Rabu 29 Apr 2020 19:01 WIB

The Power of Words

Seorang jenius selalu bisa dikalahkan oleh seorang yang bekerja keras

Profil ideal siswa SMART menjawab tantangan global.
Foto: Dompet Dhuafa Pendidikan
Profil ideal siswa SMART menjawab tantangan global.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Irani Soraya, Guru Bimbingan Konseling SMART Ekselensia Indonesia

Bayangkan di tangan Anda saat ini ada dua bilah golok. Golok pertama amat indah, rapi, mengkilap lagi terasah dengan baik, mencerminkan ketajaman dan kekuatannya. Golok kedua adalah golok yang terlihat tidak meyakinkan, permukaannya dipenuhi karat dan tidak rapi. Golok mana yang akan Anda pilih jika hendak memotong sebatang bambu? Golok pertama pasti yang terpilih.

Baca Juga

Lalu bagaimana jika golok pertama tidak dihujamkan dengan sekuat tenaga? Si golok hanya dipukul-pukulkan saja sekenanya pada sepotong bambu. Apakah bambu tersebut akan terpotong? Tergores atau lecet mungkin saja, tapi tidak akan terpotong.

Kemudian bagaimana jika golok kedua yang tak meyakinkan itu kita hunjamkan dengan sekuat tenaga pada bambu? Mungkin butuh waktu lama, akan tetapi bisa dipastikan bambu dapat terpotong oleh golok kedua ini.

Kisah tersebut diceritakan oleh salah seorang ustaz dalam kisah Negeri Lima Menara yang ditulis oleh Ahmad Fuadi 1. Petuah ini diberikan saat sosok Alif diceritakan mulai nyantri di Pesantren Madani.

Proses pendidikan yang dialami Alif kecil ini tidak semulus beberapa teman dekatnya. Alif yang masuk ke dunia pesantren dengan “terpaksa”, beberapa kali harus terkena hukuman akibat ketidakdisiplinannya. Diceritakan juga betapa Alif begitu kesulitan untuk menghafal pelajaran-pelajarannya di Pesantren Madani. Kondisinya jauh jika dibandingkan dengan Baso, sahabat dekatnya yang begitu jenius.

Kisah tentang golok di atas mencerminkan sebuah semangat untuk bekerja keras dalam mencapai apa pun. Si golok mewakili sebuah semangat untuk melakukan sesuatu dengan sepenuh hati, dengan sebuah totalitas.

Alif kecil hanyalah seorang anak dari tepi Danau Maninjau, yang begitu  bermimpi untuk masuk SMA kemudian melanjutkan ke universitas. Namun jalan hidupnya berkata lain, ibundanya meminta Alif untuk belajar agama. Sebuah permintaan yang tak mungkin ditolak. Alif akhirnya menjalani pendidikan agama demi memenuhi harapan dari ibu yang amat dikasihi dan dihormatinya itu.

Pada akhirnya malah pendidikan di Pesantren Madani itulah yang banyak mewarnai perjuangan Alif dalam mencapai impian. Melalui Pesantren Madani ia bisa menginjakkan kaki ke Amerika. Kekuatan Alif ini berasal dari dua kalimat yang selalu disampaikan berkali-kali di pesantren itu.

Kalimat pertama, “Man jadda wa jadda”, artinya “Siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan sampai pada yang dicita-citakan”. Kalimat kedua, “Man shabara, dzafira”, siapa yang bersabar ia akan menang.

Inilah energi yang banyak menggugah jiwa, energi yang berasal dari kata-kata baik. Energi inilah kiranya yang kita dapat tangkap dalam kisah Negeri Lima Menara ini. Energi untuk memperjuangkan segala impian, meski mengalami berbagai tantangan dan hambatan itu pasti. Hanya mereka yang mampu tetap totalitas, tetap bekerja keraslah yang akhirnya akan mencapai garis finis.

Begitu pula apa yang kami, Guru-guru SMART Ekselensia Indonesia (SMART), rasakan. Mendidik para pemuda yang berasal dari berbagai daerah, juga memisahkan mereka dari kampung halaman dan dari kasih sayang keluarga, bukanlah hal mudah.

Proses pendidikan yang dilalui pun bukan hanya satu dua tahun, tapi sampai lima tahun. Tiga tahun pertama para siswa menjalani pendidikan ditingkat SMP, dan dua tahun berikutnya di tingkat SMA. Tantangan jadi makin berat, sebagaimana yang Alif dan kawan-kawannya rasakan di Pesantren Madani.

SMART pun menerapkan sistem asrama dengan aturan ketat soal jam keluar dan masuk, juga soal penggunaan barang elektronik. Bayangkan, seorang anak SMP di tahun 2020 bukankah biasanya sedang keranjingan handphone dan PS? Namun di SMART mereka harus menghafal Alquran, giat belajar, dan berjuang demi masa depan.

Siswa-siswa SMART adalah harapan bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, dan bagi daerahnya. Cinta ilmu, kerja keras, santun, jujur dan bertanggung jawab adalah nilai-nilai yang senantiasa kami tanamkan kepada para pemuda terbaik ini agar dapat memenuhi harapan besar itu.

Pepatah mengatakan, “seorang jenius selalu bisa dikalahkan oleh seorang yang bekerja keras, dan seorang pekerja keras akan selalu dikalahkan oleh seorang yang mencintai pekerjaannya 2. ”Pepatah tua ini berbicara banyak, bahwa manusia tidak boleh hanya berbangga hati dengan kecerdasan yang tinggi. Karena kecerdasan tinggi tanpa adanya dorongan untuk berbagi dan bermanfaat maka tidak akan berarti. Seperti kata pepatah lainnya, “Ilmu tanpa amal maka bagaikan pohon tanpa buah. 3 ”Artinya, kemanfaatan si jenius kurang dapat dirasakan oleh orang lain.

Begitu pula cerita tentang dua bilah golok di atas. Golok pertama tampak rapi dan mengkilap. Namun tanpa usaha yang sungguh-sungguh untuk menghunjamkannya ke bilah bambu, maka hanya lecet saja yang didapat. Batang bambu tidak akan terpotong. Inilah gambaran orang yang merasa cukup dengan kejeniusan dan kecerdasan semata.

Banyak pepatah dan kisah yang telah lama digunakan sebagai pelipur lara dan penghiburan. Namun penggunaannya sebagai sebuah motivasi belum banyak tergali. Coba kita tengok kisah Alif di Negeri Lima Menara di atas. Ia yang anak kampung tepi Danau Maninjau, akhirnya mampu menginjakkan kakinya di benua Amerika. Keberhasilan Alif ini karena disulut oleh kekuatan kata dari para ustaz dan gurunya.

Kiranya kita dapat memulai untuk mengucapkan kata-kata yang memberi inspirasi. Kata-kata yang menyulut jiwa orang-orang terdekat dan kerabat. Kata-kata yang mampu menyembuhkan. Maka masihkah kita biarkan lisan ini mengeluarkan kekecewaan dan kemarahan?!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement