menolak pembahasan RUU MK ini. Apalagi RUU MK ini, tidak masuk dalam Prolegnas 2020 dan tidak bisa dibahas tahun ini,” sambung Kurnia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement