Kamis 30 Apr 2020 11:25 WIB

Mengumumkan Anak Hasil Perzinahan, Bolehkah?

Penyebarluasan keburukan sesama Muslim tak pantas untuk dilakukan

 Ilustrasi Foto Bayi
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Foto Bayi

REPUBLIKA.CO.ID, Zina merupakan dosa besar dengan hukuman berat bagi para pelakunya. Hukumannya tidak main-main, yakni rajam atau cambuk.

Allah SWT dan rasul-Nya, bahkan menyuruh kita untuk menjauhi perbuatan maksiat tersebut. Hanya, ada anak yang lahir dari orang tua yang berzina. Status anak hasil zina ini kerap tersebar di kalangan masyarakat, terutama kaum ibu. Cerita dari mulut ke mulut lantas membuat status anak menjadi tercoreng di tengah masyarakat. Lantas, apakah anak hasil perzinaan boleh diumumkan ke tengah warga?

Majelis Tarjih Muhammadiyah menjelaskan, penyebarluasan keburukan sesama Muslim tak pantas untuk dilakukan. Agama menganjurkan kita untuk menutupi aib sesama Muslim. Hanya, ada beberapa pengecualian mengenai penyebarluasan informasi tentang keburukan seseorang. Misalnya saja, demi kebutuhan pengadilan. Jaksa bisa mengorek keterangan dari saksi mengenai apa yang disaksikan tentang orang yang dipersaksikan.

Di kalangan ulama, hanya ada enam macam yang membolehkan untuk menunjukkan kejelekan orang. Pertama, orang teraniaya, menyebutkan peng aniayaan yang diperbuat oleh penganiaya. Kedua, dalam rangka meminta tolong agar per buat an tercela itu dihindari atau hilang.

Ketiga, meminta bantuan cara mengatasi atau menghindari dari perbuatan tercela itu. Berikutnya, untuk meng ingatkan kaum Muslimin agar tidak melakukan perbuatan itu. Kelima, cela itu sudah jelas dan penyandang perbuatan dampak negatif pada masyarakat.

Keenam, dalam rangka untuk pengenalan identitas se seorang. Namun, setiap Muslim memang sangat dianjurkan untuk tidak mengumbar aib seseorang.

Dalam hadis riwayat Imam Muslim yang bersumber dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda, "Barang siapa melonggarkan saudaranya Muslim dari kesulitan dunianya, Allah akan memberi kelonggaran dari kesulitan di hari kiamat. Dan barang siapa memberi kemudahan bagi orang yang mengalami kesukaran, Allah akan menggampangkan di dunia dan akhirat. Dan barang siapa menutup (cacat) orang Muslim, Allah akan menutup (cacatnya) di dunia dan akhirat).Dan Allah akan selalu menolong hambanya, selama hamba itu selalu menolong saudaranya.. ."

Hadis tersebut bermakna jika kita diharuskan untuk menghindarkan diri untuk menampakkan atau membuka-buka aib orang lain. Hendaknya kita menjaga mulut dari ghibah yang justru bisa menyebabkan kita mendapat dosa besar.

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah ke banyakan purbasangka (kecurigaan) karena sebagian dari purbasangka itu dosa. Dan janganlah men cari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik ke padanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesung guhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Pe nyayang." (QS al-Hujurat ayat 12).

Di luar itu, Nabi SAW juga bersabda jika setiap anak lahir dalam keadaan fitrah. Adapun yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi adalah orang tuanya. Atas dasar dalil ini, tak bisa kita menisbatkan dosa orang tua kepada anak. Dosa pezina hanya ditanggung oleh orang yang berzina. Tak menurun kepada anaknya. Wallahu a'lam.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement