Jumat 01 May 2020 12:39 WIB

Buruh Jabar Minta THR 2020 tak Ditunda atau Dicicil

Membayar upah 100 persen bagi pekerja/buruh yang dirumahkan

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Muhammad Fakhruddin
Karikatur Selamat Hari Buruh
Foto: republika
Karikatur Selamat Hari Buruh

REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG -- Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP TSK SPSI), sangat prihatin dengan kondisi pekerja/buruh saat ini. Karena, menurut Ketua DPD Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Provinsi Jawa Barat, Roy Jinto Ferianto, banyak perusahaan memanfaatkan pandemi Covid-19 untuk melakukan PHK, merumahkan pekerja/buruh dengan tidak membayar upah secara penuh.

Bahkan, ada juga pekerja/buruh yang tidak mendapatkan upah. Apalagi, baru-baru ini organisasi pengusaha yaitu APINDO mengirimkan surat ke Menko Perekonomian Repubilk Indonesia yang intinya APINDO meminta agar pembayaran THR 2020 ditunda atau dicicil dengan alasan yang sama pandemic COVID-19.

 "Perayaan MEY DAY tahun ini memang kami kaum pekerja/buruh tidak turun kejalan melakukan AKSI UNJUK RASA menyampaikan aspirasi, bukan berarti Mey Day tahun 2020 tidak ada aspirasi/tuntutan kaum buruh. Karena, banyak aspirasi yang ingin disampaikan kepada pemerintah," katanya.

Tentu saja, kata dia, penyampaian aspirasi dillakukan dengan memasang spanduk/poster di perusahaan masing-masing di kabupaten/kota maupun melalui media sosial. Selain itu kegiatan Mey Day tahun ini juga, digelar dengan melakukan kegiatan bakti sosial. Antara lain pembagian masker, hand saniteser kepada buruh maupun masyarakat, melakukan penyemprotan disinfectan serta penyerahan bantuan APD untuk Rumah Sakit Rujukan Pasien Covid-19.

"Kami juga sangat kecewa dengan kebijakan Menteri Perindustrian RI, yang telah memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan yang bukan industri kebutuhan pokok (non esensial) disaat pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)," paparnya.

Dengan kebijakan Menperin tersebut, kata dia, perusahaan-perusahaan berlomba-lomba untuk mengurus izin agar bisa beroperasi pada saat PSBB. Sehingga pekerja/buruh harus tetap bertaruh nyawa bekerja ditengah penyebaran covid-19 walaupun didaerahnya PSBB dan pada akhirnya di DKI ada buruh yang positif dan meninggal dunia, di Kabupaten Bandung Barat buruh positif covid-19 dan juga di Sumedang. ebijakan tersebut membuat pelaksanaan PSBB tidak efektif; 

Adapun tuntutan buruh dalam peringatan Mey Day 2020, kata dia, pertama keluarkan klaster ketenagakerjaan dari Omnibus Law RUU Cipta Kerja, hentikan PHK di Tengah Pandemi Covid-19, menolak Penundaan dan Pencicilan Pembayaran THR 2020, membayar upah 100 persen bagi pekerja/buruh yang dirumahkan serta segera meliburkan Seluruh Pekerja/Buruh di tengah Penyebaran Covid-19.

Sementara menurut Ketua DPD FSP LEM SPSI Jawa Barat Muhamad Sidarta yang juga Ketua V DPP FSP SPSI,  pihaknya telah merencanakan aksi besar-besaran dengan mengusung issue penolakan dan pembatalan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dengan memajukan aksi May Day pada tanggal 30 April 2020 yang akan dipusatkan di Gedung DPR RI, kantor Menko Perekonomian dan di semua Propinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia.

Namun, kata dia, rencana aksi pada tanggal 30 april 2020 tersebut dibatalkan, karena Presiden RI setelah mengundang tiga pimpinan konfederasi besar KSPSI, KSPI dan KSBSI pada 22 April 2020 di Istana Presiden. Kemudian, Presiden RI Joko Widodo mengumumkan lewat youtube yang menyatakan, bahwa RUU Omnibus Law Cipta Kerja ditunda pembahasannya dan telah disampaikan pemerintah kepada DPR.

Pada waktu yang sama, kata dia, para pimpinan nasional serikat pekerja yang tergabung dalam Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas), juga diundang oleh Polda Metro Jaya untuk mendiskusikan  rencana aksi 30 April 2020. "Dan, disepakati bahwa Polda Metro Jaya siap memfasilitasi dan mengkomunikasikan dengan DPR RI yang kemudian disusul pengumuman oleh Ketua DPR RI Puan Maharani yang akan meminta Baleg DPR RI untuk menunda pembahasan RUU Omnibus Law Klaster Ketenagakerjaan, " katanya.

Sehubungan dengan hal tersebut, kata dia, rencana aksi besar-besaran juga ditunda sampai batas waktu yang belum ditentukan. Selain itu, Panja Omnibus Law Cipta Kerja terus melakukan pembahasan tidak ada indikasi untuk melakukan penundaan terhadap klaster ketenagakerjaan. Bahkan, lebih gamblang karena klaster ketenagakerjaan banyak yang melakukan penolakan akan dibahas pada sesi terakhir di DPR, artinya DPR sejatinya tetap memiliki niat untuk terus membahas RUU Omnibus Law Klaster Ketenagakerjaan. 

"Sehingga pada May Day kali ini kami akan lebih fokus kembali melakukan konsolidasi di semua tingkatan sampai akar rumput untuk menuntut RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang sempat diplesetkan menjadi RUU Cilaka dibatalkan di saat penyebaran virus corona (Covid-19) lagi berada di puncaknya yang ditandai dengan PSBB di berbagai daerah untuk sama-sama fokus menghadapi covid-19 sampai tuntas," paparnya.

Oleh karena itu, kata dia, kali ini buruh tidak melakukan aksi ke jalan sebagai ajang konsolidasi dan perjuangan kaum buruh/pekerja seperti tahun-tahun sebelumnya demi keselamatan buruh/pekerja dan turut memutus mata rantai penyebaran covid-19. "Kami akan merayakan May Day dengan memaksimalkan social media baik perorangan maupun kelompok-kelompok untuk konsolidasi dan menyuarakan perjuangan yang masih panjang ini, katanya.

Di saat yang bersamaan, kata dia, banyak perusahaan yang mengaku terdampak covid-19 atau ada yang memfaatkan issue covid-19. Sehingga banyak buruh yang di PHK dan di rumahkan  sepihak,  THR yang tidak diberikan sepenuhnya atau dicicil bertahap atau ditunda dengan alasan terdampak covid-19.

Oleh karena itu perlu kerja ekstra pengawas ketenagakerjaan untuk membuktikan kebenarannya. Dengan demikian, May Day 2020 ini pihaknya akan mendirikan posko-posko pengaduan dampak covid-19 disemua tingkatan sampai tingkat pabrik yang akan disinergikan dengan fungsi, tugas dan tanggungjawab pengawas ketenagakerjaan.

"Posko-posko tersebut dimaksudkan untuk menerima pengaduan buruh/pekerja terhadap perusahaan yang tidak menerapkan protokol kesehatan untuk pencegahan penyebaran virus corona (Covid-19). Serta, perusahaan yang tidak memberikan hak normatif pekerja sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan alasan kena dampak Covid-19," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement